2.
Proses keimanan terhadap Rasul
3. Proses Keimanan terhadap Al Qur’an Kalamullah
B.Kedua, ia merupakan karangan Muhammad SAW.
Tuduhan itu ditolak keras oleh Allah SWT melalui firmannya:
C.Ketiga, ia berasal dari Allah semata, sebagaimana pernyataan pembawanya.
Konsekuensi Iman Kepada Allah, Rasulullah SAW, dan Al Qur’an
Allah SWT berfirman:
Maka kufur terhadap ayat:
“Dirikanlah shalat…..".
sebenarnya sama saja kufur terhadap ayat:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al Baqarah: 275)
Atau terhadap ayat :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya.” (QS Al Maidah: 38)
Atau ayat :
Kebangkitan Manusia
Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah ‘keadaan’ suatu kaum sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS Ar Ra’d: 11)
Adapun bukti mengenai hubungan manusia terhadap para rasul dapat kita lihat
dari terbuktinya manusia sebagai mahluk Allah SWT yang bersifat terbatas, akal
dan kemampuannya. Juga dapat dilihat dari terbuktinya agama itu sebagai suatu
hal yang fithri dalam diri manusia, karena ia merupakan salah satu fithrah
pen-taqdis-an (pengagungan dan pensucian-peny) manusia. Dalam fithrahnya itu
manusia senantiasa mentaqdiskan Penciptanya. Pekerjaan mentaqdiskan inilah yang
selanjutnya dikenal sebagai ibadah, yang merupakan tali penghubung antara
manusia dan Penciptanya. Apabila hubungan ini dibiarkan sendiri tanpa aturan
akan cenderung terjadi kekacauan ibadah serta menyebabkan terjadinya
penyembahan terhadap selain dari pencipta yang sebenarnya. Jadi harus ada
aturan tertentu yang mengatur hubungan ini dengan baik. Hanya saja aturan ini
tidak boleh datang dari pihak manusia, karena ia sendiri tidak mampu memahami
hakekat Al Khaliq (maksudnya tentang perbuatannya, apakah perbuatan itu diterima
atau ditolak oleh Al Khaliq-peny) untuk dapat meletakkan aturan antara dirinya
dengan Sang Pencipta. Karenanya aturan ini harus datang dari Al Khaliq serta
harus sampai ke tangan manusia. Maka tidak boleh tidak harus ada para rasul
yang menyampaikan agama Allah ini kepada umat manusia.
Bukti lain akan kebutuhan manusia terhadap para rasul adalah bahwa pemuasan
manusia akan tuntutan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan gharizah/nalurinya
merupakan hal yang mutlak diperlukan. Jika pemuasan ini dibiarkan berjalan
tanpa aturan akan menjadi pemuasan yang salah, berlebihan serta menyebabkan
malapetaka bagi manusia. Karena itu harus ada aturan yang mengatur gharizah dan
kebutuhan-kebutuhan jasmani ini. Tetapi aturan ini tidak boleh datang dari
pihak manusia, sebab pemahamannya dalam mengatur gharizah dan kebutuhan jasmani
selalu menjadi obyek (sasaran) kekeliruan, perselisihan dan keterpengaruhan
oleh lingkungan yang didiaminya. Maka dari itu aturan tersebut harus datang
dari Allah SWT, yang untuk dapat sampai ke tangan manusia, haruslah melalui
seorang rasul.
3. Proses Keimanan terhadap Al Qur’an Kalamullah
Adapun bukti –yang sangat mudah – bahwa Al Qur’an itu datang dari Allah SWT,
dapat dilihat dari kenyataan/fakta bahwa Al Qur'an itu sebuah kitab berbahasa arab
yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Karena fakta tersebut, maka dalam upaya
menentukan ‘dari mana’ asal Al Qur'an itu, dapat kita buktikan dengan tiga
kemungkinan dan hanya tiga kemungkinan itu, tidak ada yang lain.
Ketiga
kemungkinan tersebut adalah:
A.Pertama, ia merupakan karangan bangsa Arab.
Kemungkinan yang pertama ini, yang mengatakan bahwa Al Qur'an merupakan
karangan bangsa Arab adalah suatu kemungkinan yang bathil. Sebab Al Qur'an
sendiri menantang mereka (bangsa Arab) untuk membuat karya yang serupa.
Sebagaimana tertera dalam ayat :
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا
بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ
وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ
دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ
صَادِقِينَ
“Katakanlah: ‘Maka datangkanlah sepuluh surat yang menyamainya.” (QS Hud:
13)
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا
بِسُورَةٍ مِثْلِهِ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ
دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ
صَادِقِينَ
“Katakanlah: ‘Kalau benar yang kamu katakan maka coba datangkan sebuah surat
yang menyamainya.” (QS Yunus: 38)
Bangsa Arab telah berusaha untuk menghasilkan karya yang serupa, akan tetapi
mereka tidak juga berhasil. Jadi Al Qur'an bukan berasal dari perkataan orang
Arab, karena ketidakmampuan mereka untuk menghasilkan karya yang serupa.
B.Kedua, ia merupakan karangan Muhammad SAW.
Adapun kemungkinan yang kedua, yang mengatakan bahwa Al Qur'an itu karangan
Muhammad SAW, adalah kemungkinan yang bathil pula. Sebab Muhammad adalah orang
Arab juga. Bagaimanapun jeniusnya, tetaplah ia sebagai seorang manusia yang
menjadi salah satu anggota dari bangsanya. Selama bangsa Arab tidak mampu
menghasilkan karya yang serupa, maka masuk akal pula apabila Muhammad SAW yang
orang Arab itu juga tidak mampu menghasilkan karya yang serupa. Jelaslah bahwa
Al Qur'an, bukan karangannya.
Hal tersebut makin diperkuat dengan banyaknya hadits-hadits shahih dan
mutawatir dari Nabi Muhammad SAW, yang bila setiap hadits ini dibandingkan
dengan ayat manapun dalam Al Qur'an maka tidak akan dijumpai adanya kemiripan
dari segi gaya bahasa (uslub), padahal keduanya berasal dari orang yang sama.
Akan tetapi keduanya tetap berbeda dari segi gaya bahasanya. Dan bagaimanapun
kerasnya seseorang menciptakan berbagai macam gaya bahasa dalam pembicaraannya,
tetap akan terdapat kemiripan antara gaya bahasa yang satu dengan gaya bahasa
yang lain. Jadi karena tidak ada kemiripan antara gaya bahasa Al Qur'an dengan
gaya bahasa hadits maka yakinlah bahwa Al Qur'an itu bukan perkataan Nabi
Muhammad SAW.
Dengan demikian maka terbantahlah kemungkinan pertama dan kedua. Kini tinggal
tuduhan lain yang mereka lontarkan, yaitu bahwa Al Qur'an itu di sadur oleh
Muhammad SAW dari seorang pemuda Nasrani bernama Jabr.
Tuduhan itu ditolak keras oleh Allah SWT melalui firmannya:
وَلَقَدْ
نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ ۗ لِسَانُ
الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِيٌّ وَهَٰذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ
“(Dan) Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, ‘Sesungguhnya Al
Qur'an itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad). Padahal bahasa
orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya (adalah) bahasa
‘ajami (non arab), sedangkan Al Qur'an itu dalam bahasa Arab yang jelas.”(QS An
Nahl: 103)
Inilah pembuktian yang jelas bahwa Al Qur'an itu bukan karangan bangsa Arab
atau karangan Muhammad SAW. Al Qur'an adalah perkataan Allah (kalam Allah) yang
menjadi mukjizat bagi pembawanya (Muhammad SAW). Tidak ada kemungkinan lain
selain ini, dilihat dari kenyataan bahwa Al Qur'an itu berbahasa Arab.
C.Ketiga, ia berasal dari Allah semata, sebagaimana pernyataan pembawanya.
Setelah kedua kemungkinan tersebut terbantahkan, kini hanya tinggal satu
kemungkinan yaitu bahwa Al Qur’an itu adalah kalamullah. Kemungkinan inilah
yang shahih di antara tiga kemungkinan yang ada. Kemungkinan ini sekaligus
membuktikan bahwa Muhammad SAW adalah Rasulullah karena tidak ada yang membawa
syariat dan mukjizat kecuali seorang nabi dan rasul. Sedangkan yang membawa
syariat (Al Qur’an) tersebut tidak lain adalah Muhammad SAW.
Demikian uraian-uraian singkat namun jelas dan tegas tentang dalil aqli untuk
beriman kepada (wujudnya) Allah, kepada kebenaran kerasulan Muhammad SAW dan
kepada Al Qur'an, bahwasanya Al Qur'an merupakan kalam Allah.
Konsekuensi Iman Kepada Allah, Rasulullah SAW, dan Al Qur’an
Jadi iman kepada (wujud) Allah itu datang dari akal dan memang harus datang
dari jalan seperti ini. Ini pula yang menjadi dasar kuat untuk beriman terhadap
hal-hal yang ghaib dan segala hal yang dikabarkan oleh Allah SWT. Sebab jika
kita telah beriman kepada Allah SWT, yang memiliki sifat-sifat ketuhanan itu,
maka wajib pula bagi kita untuk beriman terhadap apa saja yang dikabarkan
oleh-Nya. Baik hal itu dapat dicerna oleh akal maupun tidak, karena semua itu
dikabarkan oleh Allah SWT.
Dari sini kita wajib beriman kepada hari kebangkitan dan pengumpulan (ba’ats),
surga dan neraka, hisab dan siksa, juga beriman akan adanya malaikat, jin dan
syaithan, serta apa saja yang telah diterangkan Al Qur'an dan hadist qath’i.
Iman seperti ini walaupun didapat dengan jalan ‘mengutip’ (naql) dan mendengar
(sama’), akan tetapi pada dasarnya telah terbukti oleh akal. Jadi aqidah
seorang muslim itu harus bersandar kepada akal atau pada sesuatu yang telah
terbukti dasarnya oleh akal. Apa saja yang tidak terbukti oleh kedua jalan
tadi, yaitu akal serta nash Al Qur'an dan hadist qath’i (mutawatir), haram
baginya untuk mengi’tiqadkannya. Sebab aqidah tidak boleh diambil kecuali
dengan kepastian (keyakinan).
Oleh karena itu kita wajib beriman kepada kehidupan sebelum dunia, yaitu adanya
Allah SWT dan proses penciptaan oleh-Nya; serta beriman kepada kehidupan
setelah dunia yaitu hari akhirat. Perintah-perintah Allah itu merupakan tali
penghubung (shilah) antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dunia,
yaitu hubungan penciptaan (shilatul khalq); dan sekaligus menjadi tali
penghubung kehidupan dunia dengan kehidupan sesudah dunia (shilatul muhasabah).
Dan pastilah hal ihwal manusia terikat oleh tali penghubung ini. Karenanya
manusia wajib berjalan dalam kehidupan ini sesuai dengan peraturan Allah dan
wajib beri’tiqad bahwa ia diciptakan oleh Allah, dan akan dihisab di hari
kiamat atas segala perbuatannya di dunia.
Dengan demikian telah terbentuklah pemikiran yang jernih tentang apa yang ada
di balik kehidupan, alam semesta dan manusia. Telah terbentuk pula pemikiran
yang jernih tentang alam sebelum dan alam sesudah dunia. Dan bahwasanya
terdapat ‘tali penghubung’ antara dunia dengan kedua alam tersebut. Dengan
demikian telah terurailah ‘masalah besar’ itu secara pasti kebenarannya dengan
Aqidah Islamiyah.
Apabila manusia telah berhasil memecahkan hal tadi ia dapat beralih memikirkan
kehidupan dunia serta mewujudkan mafahim yang benar (terhadap dunia), yang dihasilkan
dari pemikiran dasar tersebut. Pemecahan itu pula yang menjadi dasar bagi
berdirinya suatu prinsip ideologis kehidupan (mabda’) yang membentuk jalan
menuju kebangkitan suatu kaum. Mabda’ itu pula yang akan menjadi dasar bagi
tumbuh kembangnya peradaban (hadloroh) suatu kaum. Juga menjadi dasar bagi
peraturan-peraturan hidupnya, dan juga menjadi dasar untuk mendirikan
negaranya. Dengan demikian dasar bagi berdirinya Islam, baik secara fikroh (ide
dasar) maupun thoriqoh (pola operasional/ metode pelaksanaan) adalah Aqidah
Islam itu sendiri.
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ
وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ
رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ
قَبْلُ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ
بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا
بَعِيدًا
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
dan kepada Kitab yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada Kitab yang
diturunkan sebelumnya. Dan siapa saja yang mengingkari Allah dan Malaikat-Nya
dan Kitab-Kitab-Nya dan Rasul-Rasul-Nya dan hari akhir maka ia telah sesat
sejauh-jauhnya kesesatan.” (QS An Nisa: 136)
Apabila semua ini (Iman kepada Allah, dst tadi) telah terbukti kebenarannya,
maka wajib pula beriman kepada Syari’at Islam (sebagaimana terhadap Aqidah
Islam). Karena seluruh syariat ini tercantum dalam Al Qur'an dan telah dibawa
oleh Rasulullah SAW. Apabila tidak beriman maka ia kufur. Seorang yang ingkar
terhadap hukum-hukum syara’ secara keseluruhan atau sebagian, dapat menyebabkan
ia menjadi kufur. Baik hukum-hukum itu berkaitan dengan ibadah, muamalah,
uqubat (sanksi), ataupun math’umat (yang berkaitan dengan makanan).
Maka kufur terhadap ayat:
“Dirikanlah shalat…..".
sebenarnya sama saja kufur terhadap ayat:
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al Baqarah: 275)
Atau terhadap ayat :
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا
نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya.” (QS Al Maidah: 38)
Atau ayat :
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ
وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ
إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا
ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan (hewan yang
disembelih atas nama selain Allah.” (QS Al Maidah: 3)
Dengan demikian, iman terhadap syari’at sebenarnya tidak berhenti pada akal
semata, tetapi juga harus ada penyerahan mutlak terhadap segala yang datang
dari sisi-Nya, sebagaimana firman-Nya :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ
يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي
أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Rabb-mu mereka itu (pada hakekatnya) tidak beriman sebelum mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu keberatan
terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka menerima (pasrah) dengan
sepenuhnya.” (QS An Nisa: 65)
Bangkitnya manusia tergantung dari landasan kehidupan (aqidah)nya, yang
merupakan jawaban atas pertanyaan mendasar tentang kehidupan ini. Karenanya
umat harus diarahkan kepada aqidah yang benar, sehingga memiliki pandangan
hidup yang benar dan mendorongnya berbuat sesuai dengan aturan yang muncul dari
aqidah yang benar tadi. ‘Pemahaman aqidah’ ini selalu ada dalam diri suatu
manusia, umat atau kaum; karenanya, untuk mengubah keadaan suatu kaum agar
bangkit, aqidah inilah yang harus diubah terlebih dahulu.
Allah SWT berfirman :
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ
وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ
إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيِّرُ
مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا
بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ
بِقَوْمٍ سُوءًا فَلا مَرَدَّ
لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ
دُونِهِ مِنْ وَالٍ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah ‘keadaan’ suatu kaum sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS Ar Ra’d: 11)
Satu-satunya jalan perubahan aqidah dengan membentuk pemikiran yang benar dan
jernih tentang aqidah yang shohih yang melandasi kehidupan dan kebangkitannya.
Hal ini dapat dengan menyampaikan (kepada manusia-peny) pemikiran yang benar
tentang pemecahan simpul pada ‘masalah besar’ (Uqdatul Kubro’) dalam diri
manusia. Apabila masalah besar ini telah teruraikan, maka terurai pula masalah
yang lainnya, sebab hanya merupakan bagian atau cabang dari masalah besar tadi.
Oleh karena itu bagi mereka yang menghendaki kebangkitan dan kehidupan berada
diatas jalan yang mulia, harus terlebih dahulu memecahkan masalah besar ini
dengan pemecahan yang benar, yakni dengan aqidah yang benar.
Islam telah menangani ‘masalah besar’ ini. Dipecahkannya untuk manusia dengan
pemecahan yang sesuai dengan fithrah, memuaskan akal serta memberikan
ketenangan jiwa. Oleh sebab itu Islam dibangun diatas satu dasar yaitu aqidah,
yang mengatakan bahwasanya dibalik alam semesta, manusia dan kehidupan terdapat
Sang Pencipta (Al Khaliq) yang telah menciptakan ketiganya, dan yang telah
menciptakan pula segala sesuatu yang lainnya. Dialah Allah SWT. Aqidah yang
mengatakan bahwasanya Pencipta ini telah menciptakan segala sesuatu dari tidak
ada menjadi ada. Ia bersifat wajibul wujud (wajib adanya), Ia bukan makhluk,
karena sifat-Nya sebagai Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukan makhluk,
serta memastikan pula bahwa ia mutlak adanya. Segala sesuatu menyandarkan
wujudnya kepada diri-Nya, sedangkan Ia tidak bersandar kepada sesuatu apapun.