Proses pencarian
keshahihan dari uqdatul qubra itu
adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal.” (QS Ali Imran: 190)
Juga firman-Nya :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS Ali Imran: 190)
Oleh karena itu maka wajib bagi setiap muslim untuk menjadikan imannya betul-betul muncul dari proses berfikir, penelitian, memperhatikan serta bertahkim pada akalnya dalam beriman kepada Allah SWT secara mutlak.
Batas akal dalam memahami Al Khaliq
Kendati wajib atas manusia untuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin baginya untuk memahami apa yang ada di luar jangkauan indra dan akalnya. Hal ini karena sifat dan kekuatan akal manusia terbatas, sehingga pemahamannya pun terbatas.
Oleh karenanya, akal tidak mampu untuk memahami Dzat Allah dan hakekat-Nya, sebab Allah berada diluar ketiga unsur pokok alami yang dapat diindera manusia (alam semesta, manusia dan kehidupan). Hanya saja tidak dapat dikatakan : “Bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada adanya Allah SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Dzat Allah?”. Memang tidak bisa dikatakan demikian, sebab pada hakekatnya iman itu adalah percaya akan adanya (wujud atau keberadaan-Nya) Allah, dimana wujud Allah ini dapat dipahami melalui keberadaan makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan. Ketiganya ini berada dalam batas-batas yang dapat dicapai oleh akal.
Dengan memahami ketiga hal itu, orang dapat memahami adanya Al Khaliq, yaitu Allah SWT. Karenanya, iman kepada adanya Allah harus berdasarkan akal dan dalam jangkauan akal. Lain halnya jika orang hendak memahami Dzat Allah dimana hal ini mustahil terjadi. Sebab Dzat-Nya diluar jangkauan kemampuan akal. Padahal akal itu sendiri tidak mungkin memahami hakekat apa yang berada diluar jangkauannya, disebabkan keterbatasannya untuk melakukan hal itu.
Sesungguhnya apabila iman kepada Allah SWT muncul dari akal, pemahaman kita terhadap adanya Al Khaliq pun akan menjadi sempurna pula. Apabila perasaan hati (yang timbul dari fithrah-peny) yang mengatakan adanya Allah dibarengi pula oleh akal maka perasaan semacam ini akan tumbuh menjadi suatu keyakinan yang kokoh, yang akan memberikan suatu pemahaman yang sempurna serta perasaan yang yakin atas semua sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya hal ini akan meyakinkan diri kita bahwa kita tidak akan sanggup memahami hakekat Dzat Allah, justru karena kuatnya iman kita kepada-Nya.
>>Proses pencarian berlanjut ke "2.Proses keimanan terhadap Rasul dan Al Quran"
Islam menjawab bahwa dibalik alam semesta, manusia dan kehidupan ini ada Al
Kholiq (Sang Pencipta), yang mengadakan semua itu dari tidak ada menjadi ada.
Al Kholiq itu bersifat wajibul wujud (wajib/pasti adanya). Ia pun bukan mahluk
karena sifatnya sebagai Sang Pencipta memastikan bahwa diri-Nya bukanlah
makhluk.
Bukti bahwa segala sesuatu itu mengharuskan adanya Pencipta yang menciptakannya
dapat diterangkan sebagai berikut. Bahwasanya segala sesuatu yang dapat
dijangkau oleh akal terbagi dalam tiga unsur, yaitu manusia, alam semesta dan
kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah (tidak dapat
berbuat sesuatu dengan dirinya sendiri-peny), serba kurang dan saling
membutuhkan kepada yang lain. Misalnya manusia, ia merasa terbatas sifatnya
karena tumbuh dan berkembang tergantung terhadap segala sesuatu yang lain,
sampai suatu batas yang tidak dapat dilampauinya lagi. Oleh karena itu jelas ia
bersifat terbatas, mulai dari ‘ketiadaannya’ sampai batas waktu yang tidak bisa
dilampauinya lagi. Begitu pula halnya dengan kehidupan (nyawa), ia bersifat
terbatas pula, sebab penampakan/perwujudannya bersifat individual semata. Dan
apa yang kita saksikan selalu menunjukkan bahwa kehidupan itu ada lalu berhenti
pada satu individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu ada lalu berhenti pada
satu individu itu saja. Jadi jelas kehidupan itu bersifat terbatas. Demikian
pula halnya dengan alam semesta. Iapun bersifat terbatas. Himpunan dari
benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi alam
semesta itupun bersifat terbatas. Kini jelaslah bahwa manusia, kehidupan dan
alam semesta, ketiganya bersifat terbatas (termasuk memiliki batas awal dan
akhir keberadaannya).
Jika sesuatu itu bersifat terbatas, akan didapati bahwa segala hal tersebut
tidak azali (tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab apabila ia azali,
bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak, keberadaan semua
yang terbatas ini membutuhkan adanya ‘sesuatu yang lain’. Dan ‘sesuatu yang
lain’ inilah dinamakan Al Kholiq, yang menciptakan manusia, kehidupan dan alam
semesta.
Dalam menentukan sifal Al Kholiq (Pencipta) ini tentu saja hanya ada tiga
kemungkinan:
1.
Pertama, Ia diciptakan oleh yang lain. Dengan
pemikiran aqliyah yang jernih dan mendalam, akan dipahami bahwa kemungkinan ini
adalah kemungkinan yang bathil (tidak dapat diterima oleh akal). Sebab apabila
Ia diciptakan oleh yang lain maka Ia adalah makhluk dan bersifat terbatas,
yaitu butuh kepada yang lain untuk mengadakannya.
2.
Kedua, Ia menciptakan diri-Nya sendiri.
Kemungkinan kedua ini pun bathil juga. Karena dengan demikian ia akan menjadi
makhluk dan Khaliq pada saat yang bersamaan. Jelas ini tidak dapat diterima
oleh akal.
3.
Ketiga, Ia bersifat azali dan wajibul wujud dan
mutlak keberadaannya. Setelah dua kemungkinan di atas dinyatakan bathil, maka
hanya tinggal satu kemungkinan lagi dan hanya kemungkinan yang ketigalah yang
shohih, yakni Al Kholiq itu tidak boleh tidak harus bersifat azali dan wajibul
wujud serta mutlak adanya. Dialah Allah SWT.
Sesungguhnya bagi setiap orang yang mempunyai akal
hanya dengan perantaraan wujud benda-benda yang dapat diinderanya, ia dapat
memahami bahwa dibalik benda-benda itu terdapat Pencipta yang telah
menciptakannya. Dengan memahami bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba
kurang, sangat lemah dan saling membutuhkan kepada yang lain, maka semua
hanyalah makhluk. Karenanya untuk membuktikan adanya Al Khaliq yang Maha
Pengatur, sebenarnya cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di
alam semesta, kehidupan, dan di dalam diri manusia itu sendiri.
Karena itu kita jumpai bahwa Al Qur’an senantiasa melontarkan pandangannya
kepada benda-benda yang ada di sekitar manusia sambil mengajak manusia untuk
mengamati segala apa yang ada di sekelilingnya dan apa yang berhubungan
dengannya, agar dapat membuktikan adanya Allah SWT. Sebab dengan mengamati
benda-benda akan memberikan suatu pemahaman yang meyakinkan manusia terhadap
adanya Allah yang Maha Pencipta lagi Maha Pengatur secara pasti tanpa ada
keraguan. Di dalam Al Qur’an telah dibeberkan banyak ayat yang berkenaan dengan
hal ini, antara lain firman Allah :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (ayat) bagi orang yang berakal.” (QS Ali Imran: 190)
Juga firman-Nya :
“(Dan)
Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakannya langit dan bumi serta
berlain-lainnya bahasa dan warna kulitmu.” (QS Ar Rum: 22)
Serta
firman-Nya yang lain seperti QS Al Ghasiyah: 17-20, juga QS Ath Thariq: 5-7,
atau juga firman-Nya berikut :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Ia hidupkan bumi sesudah
matinya (kering) dan Ia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan dan pengisaran
air dan awan yang dikendalikan antar langit dan bumi. Sesungguhnya pada semua
itu terdapat tanda-tanda (Keesaan dan Kebesaran Allah) bagi kaum yang
memikirkan.” (QS Al Baqarah: 164)
Masih
banyak lagi ayat sejenis yang mengajak manusia untuk memperhatikan benda-benda
alam, serta melihat apa yang ada disekelilingnya untuk dijadikan petunjuk atas
adanya Sang Pencipta yang Maha Pengatur. Dengan demikian imannya kepada Allah
SWT menjadi mantap, yang berakar dari akal dan bukti.
Inilah jawaban shohih secara ringkas, tentang keberadaan Al Kholiq dibalik manusia, alam semesta dan kehidupan.
Inilah jawaban shohih secara ringkas, tentang keberadaan Al Kholiq dibalik manusia, alam semesta dan kehidupan.
Sekema Kehidupan
Sifat
Fithri Keimanan
Memang benar, bahwa iman kepada Yang Maha Pengatur ini merupakan suatu hal yang fithri dalam diri setiap manusia. Akan tetapi iman yang fithri ini hanya muncul dari perasaan hati yang ikhlas belaka. Dan proses semacam ini tidak bisa dianggap aman akibatnya serta tidak akan membawa suatu ketetapan/keyakinan apabila ditinggalkan (tanpa dikaitkan dengan akal). Sebab perasaan hati semacam ini sering menambah-nambah terhadap apa yang diimani dengan sesuatu yang realistis. Bahkan mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang lazim terhadap apa yang ia imani sehingga dapat menjerumuskan ke arah kekufuran dan kesesatan. Penyembahan berhala dan khurafat (cerita bohong), tak lain tak bukan akibat salahnya perasaan hati. Maka dari itu Islam tidak membiarkan perasaan hati ini sebagai satu-satunya jalan menuju iman.
Islam menegaskan penggunaan akal bersama-sama dengan perasaan hati dan mewajibkan atas setiap muslim untuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT serta melarang bertaqlid dalam urusan aqidah. Untuk ini Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT :
Memang benar, bahwa iman kepada Yang Maha Pengatur ini merupakan suatu hal yang fithri dalam diri setiap manusia. Akan tetapi iman yang fithri ini hanya muncul dari perasaan hati yang ikhlas belaka. Dan proses semacam ini tidak bisa dianggap aman akibatnya serta tidak akan membawa suatu ketetapan/keyakinan apabila ditinggalkan (tanpa dikaitkan dengan akal). Sebab perasaan hati semacam ini sering menambah-nambah terhadap apa yang diimani dengan sesuatu yang realistis. Bahkan mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang lazim terhadap apa yang ia imani sehingga dapat menjerumuskan ke arah kekufuran dan kesesatan. Penyembahan berhala dan khurafat (cerita bohong), tak lain tak bukan akibat salahnya perasaan hati. Maka dari itu Islam tidak membiarkan perasaan hati ini sebagai satu-satunya jalan menuju iman.
Islam menegaskan penggunaan akal bersama-sama dengan perasaan hati dan mewajibkan atas setiap muslim untuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT serta melarang bertaqlid dalam urusan aqidah. Untuk ini Islam telah menjadikan akal sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS Ali Imran: 190)
Oleh karena itu maka wajib bagi setiap muslim untuk menjadikan imannya betul-betul muncul dari proses berfikir, penelitian, memperhatikan serta bertahkim pada akalnya dalam beriman kepada Allah SWT secara mutlak.
Batas akal dalam memahami Al Khaliq
Kendati wajib atas manusia untuk menggunakan akalnya dalam beriman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin baginya untuk memahami apa yang ada di luar jangkauan indra dan akalnya. Hal ini karena sifat dan kekuatan akal manusia terbatas, sehingga pemahamannya pun terbatas.
Oleh karenanya, akal tidak mampu untuk memahami Dzat Allah dan hakekat-Nya, sebab Allah berada diluar ketiga unsur pokok alami yang dapat diindera manusia (alam semesta, manusia dan kehidupan). Hanya saja tidak dapat dikatakan : “Bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada adanya Allah SWT, sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami Dzat Allah?”. Memang tidak bisa dikatakan demikian, sebab pada hakekatnya iman itu adalah percaya akan adanya (wujud atau keberadaan-Nya) Allah, dimana wujud Allah ini dapat dipahami melalui keberadaan makhluk-makhluk-Nya, yaitu alam semesta, manusia dan kehidupan. Ketiganya ini berada dalam batas-batas yang dapat dicapai oleh akal.
Dengan memahami ketiga hal itu, orang dapat memahami adanya Al Khaliq, yaitu Allah SWT. Karenanya, iman kepada adanya Allah harus berdasarkan akal dan dalam jangkauan akal. Lain halnya jika orang hendak memahami Dzat Allah dimana hal ini mustahil terjadi. Sebab Dzat-Nya diluar jangkauan kemampuan akal. Padahal akal itu sendiri tidak mungkin memahami hakekat apa yang berada diluar jangkauannya, disebabkan keterbatasannya untuk melakukan hal itu.
Sesungguhnya apabila iman kepada Allah SWT muncul dari akal, pemahaman kita terhadap adanya Al Khaliq pun akan menjadi sempurna pula. Apabila perasaan hati (yang timbul dari fithrah-peny) yang mengatakan adanya Allah dibarengi pula oleh akal maka perasaan semacam ini akan tumbuh menjadi suatu keyakinan yang kokoh, yang akan memberikan suatu pemahaman yang sempurna serta perasaan yang yakin atas semua sifat-sifat ketuhanan. Dengan sendirinya hal ini akan meyakinkan diri kita bahwa kita tidak akan sanggup memahami hakekat Dzat Allah, justru karena kuatnya iman kita kepada-Nya.
>>Proses pencarian berlanjut ke "2.Proses keimanan terhadap Rasul dan Al Quran"