Dalam pembahasan Aqidah akal adalah tempat kita untuk menalar sesuatu itu benar adanya atau diada-adakan dan yang menjadikan ke Imanan kita kuat dan mantap...
Akal manusia mampu membuktikan keberadaan sesuatu hal yang berada di luar jangkauannya, jika ada sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk atas keberadaan hal tersebut, seperti perkataan orang Baduy ( orang awam ) tatkala ditanyakan kepadanya "Dengan apa kau mengenal Tuhanmu?"
Jawabannya :
"Tahi onta itu menunjukan adanya onta dan bekas telapak kaki menunjukan pernah ada orang yang berjalan."
Oleh karena itu, ayat-ayat Al Qur'an adalah bukti eksistensi atau keberadaan Allah Sang Pencipta dangan cara mengajak manusia memperhatikan makluk-mahlukNya. Sebab, jika akal diajak untuk mencari DzatNya, tentu tidak mampu menjangkaunya, seperti firmaNnya :
"Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat
tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan
kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang meyakini." (QS Al
Jaatsiyat: 3-4)
Karena keterbatasan
akal dalam berfikir, Islam melarang manusia berfikir langsung tentang Dzat
Allah, karena Dzat Allah berada diluar kemampuan akal manusia untuk
menjangkaunya. Selain itu juga karena manusia mempunyai kecenderungan (bila ia
hanya menduga-duga tanpa memiliki acuan kepastian) menyerupakan Allah SWT
dengan suatu makhluk.
Rasulullah bersabda :
"Berfikirlah
kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu fikirkan tentang Dzat Allah.
Sebab, kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya yang
sebenarnya." (HR Abu Nu'im dalam "Al Hidayah" ; sifatnya
maruf', sanadnya dhoif tetapi isinya shahih)
Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan
tentang Dzat Allah yang sebenarnya; bagaimana Allah melihat, mendengar,
berbicara, bersemayam di atas Arsy-Nya, dan seterusnya. Sebab, Dzat Allah
bukanlah materi yang dapat diukur atau dianalisa, tidak dapat dikiaskan dengan
materi apapun, semisal manusia, makhluk aneh berkepala dua, bertangan sepuluh,
dan sebagainya.
Kita hanya percaya
dengan sifat-sifat Allah yang dikabarkan-Nya melalui wahyu. Bila kita
menghadapi suatu ayat atau hadits yang menceritakan tentang menyerupakan Allah
dengan makhluk, maka kita tidak boleh mencoba-coba membahas ayat-ayat atau
hadits tersebut dan menta'wilkannya sesuai dengan akal kita. Ia lebih baik kita
serahkan kepada Allah, karena ia memang berada di luar kemampuan akal. Inilah
yang dilakukan oleh para sahabat, tabi'in, dan ulama salaf. Imam Ibnul
Qoyyim berkata :
"Para sahabat
berbeda pendapat dalam beberapa masalah. Padahal mereka itu adalah ummat yang
dijamin sempurna imannya. Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah
terlibat bertentangan faham satu sama lainnya dalam menghadapi asma Allah,
perbuatan-perbuatan Allah, dan sifat-sifat-Nya. Mereka menetapkan apa yang
diutarakan Al Quran dengan suara bulat. Mereka tidak menta'wilkannya, juga
tidak memalingkan pengertiannya."
Ketika kepada Imam
Maliki ditanyakan tentang makna "persemayaman-Nya" (istiwaa'), beliau
lama tertunduk dan bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Maliki
mengangkat kepala lalu berkata :
"Persemayaman
itu bukan sesuatu yang dapat diketahui. Juga kaifiyah (cara)nya bukanlah hal
yang dapat difahamkan. Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan
hal tersebut adalah bid'ah atau salah."