Sistem kehidupan masyarakat dunia hingga kini masih didominasi dua
sistem, yakni sistem Kapitalisme dan Sosialisme. Kedua sistem
tersebut dibangun atas dasar materi belaka (materialisme, tanpa nilai
ruhiyah). Pada sisi inilah keduanya bertemu, meski dalam segi ide
(fikrah) dan metode pelaksanaan (thoriqah) peraturannya kadang berbeda.
Sebagai contoh, sistem kapitalisme memandang individu bebas bertindak
dan berbuat apa saja yang diinginkannya untuk meraih kebahagiaan
duniawi, tidak mau menerima pengawasan orang lain serta menolak untuk
dibatasi dan dibelenggu kebebasannya. Sedangkan sistem sosialisme
memandang individu hanyalah bagian dari alat atau sarana produksi yang
tidak memiliki kebebasan ataupun pilihan.
Masyarakat pada sistem kapitalisme selalu merubah peraturannya,
terpecah-pecah hubungannya, tidak diawasi dan dikoreksi oleh siapapun,
karena dalam pandangan sistem ini, masyarakat terbentuk dari sejumlah
individu yang ingin bebas sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk
mengawasi dan mengoreksi masyarakat atau individu lainnya. Adapun pada
sistem sosialisme, masyarakat bertingkat-tingkat (kelasnya) yang saling
bertentanganan,saling mewaspadai, antar satu dengan lainnya, karenanya
peran negara dalam sistem ini sangat mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat.
Dalam sistem kapitalisme negara merupakan sarana yang bersifat
temporal untuk menjaga dan mempertahankan kebebasan individu. Sedangkan
pada sosialisme, negara ibarat tangan besi yang memaksa dan menghancurkan sisa-sisa sistem yang lama untuk mengarahkan masyarakat agak
produktif secara bersama-sama, dipimpin oleh negara.
Bagaimana Dengan Sistem Islam ?
Sistem Islam berbeda dengan kedua sistem tersebut, dan jelas takkan
pernah bertemu apalagi berkompromi, baik dalam fikrah maupun
thariqahnya. Sistem Islam dengan ketiga asasnya, merupakan sistem
tunggal yang khas, yang berbeda dengan sistem-sistem lain yang ada, baik
yang lama maupun yang baru.
Adapun ketiga azas pelak- sanaan sistem Islam adalah :
1. Asas Pertama
Asas pertama pembangun sistem Islam adalah rasa ketaqwaan yang tertanam
dan terbina pada setiap individu di masyarakat. Seorang muslim memiliki
pandangan mendalam dan jernih yang mencakup pemikiran terhadap alam,
manusia dan kehidupan serta apa yang ada pada sebelum dan sesudah
kehidupan dunia ini. Pandangan ini akan menumbuhkan perasaan dan
indera seorang mukmin terhadap taqwa, dan menjadikan aqidahnya sebagai
pengontrol tingkah lakunya sehingga tidak akan pernah bertentangan
dengan aqidahnya. Hal ini terjadi karena mafahim (ide-ide yang nyata
atau bukan khayali) tentang kehidupan dan tingkah laku seorang mukmin,
terpancar dari aqidahnya.
Seorang mukmin mengetahui secara pasti bahwa Allah SWT selalu
mengawasinya. Dia juga menyadari bahwa pada hari kiamat nanti ia akan
dihidupkan kembali oleh-Nya, kemudian akan dihisab terhadap amal perbuatan yang telah dilakukannya. Ia meyakini semua ini secara pasti tanpa
ada keraguan dan kebimbangan sedikitpun. Dan keyakinan ini membekas
dalam sikap hidupnya sehari-hari di masyarakat.
Contoh kebenaran pernyataan ini banyak sekali dan dapat kita temukan
dalam rentetan sejarah Islam yang agung, malah masih bisa ditemukan saat
ini walaupun kaum muslimin dalam keadaan terpecah belah dan tidak
berjalannya sistem Islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW banyak teladan
yang amat menakjubkan tentang ketaqwaan para masyarakat dalam
melaksanakan sistem Islam. Pada masa itu cukuplah Rasulullah SAW memberi
isyarat (berperang), seluruh kaum muslimin yang telah beriman langsung
berangkat ke medan perang untuk meraih kemenangan atau syahid, tanpa
ada keraguan dan keterlambatan sedikitpun.
Kisah Ma’iz Al Aslami dan al Ghomidiyah, radliyallahu ‘anhuma
merupakan teladan yang tepat sekali untuk menggambarkan betapa tingginya
rasa ketaqwaan pada diri para shahabat. Ma’iz adalah seorang mukmin
sejati, demikian pula Al Ghomidiyah. Suatu ketika Al Ghomidiyah ini
datang ke hadapan baginda Nabi SAW dan mengaku telah berbuat zina,
seraya meminta supaya baginda Nabi menjatuhkan hukuman atau had terhadapnya
sesegera mungkin. Nabi SAW menangguhkannya hingga ia melahirkan (anak
yang dikandungnya), dan kemudian ditangguhkannya lagi sampai selesai
melaksanakan kewajiban menyusui anaknya, namun demikian selama itu, ia
masih terus meminta agar hukum syara’ diberlakukan pada dirinya yaitu
hukum rajam.
Begitu pula halnya dengan Ma’iz ra, ia telah melakukan seperti yang
diperbuat oleh wanita mukminah tadi. Rasulullah telah memberinya
kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti, namun demikian ia tetap
meminta kepada baginda Nabi agar sudi mensucikan dirinya dan
menegakkan hukum Allah SWT padanya (atas perbuatannya). Demikian
gambaran ketinggian aqidah dan akhlak individu masyarakat Islam, yang
pada akhirnya menjadi asas pertama penopang kehidupan masyarakat Islam.
Dalam kasus mulia tersebut Nabi SAW memberi komentar terhadap
Al-Ghomidiyah:
“Dia (wanita itu) telah bertaubat dengan sesungguhnya, yang bila
ditimbang (taubatnya itu) dengan seluruh penduduk bumi, pasti dika-
lahkannya”.(HR.Abu Dawud, No.4446; Tirmidzi, No1459)
Kemudian tentang Ma’iz beliau berkomentar :
“Dia sekarang telah berenang di sungai surga” (HR.Ibnu Hibban, No. 4384, 4385)
Pada masa sekarangpun, masih banyak teladan yang menunjukkan
tingginya nilai taqwa individu dan pengaruhnya terhadap masyarakat.
Mayoritas umat Islam masih tetap tegar menjauhi minum khamr,
perbuatan-perbuatan keji, riba dan harta yang diperoleh dengan cara
yang haram, sekalipun penguasa beserta sistem kufur yang berlaku dewasa
ini memberinya peluang dan kemudahan untuk itu. Semua ini sudah cukup
menjadi bukti bahwa ketaqwaan individu menjadi salah satu asas pokok
kehidupan masyarakat Islam.
2. Asas Kedua
Asas kedua dalam penegakan sistem Islam adalah adanya sikap saling
mengontrol pelaksanaan hukum Islam dan mengawasi serta mengoreksi
tingkah laku penguasa, pada masyarakat. Masyarakat Islam terbentuk dari
individu-individu yang dipengaruhi oleh perasaan, pemikiran, dan
peraturan yang mengikat mereka sehingga menjadi masyarakat yang khas dan
solid (persatuannya).
Masyarakat seperti ini jelas berbeda dengan masyarakat kapitalisme yang
terpecah-pecah oleh rasa individualistis dan selalu berubah, berbeda
dengan masyarakat sosialisme yang saling bertentangan dan mengalami
fase kehidupan yang keras dan penguasa yang absolut untuk mencapai
masyarakat tanpa kelas yang diidamkan. Masyarakat Islam memiliki
karakteristik tersendiri dalam membentuk perasaan taqwa dalam diri
individu.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar
sebagai penegak keadilan, dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
suatu kaum, mendorong kamu untuk (berbuat) tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat dengan taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS Al-
Maidah: 8)
Lebih dari itu masyarakat Islam memiliki kepekaan indera yang amat
tajam, terhadap berbagai gejolak masyarakat, apalagi terhadap adanya
kemungkaran yang mengancam keutuhan masyarakat. Dari sisi inilah maka
amar ma’ruf nahi munkar menjadi bagian yang paling esensial sekaligus
yang membedakan masyarakat Islam dengan masyarakat lainnya.
Allah SWT berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“(Dan) Hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebaikan, menyeru berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS Ali Imran: 104)
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kalian adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk umat
manusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan
beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS Ali Imran: 110)
Oleh karena itu ketaqwaan individu itu dapat dipengaruhi dan dibina
oleh pandangan masyarakat. Dalam naungan masyarakat inilah, individu
yang berbuat maksiat tidak berani terbuka, bahkan tidak berani
melaksanakannya. Bahkan kalaupun ia tergoda juga untuk melakukannya ia
akan berusaha. menyembunyikannya. Dengan sadar ia akan kembali
kepada kebenaran dan bertaubat atas kekhilafannya.
Dimasa Nabi SAW kaum munafik sekalipun, tidak berani menampakkan apa
yang mereka sembunyikan. Pada zaman kekhilafahan Abbasiyah ada
orang-orang fasik, dalam jumlah sedikit, mendatangi rumah-rumah kaum
Nashrani (kafir dzimmi) secara diam-diam hanya untuk meminum seteguk
khamr. Hal ini terjadi bukan karena takut terhadap penguasa (sanksi)
saja, tetapi mereka takut menghadapi pengawasan masyarakat. Tekanan
keras dari masyarakat inilah, yang manjadi faktor kuat untuk mendorong
sekelompok kecil penyeleweng tersebut bersembunyi.
Karenanya, pengawasan masyarakat dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar
merupakan asas kedua yang menopang kehidupan masyarakat Islam. Dengan
asas ini makin kokohlah bangunan masyarakat Islam sehingga mampu membawa
kepada kemulyaan umat.
3. Asas Ketiga
Asas ketiga pembangun masyarakat Islam adalah keberadaan negara atau pemerintahan sebagai pelaksana hukum syara. Kedudukan negara dalam
Islam, tidak lain selalu memelihara masyarakat dan anggota-anggotanya
serta bertindak selaku pemimpin yang mengatur dan mementingkan urusan
rakyatnya. Keberadaan terpenting sebuah negara atau pemerintahan dalam
masyarakat Islam adalah untuk menerapkan hukum-hukum syara’ dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Maka dalam negara Islam,
kedaulatan (penentu nilai benar-salah) itu adalah milik syara’ saja,
sedangkan kekuasaan (penentu siapa yang akan melaksanakan nilai baik-benar) adalah milik ummat. Artinya ummat memiliki kekuasaan untuk
mengatur dan melaksanakan pemerintahan, dengan tetap berdasar
kepada hukum syara', sedangkan kekuasaan melaksanakan hukum diserahkan
kepada manusia untuk memilih pemimpinnya dalam melaksanakan hukum
tersebut.
Dalam sistem Islam, negara mempunyai bangunan yang kokoh dan menyatu
dengan tingkah laku individu dan sikap masyarakat. Hal ini terjadi
karena umat merupakan penyangga negara, dan negara berwenang penuh untuk
menerapkan hukum-hukum syara’ secara adil dan menyeluruh.
Suatu saat diajukan kepada Nabi SAW seorang pencuri wanita untuk
diadili dan dijatuhkan hukumam atau had potong tangan terhadapnya. Beliau tidak menerima permohonan grasi dari Usamah bin Zaid untuk
wanita tersebut, bahkan menegur Usamah seraya berkata :
“Apakah kamu mengajukan keringanan atau grasi terhadap salah satu
hukuman dari Allah SWT?, demi Allah kalau saja Fatimah putri Muhammad
mencuri, pasti akan aku potong tangannya” (HSR.Bukhari, Muslim dari
‘Aisyah. Lihat “Jaami’ul Ushul”,Ibnu Atsir. Hadits No. 1879)
Abu Bakar As Shiddiq ra, khalifah pertama, berkata dalam pidatonya selepas dibai’at kaum muslimin :
“Orang yang lemah diantara kalian adalah kuat menurut pandanganku
sampai aku berikan haknya kepadanya. Orang yang kuat menurut kalian
adalah lemah menurut pandanganku sampai aku ambil hak tersebut
darinya”. (HR Az-Zuhri dari Anas. Lihat “Al- Bidayah Wan- Nihayah”
Ibnu Katsir VI : 340).
Oleh karena itu ketika muncul kemurtadan, sesaat setelah Rasul wafat,
dan kejahatan merajalela serta menunjukkan tanda-tanda membahayakan
stabilitas negara khilafah yang masih muda itu, segera Abu Bakar
mengambil tindakan menumpasnya tanpa ragu-ragu. Sampai akhirnya para
murtaddin itu kembali kepada Islam. Kemudian Allah SWT menghinakan para
pemimpin kafir yang mengibarkan bendera kemurtadan lalu kembalilah
Islam menjadi kuat dan mulia.
Dengan demikian, negara merupakan asas tegak dan kokohnya masyarakat
Islam. Negara atau pemerintahan mengawasi dan mengontrol masyarakat,
individu dan pelaksanaan seluruh hukum Islam. Kepadanyalah Allah
memberikan amanah untuk menerapkan syari’at Islam. Kepala negara
(khalifah) beserta aparatnya yang menjalankan amanah itu. Bahkan
sesungguhnya merekalah yang bertanggung jawab mulai dari hal yang
sekecil-kecilnya hingga sebesar-besarnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Seorang pemimpin adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab
terhadap peliharaannya”. (HSR. Imam Bukhari, Muslim, Ahmad dari Ibnu
Umar. Lihat “Al-Fathul Kabir”, Yusuf An-Nabhani jilid II :330-331)
Karena itu negara menegakkan sanksi-sanksi hukum dan menyebarkan
keadilan serta mengembalikan hak-hak kepada yang berhak. Negara
memobilisasi tentara maupun rakyat untuk menyebarkan dakwah Islam di
seluruh pelosok dunia. Negara juga merupakan pemimpin bagi ummat dalam
mengatur perekonomian, kesehatan, keamanan, hubungan dalam dan luar
negeri serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di tengah
masyarakat. Negara pula yang mengadakan perjanjian-perjanjian dengan
negara-negara lain dan menyatakan perang, membuat perdamaian kerjasama
ekonomi maupun yang lainnya untuk kemaslahatan bersama. Negara mengawasi
dan mengontrol masyarakat beserta individu dan meminta
pertanggungjawaban mereka tanpa memandang siapapun juga. Dalam sistem
Islam, negara bersikap keras (tegas) dalam melaksanakan syari’at Islam,
tetapi lunak terhadap ummat dan individu ikut serta bersama masyarakat
dalam mengoreksi tingkah laku para penguasa.
Oleh karena itu dalam sistem Islam. pengontrolan dan pengawasan
pelaksanaan hukum dilakukan secara bersama-sama. Individu merupakan
penyangga yang pengoreksi tingkah laku masyarakat dan penguasa. Sedang
masyarakat adalah pilar yang membentuk kepribadian individu secara
Islami yang khas, serta mendukung negara dan meminta
pertanggungjawabannya, juga ikut serta dalam menyangga masyarakat dan
individu, disamping memenuhi dan melayani seluruh kebutuhan masyarakat,
berdasarkan peraturan Islam, serta meminta pertanggungjawaban mereka
terhadap setiap kesalahan dan penyelewengan.
Inilah gambaran ummat Islam yang disimbolkan dengan negara, masyarakat
dan individu-individunya. Inilah umat yang kokoh bangunannya, sempurna
dan konsisten peraturannya, sehingga tidak terdapat sedikitpun
celah-celah yang memungkinkan disusupi oleh pemikiran dan ideologi asing.
Keadaan ummat yang kacau-balau sekarang ini, yang telah menggoncangkannya sehingga ambruk bangunannya dan ditundukkan oleh
aturan-raturan kufur, semuanya itu telah terjadi setelah umat Islam
menjauhkan diri dari Negara Islam dan mencampakkan peraturan-peraturan
Islam.
Saat kini, muncul pertanyaan,mungkinkah seorang individu yang hidup
dalam sistem materialis dapat mengecap kesempurnaan taqwa ?
Apa
sebenarnya yang bisa mendorong untuk memiliki sifat taqwa, sedangkan ia
telah terputus hubungannya dengan Allah SWT dan telah terikat dengan
materi semata ?
Juga ia tidak percaya bahwa Allah akan menghisabnya di
hari kiamat kelak ?
Jawaban pertanyaan ini sudah jelas, bahwa tidak ada tempat bagi taqwa
di hati individu, negara maupun masyarakat dalam sistem kapitalis maupun
sosialis.
Sesungguhnya, Islam yang berlandaskan wahyu Allah SWT, disampaikan
melalui Rasul-Nya, merupakan satu-satunya sistem yang memiliki ciri khas
tentang cara pelaksanaan aturannya. Hal ini tidaklah mengherankan
karena Islam adalah sistem yang bersumber dari Al-Quran, kalam Allah
SWT, yang Maha Sempurna.
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ ۖ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
“Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan oleh Rabb Yang Maha Terpuji” (QS Fushilat 42).