Mempelajari sejarah dakwah Rasulullah SAW berarti mempelajari seluruh
perilaku beliau. Kehidupan Rasulullah SAW adalah kehidupan dakwah,
kehidupan perjuangan menghadapi berbagai pemikiran kufur, dan kehidupan
mengemban risalah yang diamanahkan Allah SWT untuk disampaikan kepada
manusia secara keseluruhan.
Dua puluh tiga tahun lamanya beliau bersungguh-sungguh, tanpa mengenal
lelah, berdakwah terus menerus tak pernah sekejappun berhenti, mengajak
manusia kepada Islam dengan dakwah fikriyah, dakwah siyasiyah dan dakwah
askariyah.
Disebut dakwah fikriyah karena beliau memulai dakwahnya dengan
menyebarkan aqidah Islam seraya mendobrak segala bentuk pemikiran dan
pandangan hidup yang menyesat kan, dan menghancurkan segala bentuk
kepercayaan dan tradisi nenek moyang yang jahiliyah. Disebut dakwah
siyasiyah karena dakwah ini mengarahkan umat pada suatu kekuatan sebagai pelindung dakwah agar bisa menyebar luas ke seluruh pelosok sudut-sudut
dunia. Disebut dakwah askariyah karena dakwah ini membutuhkan taktik
dan strategi dalam jihad fi sabilillah.
Beliau begitu sukses dalam mengemban dakwah ini, membina masyarakat,
hingga mampu mendirikan daulah (negara). Beliaupun berhasil menghimpun
umat yang terpecah belah, berqabilah-qabilah menjadi umat yang satu di
bawah panji-panji Islam.
Sukses yang beliau raih bukan melalui perubahan sosial terlebih dahulu
atau perubahan moral, walaupun hal tersebut sangat diperlukan. Juga
tidak melalui slogan-slogan sukuisme, qoumiyah, ashobiyah (fanatisme
golongan) dan lain-lain. Akan tetapi beliau memulainya dengan konsep
aqidah “laa ilaaha illallah”. Aqidah inilah yang merubah pemikiran,
pemahaman, perasaan dan pandangan serta perilaku hidup masyarakanya
sehingga terwujud generasi sahabat yang mampu meneruskan risalah dakwah
ini tersebar luas ke seluruh pelosok dunia.
Pada dasarnya kesempurnaan dakwah Islamiyah itu telah terhenti sejak
terhentinya penaklukan Islam. Dan umat Islam sebagai ummatan wahidah
sesudah itu terkoyak-koyak menjadi berbagai suku bangsa yang lemah dan
berdiri sendiri-sendiri. Padahal pada mulanya merupakan satu kekuatan
tangguh yang disegani oleh musuh-musuhnya. Kini, umat sangat
membutuhkan orang yang mau mengemban dan melanjutkan risalah dakwah
Islamiyah untuk membangkitkan kembali kekuatan itu, melalui suatu
kebangkitan yang benar yang berdasarkan Islam. Umat saat ini sangat
membutuhkan orang yang mau menghimpun kembali barisan yang tercecer,
shaf-shaf yang terbengkalai dan menyatukan seluruh kekuatan yang ada
agar tegak dan terbina masyarakat yang Islami serta untuk memulai
kembali missi dakwah ini ke seluruh dunia untuk kedua kalinya.
Terwujudnya cita-cita ini hanya tercapai dengan jalan dakwah, sebab
hanya jalan inilah yang ditempuh oleh Rasulullah SAW sehingga meraih
kesuksesan yang luar biasa. Jejak langkah tersebut kemudian diikuti oleh
generasi sahabat. Jalan yang ditempuh adalah jalan yang lurus. Metode
yang dipakai adalah metode yang benar sehingga membuahkan hasil yang
luar biasa. Metode yang beliau lakukan adalah metode yang wajib
diteladani, dan jalan ini wajib ditempuh umat Islam dewasa ini dengan
cermat dan teliti agar kita tidak terperosok di jalan yang salah.
Kesalahan sedikit saja dalam menganalogikan dakwah Rasulullah SAW, atau
menyimpang dari jalan yang telah digariskan oleh beliau dapat
mengakibatkan kita tersesat di tengah jalan dan sekaligus awal kegagalan
dalam meraih cita-cita.
Agar tidak menemui kesulitan dalam meniru gerak langkah dakwah
Rasulullah SAW, maka kita harus kembali kepada Al-Quran dan Sunnah
Rasul, khususnya kembali kepada siroh Nabi SAW. Kita mesti berhenti lama
untuk memandang dan merenung di hadapan siroh Rasulullah SAW. untuk
mengetahui apa yang beliau katakan dan yang beliau perbuat, dan untuk
mengetahui jalan yang pernah beliau tempuh ketika mengemban risalah
dakwah ini sesuai dengan yang telah digariskan oleh Allah SWT kepadanya.
Kemudian kita harus berjalan bersamanya, meneguhkan niat untuk
mengikuti tuntunannya, tetap berada pada jejak langkahnya sehingga kita
bersama seluruh umat Islam senantiasa berada di pihak yang mengikuti
jejak langkahnya.
Bila kita telah mengemban risalah dakwah ini dan telah berbuat sesuai
dengan garis perjuangan beliau, berjalan di jalan yang pernah beliau
lalui, pastilah kemenangan akan datang. Saat itu pertolongan Allah akan
tiba sesuai dengan cita-cita dan harapan. Cita-cita tersebut tiada lain
adalah memulai kembali kehidupan Islam secara keseluruhan dengan
mewujudkan aturan Allah di muka bumi ini, serta mengemban dakwah
Islamiyah ke seluruh bangsa.
Oleh karena itu pemahaman tentang sejarah dakwah Rasulullah SAW atau
sirah Rasul secara keseluruhan mutlak diperlukan oleh setiap umat Islam
pemegang amanah Allah dan penerus risalah dakwah. Dengan demikian
kejayaan Islam dapat direbut kembali dan Islam dapat tegak di muka bumi
ini. Pada akhirnya umat dapat bergerak bebas dan merdeka dalam
menyampaikan dakwah Islamiyah di bawah naungan Khilafah Ar-Rosyidah.
Allah SWT telah menurunkan agama ini bagi seluruh umat manusia. Dialah
yang menjadikan Islam sebagai agama Fithrah. Dialah yang mengokohkannya
dan Dialah yang pasti akan menolongnya serta memenangkannya terhadap
agama atau ideologi lain walaupun orang-orang kafir membencinya.
PERIODE DAKWAH DI MAKKAH
Dengan pengamatan yang jernih, akan didapatkan bahwa Rasulullah SAW
telah menjalankan dakwah di kota Makkah melalui dua tahap
berturut-turut. Tahap pertama adalah tahap pembinaan dan pengkaderan,
yakni pembinaan pemikiran dan ruh. Dan tahap kedua adalah tahap
penyebaran dakwah ke masyarakat secara zhahir dan melakukan upaya
perjuangan untuk membentuk suatu sistem masyarakat.
Pada tahap pertama dibutuhkan adanya pemahaman dan penghayatan yang
mendalam terhadap ilmu-ilmu yang diberikan oleh Rasulullah SAW, untuk
kemudian berlanjut kepada pembentukan jamaah yang terdiri dari
kader-kader inti. Pada tahap kedua, pemahaman dan penghayatan terhadap
ilmu-ilmu tersebut berproses menjadi suatu kekuatan pendorong dalam diri
yang terwujud lewat sikap dan perilaku yang menghasilkan dakwah terbuka
dan perjuangan. Perubahan dari pemahaman menuju tingkah laku ini sangat
penting, agar pengetahuan yang telah diperoleh tidak hanya akan
tersimpan di dalam benak sebagai pengetahuan teoritis yang menjemukan,
bagaikan buku-buku ilmu pengetahuan yang tertumpuk di dalam almari buku.
Pada akhirnya nilai dan manfaatnya tidak terasa disebabkan tidak
segera diwujudkan di dalam kehidupan yang nyata.
Karena itulah, diperlukan suatu proses perubahan dari satu konsep
pemikiran kepada satu kekuatan pendorong dalam diri. Perubahan
tersebut terwujud dalam bentuk tingkah laku dakwah yang membangkitkan
pemahaman masyarakat awam serta mendorong mereka untuk dapat mengamalkan
dan memperjuangkannya. Dengan demikian tujuan dapat tercapai, yaitu
terwujudnya ajaran-ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Disini kita melihat bahwa seandainya pemikiran-pemikiran Islam yang
telah disampaikan oleh Rasulullah SAW tidak dipahami dan dihayati secara
mendalam serta tidak berubah menjadi suatu kekuatan pendorong dalam
diri, atau sering tidak diamalkan dan diteruskan kepada masyarakat yang
belum menerima dakwah, niscaya pemikiran-pemikiran itu tidak akan
terwujud menjadi suatu kekuatan yang dapat diamalkan dan disebarkan ke
seluruh pelosok dunia.
Jadi, pengamalan para sahabat terhadap ajaran yang telah mereka terima
merupakan perwujudan iman, hasil pemahaman dan penghayatan melalui
perjuangan yang berat yang penuh resiko dan ujian.
Dengan demikian
dakwah Rasulullah di kota Mekkah melalui dua tahap yaitu tahap pembinaan
dan pengkaderan serta tahap interaksi kepada masyarakat dan
perjuangan.
1) Tahap Pembinaan dan Pengkaderan (Marhalah Tastqiif)
Dakwah Rasulullah pada tahap ini dilaksanakan secara
sirriyah (rahasia) dalam waktu tiga tahun. Saat itu dakwah belum
dilakukan secara terbuka di depan umum, melainkan melalui
individu-individu, dari rumah ke rumah. Mereka yang menerima dakwah atau Islam segera dikumpulkan di rumah seorang sahabat bernama Arqom,
sehingga rumah tersebut dikenal sebagai Darul Arqam (rumah Arqam).
Disanalah mereka dibina dan dikader dengan sungguh-sungguh dan
terus-menerus. Beberapa dari mereka diutus untuk mengajarkan Islam
kepada yang lain, diantaranya Khabbab bin Arts yang mengajarkan
Al-Quran kepada Fatimah binti Khaththab bersama suaminya. Semakin hari
semakin bertambah jumlah mereka hingga mencapai 40 orang dalam waktu
tiga tahun. Selama itu, Darul Arqam senantiasa menjadi pusat pembinaan
dan pengkaderan para sahabat pengemban dakwah, dimana mereka berkumpul
untuk mendengarkan dan menghayati ayat-ayat Al-Quran beserta penjelasan
dari Rasulullah SAW.
Memang menyampaikan sesuatu yang masih asing dan belum terfikirkan oleh
masyarakat hendaknya terlebih dulu dilaksanakan secara diam-diam,
dengan lebih banyak bertatap muka hingga mendapat dukungan dan kerelaan
berkorban untuk meraih cita-cita yang diharapkan. Dengan demikian
apabila Rasulullah SAW menyampaikan dakwah pada tahap ini secara
diam-diam, hal tersebut bukan berarti beliau takut melaksanakan secara
terang-terangan, melainkan itulah yang dituntut untuk dilaksanakan.
Ketika turun ayat 1 dan 2 Surat Al-Mudatsir, :
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
قُمْ فَأَنْذِرْ
“Hai orang yang berselimut! bangunlah, lalu berilah peringatan”
Beliau makin bertambah yakin bahwa tugas risalah dan perintah yang
dibebankan padanya untuk dilaksanakan akan mendapat perlindungan dari
Allah SWT, dan bisa dilaksanakan secara terang-terangan karena Allah
pasti akan menolongnya. Setidaknya dari contoh ini dapat diambil hikmah
bagi para pengemban dakwah pelanjut risalah, bahwa segala sesuatu
senantiasa terikat dengan sebab dan musabbabnya. Dakwah senantiasa
memerlukan usaha dan ikhtiar, pemikiran dan program yang baik, tidak
semata-mata menyerahkan kepada nasib sepenuhnya (Taqdir Allah).
Oleh karena itu, jumhur (mayoritas) ahli fiqh berpendapat bahwa jika
kaum muslimin berada dalam posisi yang lemah, kekuatan yang rapuh dan
dikawatirkan mereka akan binasa oleh kekuatan musuh, maka mereka harus
memelihara diri dan agama mereka dengan cara dakwah sirriyah. Sebaliknya
apabila terdapat kemungkinan untuk berdakwah secara zhahriyyah
(terang-terangan), maka hal ini lebih utama karena seorang muslim tidak
boleh menyerah kepada kaum kuffar atau zhalim dan dari berdiam diri dari
jihad melawan orang-orang kafir.
Hal ini terbukti pernah beliau lakukan pada permulaan dakwah
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitabnya Tartib lil
Musnad-nya, bahwa Rasulullah SAW bersama istrinya Siti Khadijah pernah
diancam oleh Abu Jahal tatkala shalat di depan Ka’bah dan dengan
terang-terangan mencela patung-patung berhala yang disembah oleh
orang-orang Arab. Dan ketika di Mina, Rasul bersama Ali bin Thalib
menyampaikan kepada orang banyak bahwa suatu saat Romawi dan Persia akan
ditaklukkan oleh Islam.
Menurut pensyarah hadits ini, apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah
SAW dan para pengikutnya yang masih berjumlah tiga orang itu adalah
untuk menarik perhatian kaum Quraisy agar berfikir tentang hakekat
berhala yang dijadikan sebagai tuhan, sebagaimana dakwah Nabi Ibrahim
AS. Dari hal tersebut dapat pula diketahui bahwa sejak awal dakwah
Rasulullah SAW bukanlah dakwah ruhiyah (kerohanian) semata, melainkan
dakwah siyasiyah, karena tidak mungkin kerajaan Romawi dan Persia akan
dapat ditaklukkan tanpa niat dan usaha kaum muslimin untuk memperoleh
kekuasaan yang berdaulat, kekuasaan yang mampu menggerakkan bala tentara
untuk menghancurkan kedua kerajaaan itu.
2) Tahap Interaksi Dengan Masyarakat dan Perjuangan (Marhalah Tafaa’ul wal Kiffah)
Marhalah ini merupakan bentuk dakwah zhahriyah, karena Rasul dan
para sahabatnya melakukan dakwah secara terbuka kepada seluruh
masyarakat jazirah Arab. Tahapan ini penuh dengan rintangan dan
perjuangan setelah Rasulullah dan para sahabatnya mendapat perintah dari
Allah SWT, sebagaimana ayat :
فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
“Maka sampaikanlah secara terang-terangan apa yang diperintahkan
(Allah) kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrikin” (QS.
Al-Hijr : 94)
فَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ فَتَكُونَ مِنَ الْمُعَذَّبِينَ
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Maka janganlah kamu menyeru (menyembah) tuhan yang lain di samping Allah, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang diazab,dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, dan
rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu dari kalangan
orang-orang yang beriman ” (QS. Asy-Syu’araa : 213-215)
Dakwah pada marhalah ini segera mendapat reaksi keras dari kaum
musyrikin. Siksaan dan penganiayaan datang bertubi-tubi. Pengikut
Muhammad SAW mulai diuji keimanannya, sampai sejauh mana kualitas
keimanan mereka setelah tiga tahun mendapat pembinaan di Darul Arqam.
Rasulullah sendiri ketika sedang shalat di depan Ka’bah didatangi oleh
Uqbah bin Mu’ith dan mencekik leher beliau, sampai kemudian datang Abu
Bakar Ash-Shiddiq ra. melerainya sambil berkata :
“Apakah kalian hendak membunuh orang yang berkata bahwa Allah Tuhanku?” (HR. Bukhari)
Para sahabat Rasulullah SAW mendapat penganiayaan yang
bermacam-macam sehingga datanglah Khabbab bin Arts menghadap Rasul SAW
dan berkata :
“Ya Rasulullah, terlalu banyak sudah penganiayaan yang datang dari
kaum musyrikin, mengapa engkau tidak berdo’a agar Allah menolong kita?”
Rasul SAW menjawab:
“Lebih berat lagi penderitaan yang dialami oleh
orang-orang mukmin sebelum kamu. Mereka disiksa dengan sisir besi
sehingga terkelupas kulit kepala dan dagingnya, namun mereka tidak
pernah berpaling dari agamanya”
Isteri Bilal bin Rabah disiksa sampai meninggal, sedangkan Bilal
sendiri dipaksa berbaring di siang hari bolong di tengah teriknya
matahari lalu ditindih dengan batu besar dan panas di dadanya, sehingga
tidak mampu lagi bersuara kecuali ucapan: Ahad… Ahad..Ahad, begitu
pula Abu Bakar Shiddiq dan sahabat lainnya mendapatkan penganiayaan pula
dari kaum Musyrikin.
Pada saat-saat seperti ini Rasulullah sangat mengharapkan munculnya
beberapa orang kuat diantara para pengikutnya yang mampu melindungi
dakwahnya. Sayyidina Hamzah, paman Rasulullah telah masuk Islam ketika
mendengar bahwa Rasulullah dianiaya dan dicaci maki oleh Abu Jahal.
Dan
disaat masuk Islamnya Hamzah, Rasulullah berdo’a :
“Ya Allah kuatkanlah Islam dengan Abu Jahal bin Hisyam atau dengan Umar bin Khaththab”
Sebelumnya sebanyak enam belas shahabat diperintahkan Rasulullah SAW
agar berhijrah ke Habsyah karena tidak tahan penganiayaan kaum
Musyrikin, mereka terdiri dari dua belas orang laki-laki dan empat orang
wanita. Dan baru kembsli ke Mekkah setelah mendengar bahwa Umar bin
Khaththab masuk Islam.
Beberapa pelajaran yang dapat kita petik dari peristiwa yang terjadi
yakni bahwasanya penderitaan, cobaan, dan ujian merupakan timbangan iman
yang memisahkan antara yang haq dan yang batil, antara yang benar dan
yang salah. Kepada para da’i dan pejuang yang ikhlas menegakkan agama
Allah, kisah-kisah seperti ini akan menjadi obat dan penawar hati ketika
ia sedang mengalami penganiayaan dan siksaan dari penguasa zhalim, atau
tatkala sedang diancam maut karena siksaan yang biadab dan lain
sebagainya, maka ia akan ingat bahwa keadaan yang dialaminya bukanlah
baru terjadi pada dirinya, melainkan sesuatu yang lumrah yang biasa
terjadi pada diri orang-orang beriman penegak dakwah dikala menghadapi
kezaliman kaum kafir yang diperlakukan jauh lebih berat dari pada itu.
Akan tetapi mereka tidak putus asa, hilang semangat serta berbalik
haluan. Inilah rahasia keberhasilan dakwah orang-orang beriman sehingga
mereka berhasil membebaskan manusia dari penindasan dan penganiayaan
serta kezaliman.
Doa Rasulullah yang mengharapkan Umar bin Khaththab masuk Islam,
memberi pelajaran kita bahwa dakwah Islamiyah, dimana saja ia berkembang
memerlukan adanya pendukung-pendukung yang kuat yang mempunyai pengaruh
di mata masyarakat sebagai pelindung-pelindung dakwah. Dan kalaulah
yang terbanyak dan pertama kali mengikuti seruan Rasulullah terdiri dari
kaum Mustadh’afiin, maka inilah tabiat dari dakwahnya para Rasul-rasul
Allah semenjak dahulu kala (lihat QS Hud: 26; QS Al-A’raf: 75 dan 137).
Hal ini karena misi dakwah para Rasul bertujuan untuk membebaskan
manusia dari penghambaan kepada manusia terutama terhadap para penguasa
kaumnya (QS At-Taubah : 31). Dan adalah wajar apabila orang-orang yang
teraniaya dari kalangan mustad’afiin adalah orang yang pertama kali
harus dibebaskan dari cengkeraman kezaliman (QS Al-Qashshash: 5).
Perintah Allah agar menyampaikan dakwah kepada kerabat terdekat berarti
bahwa tanggungjawab seorang da’i sebeklum keluar rumah untuk berdakwah
hendaklah dimulai dari dirinya, kemudian istri dan anak-anaknya di
rumahnya kemudian keluarga yang terdekat. Atas dasar inilah Rasulullah
SAW pernah mengundang empat puluh lima orang keluarga Bani Hasyim untuk
makan di rumahnya, lalu beliau bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah megutus aku untuk seluruh umat manusia dan
kepada kalian khususnya, dan aku menyuruh kepada kamu dengan dua
kalimat yang ringan diucapkan dengan lidah tetapi berat di timbangan
yaitu : Bersaksi bahwa tiada ilaah selain Allah dan aku adalah
Rasulullah, dan siapa yang menerima seruanku ini untuk menolongku dalam
menegakkannya” (Lihat Siroh Al-Halabiah I :460)
Dakwah Rasulullah SAW pada masalah ini merupakan suatu pertarungan
pemikiran antara alam pemikiran jahiliyah dengan alam pemikiran Islam,
antara adat istiadat, budaya dan kepercayaan nenek moyang dengan Islam.
Hal ini terlihat dari ayat-ayat Makkiyah yang pada umumnya mengajak
mereka untuk meninggalkan adat istiadat, budaya dan kepercayaan nenek
moyang mereka, seperti yang tercantum dalam surat Al-Zukhruf 21 – 24.
Begitu pula dakwah pada marhalah ini merupakan suatu pergolakan politik
antara pemimpin Arab yang terdiri dari para kepala suku dan qabilah
dengan Nabi Muhammad SAW. Hal ini terlihat dari ucapan Rasulullah di
hadapan tokoh-tokoh Quraisy :
“Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan kepadaku untuk
memberikan peringatan kepada keluargaku yang terdekat, dan kalianlah
orang-orang yang terdekat diantara kaum Quraisy. Dan aku tidak dapat
menolongmu dari sisi Allah di dunia ini dan juga di akhirat nanti,
kecuali apabila kamu mengucapkan ‘Laa ilaaha illa Allah’ maka
bersaksilah kamu dengan kalimat ini di sisi tuhanmu, semua orang Arab
akan taat kepadamu dan orang-orang Ajampun akan tunduk kepadamu” (Lihat
Kanzul Umam I : 277)
Ucapan Rasulullah SAW ini merupakan bahasa diplomasi yang mengandung
makna bahwa kesedian mereka untuk menrima dakwah Rasulullah, kesediaan
untuk masuk Islam, maka berarti mereka bukan saja akan menjadi
pemimpin-pemimpin Quraisy dan kaumnya tetapi juga pemimpin-pemimpin
bangsa Arab dan bahkan menjadi pemimpin-pemimpin dunia. Dan hal ini
telah terbukti bahwasanya Islam pernah menguasai dunia selama
berabad-abad lamanya.
Walaupun marhalah pembinaan dan pengkaderan telah berpindah ke marhalah
tafa’ul dan kiffah (marhalah interaksi dan perjuangan), tidak berarti
bahwa pembinaan dan pengkaderan terus dihentikan. Justru pembinaan dan
pengkaderan dilakukan secara terang-terangan. Kalau sebelumnya
halaqah-halaqah atau kelompok-kelompok pengajian diadakan secara
sembunyi-sembunyi di rumah para sahabat dan di Darul Arqam, maka setelah
Hamzah dan Umar bin Khaththab masuk Islam, pengajian dilakukan secara
terbuka di sekitar Ka’bah dengan lebih intensif. Tempat pembinaan dan
pengkaderan justeru dilakukan di Masjidil Haram sesuai dengan riwayat
dari Shuhaib:
“Bahwasanya ketika Umar masuk Islam kami duduk berkelompok di sekitar Baitullah” (Sirah Al-Halabiah II : 21)
Dari Anas ra. beliau berkata :
“Apabila mereka selesai shalat di pagi hari, mereka duduk berkelompok
membaca Al-Quran dan mempelajari hukum-hukum yang wajib dan yang
sunnah.” (lihat Majmauz Zawa’id I :32).
Marhalah ini berjalan selama sepuluh tahun lamanya dan rumah
Rasulullah menjadi pusat perhatian pengikut-pengikut beliau, tempat
mereka menimba ilmu dan menerima wahyu Allah yang turun kepada Nabi.
Darul Arqam sebagai pusat pembinaan dan pengkaderan umat, dilaksanakan
lebih selektif, intensif dan kontinue dengan memilih orang-orang yang
dianggap cocok dan mampu mengemban dakwah.
Pengetahuan yang mereka peroleh dari Rasulullah SAW tidak hanya
berkisar hanya kepada masalah Aqidah, akan tetapi lebih luas lagi
menyangkut masalah ekonomi, sosial, hukum pidana, nasib kaum dhu’afa,
fukara’, dan masaakin dan sebagainya. (Lihat QS Ar-Ruum : 39, tentang
Riba, Al-Isra :35; Al-An’aam :152 dan Al-Muthaffifiin : 1-4, tentang
jual beli dan hukum pidana; Al-Ma’uun dan Al-An’aan :152 tentang anak
yatim dan lainnya).
Dakwah Rasulullah semakin gencar, ruang lingkupnya semakin luas,
sasarannya lebih ditujukan kepada kelompok-kelompok jamaah di
tempat-tempat yang ramai seperti pasar di musim haji, di Ka’bah tempat
orang melakukan thawaf dan lain-lainnya.
Lebih dari empat belas qabilah yang berada di sekitar Makkah didatangi
oleh Rasulullah dan hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan Quraisy
terutama jika diantara qabilah itu ada yang menerima dakwah Rasulullah
SAW dan berdiri mendukung Rasul serta mengadakan perlawanan terhadap
kaum Quraisy. Hal ini akan merusak citra mereka di mata masyarakat Arab,
terlebih lagi apabila kepercayaan agama nenek moyang serta budaya
mereka dihina atau dicaci-maki. Oleh karena itu mereka mengutus Walid
bin Mughirah, ‘Ash bin Wailli, Aswad bin Muthalib dan Umayya bin
Khalaf menghadap Rasulullah SAW dan menawarkan kerjasama dalam
beragama, yaitu kaum Quraisy akan menyembah apa yang disembah kaum
Muslimin, akan tetapi kaum Musliminpun harus menyembah apa yang disembah
kaum Quraisy. Maka turunlah wahyu Allah sebagai penolakan atas tawaran
ini, serta Rasulullah membacakan surat Al-Kafirun (Siroh Al-Halabiyah).
Beberapa kali pula mereka mendatangi Abu Thalib agar bersedia membujukm
Rasulullah agar meninggalkan dakwahnya. Mereka menawarkan hartanya,
pangkat, kedudukan, dan wanita cantik, tetapi semua itu ditolak
Rasulullah dengan jawaban :
“Demi Allah ! Sekalipun matahari diletakkan di tangan kananku dan
rembulan di tangan kiriku, maka aku tak akan meninggalkan dakwah ini
hingga agama ini tegak atau aku mati karenanya”.
Demikianlah, seorang da’i penegak dakwah, tidak selayaknya mencampur
adukkan antara haq dan bathil, pantang menjual aqidah atau silau oleh
bujuk rayu harta benda, kedudukan dan wanita.
Pada marhalah yang penuh rintangan ini, ruang gerak dakwah Rasulullah
di Makkah semakin sempit dan dihalangi kaum Qurasy, lebih-lebih setelah
meninggalnya Sayyidati Khadijah (isterinya) dan Abu Thalib
(paman- nya). Dua orang inilah yang setia dan gigih melindungi dan
menyokong dakwah beliau. Kemudian Rasulullah berusaha mencari pendukung
di kota Thaif, tetapi tidak berhasil bahkan disambut dengan penghinaan
dan penganiayaan fisik. Tahun-tahun tersebut merupakan saat paling sulit
bagi Rasulullah dan para pengikutnya. kemanapun Rasulullah pergi selalu
diikuti oleh Abu Lahab dan kawan-kawannya yang selalu mengatakan kepada
kaum yang didatangi Rasulullah, bahwa beliau adalah seorang pendusta
dan pembohong yang ingin mengubah agama nenek moyang mereka. Hal ini
menyebabkan sering Rasulullah menyendiri, mengadukan persoalannya kepada
Allah SWT sampai beliau menjalani Isra dan Mi’aj, menumbuhkan kembali
kekuatan ke dalam dirinya, bahkan kekuasaan Allah meliputi segala
sesuatu.
Suatu ketika pada musim haji, datanglah serombongan orang dari suku
Aus dan Khjaraj dari Yatsrib (Madinah). Kesempatan ini digunakan
oleh Rasulullah untuk menyampaikan dakwah.
Ketika rombongan ini
mendengar ajakan Rasulullah SAW, satu sama lain saling berpandangan
sambil berkata :
“Demi Allah, dia ini seorang nabi seperti yang dianjurkan orang-orang Yahudi kepada kami.”
Kemudian mereka menerima dakwah Rsulullah SAW sambil berkata :
“Kami tinggalkan kaum kami disana dan tidak ada pertentangan serta
permusuhan antara kaum kami dengan kaum yang lain, mudah-mudahan Allah
SWT mempertemukan mereka denganmu. Kami akan sampaikan berita ini kepada
mereka. Dan bila Allah mempertemukan mereka denganmu dan menerima
dakwahmu, maka tidak ada lagi orang yang paling mulia darimu.” (Sirah
Ibnu Hisyam I : 428).
Tahun kedua belas kenabian, dua belas orang dari Madinah datang dan masuk Islam. Mereka membai’at Rasulullah SAW yang isinya:
“Tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzinah dan tidak
membunuh anak-anak kecil, tidak berbohong serta tidak menentang
Rasulullah dalam perbuatan ma’ruf" (HR Bukhari).
Bai’at ini terkenal dengan sebutan Bai’atul Aqabah I.
Sekembalinya mereka dari haji, Rasulullah mengutus seorang sahabat
bernama Mush’ab bin Umair bersama mereka ke Madinah untuk mengajarkan
Al-Quran dan hukum agama. Karena semakin banyak penduduk Madinah yang
masuk Islam maka Mush’ab bin Umair mengirimkan surat kepada Rasulullah
SAW di Makkah tentang keinginannya untuk me-ngumpulkan mereka seperti
kebiasaan penduduk Yahudi yang mengumpulkan anak dan istrinya pada hari
sabtu (Hari Sabbath). Rasulullah memberi izin tetapi dilakukan hari
Jum’at dan memerintahkannya agar melakukan shalat dua rakaat (Sirah
Al-Halabiyah II: 168).
Dengan demikian, Mush’ab bin Umair adalah orang pertama yang melakukan
shalat Jumat di Madinah, walaupun pada waktu itu belum difardukan kepada
umat Islam, kecuali sesudah Rasulullah berhijrah ke Madinah.
Musim haji berikutnya, tahun ketigabelas kenabian, Mush’ab bin Umair
kembali ke Makkah bersama tujuh puluh lima orang Islam. Dua diantaranya
adalah wanita dan mereka mengadakan baiat kepada Rasulullah SAW. Baiat
ini dinamakan Bai’atul Aqabah II.
Isi Bai’atul Aqabah II ini pada dasarnya tidak berbeda dengan yang
pertama, yaitu mereka akan tetap berpegang teguh kepada Islam dan
berjanji untuk patuh dan taat dengan ikhlas kepada Allah serta
meninggalkan larangan-Nya. Namun demikian ada sedikit perbedaan diantara
keduanya. Pada Bai’at Aqabah I tidak ada isyarat jihad, sedangkan
pada Bai’atul Aqabah II mengandung isyarat tegas tentang kesediaan
mereka untuk berjihad dan membela Rasulullah SAW dengan jalan apapun,
dalam rangka dakwah ilallah. Selesai melakukan baiat Rasulullah menunjuk
dua belas orang untuk bertindak sebagai pimpinan masing-masing qabilah
mereka.
Abbas bin Ubadah salah seorang dari mereka berkata kepada
Rasulullah :
“Demi Allah yang mengutusmu dengan benar, bila engkau mengizinkan,
kami akan perangi penduduk Mina besok pagi dengan pedang-pedang kami”.
Jawab Rasulullah :
“Kita belum diperintahkan untuk itu, dan lebih baik kembalilah ke kendaraanmu masing-masing.” (Sirah Al-Halabiah II : 176).
Jelas bahwa sebelum hijrah ke Madinah dan membangun daulah di sana,
kewajiban jihad dalam Islam belum diperintahkan. Dengan demikian, dapat
diketahui bahwa dakwah Rasulullah dalam periode Makkah adalah dakwah
dalam rangka memperkenalkan Islam melalui dakwah fikriyah kemudian
membina umat, mengatur barisan dan menyusun kekuatan untuk kemudian
hijrah ke kota Madinah dan membangun Khilafah Islamiyah serta mengumumkan perang kepada orang-orang yang menentang dakwah Islam.
Berdasarkan kajian yang mendalam terhadap langkah dakwah Rasulullah di
Makkah ini, dapat diketahui bahwa dalil-dalil yang mendasari thariqah
dakwah Rasul, mewajibkan seluruh kaum muslimin saat ini untuk mencontohnya.
PERIODE DAKWAH DI MADINAH
Dakwah Islam di Madinah telah tersebar selama dua tahun sebelum
Rasulullah SAW hijrah ke sana. Awalnya adalah berimannya tujuh penduduk
Madinah yang sengaja dijumpai Rasulullah ketika musim haji di Mina.
Tahun berikutnya datang dua belas orang lagi yang mengadakan Bai’atul
Aqabah I, lalu disusul orang-orang Madinah mengadakan Bai’atul Aqabah II
dalam jumlah besar, yaitu tujuh puluh lima orang sebagaimana diuraikan
tadi. Kesediaan penduduk Madinah menerima kedatangan Rasulullah dan
menyerahkan segala urusan mereka kepada beliau, merupakan awal tumbuhnya
benih Khilafah Islamiyah. Beliau memerintahkan pengikut-pengikutnya
berhijrah terlebih dahulu ke Madinah yang kemudian diikuti beliau dan
Abu Bakar Ash-Shiddiq.
Hijrahnya kaum Muslimin ke Madinah adalah sebagai awal mula marhalah
dakwah ketiga, yaitu marhalah tathbiq ahkaamul Islam (inilah periode
pelaksanaan Syariat Islam) dengan diproklamirkannya Daulah Islamiyah
sebagai pelaksana hukum Islam dan sebagai pengemban risalah dakwah ke
segenap penjuru dunia dengan jihad fi sabilillah.
Beberapa aktivitas yang dilakukan Rasulullah SAW di Madinah adalah sebagai berikut :
Tugas pertama yang dilakukan Rasulullah SAW di Madinah adalah membangun
masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam, tempat shalat, tempat
bermusyawarah, tempat belajar-mengajar, tempat mengatur strategi dakwah
dan jihad juga tempat untuk menyelesaikan segala bentuk perselisihan dan
sengketa. Masjid juga menjadi tempat penglepasan para prajurit ke medan
jihad dan tempat menyelesaikan semua urusan umat yang menyangkut
ekonomi, hukum dan sebagainya. Pembangunan masjid mempunyai arti yang
sangat penting bagi pembangunan masyarakat Islam yang terdiri dari
individu-individu muslim yang senantiasa berpegang teguh kepada aqidah
dan syariat Islam, pancaran semangat kemasjidannya.
Sistem Islam sangat mementingkan ukhuwah Islamiyah antar sesama warga
masyarakat, dan ini tidak akan terpenuhi secara maksimal melainkan
dimulai dari masjid, tempat umat Islam bertemu muka dan bertukar
informasi serta menjalin persaudaraan sehingga lenyaplah dengan
sendirinya tembok-tembok pemisah antara kaya dan miskin, warna kulit dan
keturunan. Sistem Islam menghendaki adanya kesamaan dan keadilan bagi
seluruh umat. Mereka bertemu dalam suatu barisan, berdiri tegak
bersama-sama di hadapan Allah SWT, untuk menghubungkan jiwa, dapat
menyingkirkan sifat ananiyah (egoisme) dan saling menanggung atas dasar
ukhuwah Islamiyah yang terbina di masjid.
b) Membina Ukhuwah Islamiyah
Tugas kedua yang dilakukan Rasulullah adalah mempersaudarakan antara
Anshar dan Muhajirin. Persaudaraan ini bukan sekedar slogan kosong tanpa
makna, tetapi persaudaraan yang digambarkan Rasulullah SAW ibarat
satu tubuh, bila salah satu anggota tubuh tertimpa sakit maka seluruh
tubuhnya merasakan sakit. Persaudaraan yang mendarah daging mengalir
dalam tubuh setiap umat sehingga lenyap sama sekali segala bentuk
fanatisme golongan, suku bangsa dan ras. Persaudaraan yang
sebenar-benarnya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah tidak mungkin
terwujud tanpa didasari oleh Aqidah Islam dan melalui masjid, sesuai
firman Allah :
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ ۚ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana." (QS: Al-Anfaal Ayat: 63)
Rasulullah mempersaudarakan Bilal yang berkulit hitam dari Afrika
dengan Abu Ruwaim Al-Khutsa’mi, Salman Al-Farisi dari Parsi dengan
Mush’ab bin Umair dan lain sebagainya. Persaudaraan ini sampai batas
waris mewarisi harta bahkan isteri (saat itu belum ada larangannya),
sebagaimana yang terjadi antara Sa’ad bin Rabi dari kaum Anshar dengan
Abdurrahman bin ‘Auf dari kaum Muhajirin, sehingga kata Sa’ad bin Rabi :
“Aku adalah orang Anshar yang paling kaya, inilah hartaku, aku
bagikan antara kita berdua. Aku punya dua isteri, kuceraikan seorang dan
kawinilah olehmu” (Sirah Al-Halabiyah II : 292).
Persaudaraan ini sebenarnya telah dilakukan sebelumnya oleh
Rasulullah SAW, yakni ketika mempersaudarakan antara sesama kaum
Muhajirin selama berada di Makkah. Baru setelah hijrah, kaum Muhajirin
dan Anshar di persaudarakan di Madinah. Dengan demikian ikatan ukhuwah
Islamiyah bertambah kuatnya apalagi setelah dinaungi sebuah sitem islam
di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW yang menerapkan Sistem Islam.
c) Menyusun Piagam Perjanjian (Watsiqoh)
Tugas ketiga yang dilakukan Rasulullah SAW adalah menyusun piagam
perjanjian (watsiqoh). Istilah sekarang disebut Undang-Undang Dasar.
Kitab sejarah Ibnu Hisyam menyebutnya sebagai Undang-Undang Negara
Pemerintahan Islam pertama. Watsiqoh ini menyangkut hak dan kewajiban
muslim dan non-muslim yang tinggal di wilayah kedaulatan Islam, hubungan
Daulah dengan masyarakat atau antara masyarakat dengan Daulah.
Dr. Musthafa Asy-Syiba’i dalam bukunya “Siroh Nabawiyyah, Duruus wal
Ibrar” mengemukakan pokok-pokok isi watsiqoh tersebut berikut ini :
(1) Kesatuan umat Islam tanpa mengenal perbedaan suku, bangsa dan ras.
(2) Persamaan hak dan kewajiban bagi seluruh warga masyarakat.
(3) Gotong-royong dalam segala hal yang bukan untuk kedzoliman, dosa dan permusuhan.
(4) Kompak dalam menentukan hubungan dengan musuh-musuh Islam.
(5) Membangun suatu masyarakat dalam suatu sistem yang sebaik-baiknya.
(6) Melawan orang-orang yang menentang negara dan membangkang sistemnya.
(7) Melindungi orang yang ingin hidup berdampingan dengan orang Islam dan tidak boleh berbuat dzolim kepadanya.
(8) Umat non-Islam bebas melaksanakan agamanya, dan tidak boleh dipaksa masuk Islam serta tidak diganggu harta bendanya.
(9) Umat non-Islam harus ambil bagian dalam pembiayaan Daulah sebagaimana umat Islam.
(10)Umat non-Islam harus saling membantu dengan umat Islam untuk menolak bahaya yang akan mengancam negara.
(11)Umat non Islam harus ikut membiayai perang apabila daulah dalam keadaan perang dengan negara lain.
(12)Umat Islam dan non-Islam tidak boleh melindungi musuh negara dan orang-orang yang memusuhi negara.
(13)Warga negara bebas keluar masuk negara selama tidak merugikan negara.
(14)Ikatan sesama anggota masyarakat didasarkan prinsip tolong menolong untuk kebaikan dan ketaqwaan tidak atas dosa dan aniaya.
(15)Dasar-dasar tersebut ditunjang oleh dua kekuatan. Kekuatan Ruh
(spiritual) yaitu imannya kepada Allah, keyakinan akan pengawasan dan
perlindungan Allah bagi orang yang berbuat baik dan konsekuen. Begitu
pula ditunjang oleh kekuatan materi/fisik yaitu kepemimpinan negara yang
dipimpin oleh Rasulullah SAW.
D) Strategi Politik dan Militer
Dalam rangka menyebarkan dakwah Islamiyah ke luar Negeri Madinah,
sekaligus memaklumatkan kepada bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain
mengenai berdirinya Daulah Islamiyah dengan kepala negaranya adalah
Rasulullah SAW sendiri. Maka diambil beberapa langkah lanjutan setelah
urusan di dalam negeri terselesaikan.
Langkah-langkah tersebut adalah
sebagai berikut :
1) Mengirim surat kepada kepala-kepala negara atau kerajaan, pimpinan
qabilah atau suku yang ada sekitar Jazirah Arab seperti kekaisaran Romawi,
Kisra di Persia, Muqauqis di Mesir dan lain-lain untuk mengajak mereka
memeluk Islam.
2) Memaklumkan perang kepada orang-orang yang menentang dakwah
Islamiyah khususnya kaum Quraisy di Makkah dengan jalan menghadang
kafilah-kafilah dagang yang melewati kota Madinah dan sekitarnya seperti
yang terjadi dalam Perang Badr.
3) Memerangi qabilah-qabilah yang mengkhianati perjanjian perdamaian
bersama kaum muslimin seperti qabilah-qabilah Yahudi yaitu Bani
Quiraizhah, Bani Qoinuqo’, dan Bani Nadhir.
4) Menjadikan Daulah Islamiyah sebagai suatu kekuatan yang disegani dan ditakuti oleh lawan-lawannya.
Dari contoh langkah dakwah Rasulullah SAW sejak periode Makkah hingga
Madinah, bisa disimpulkan bahwa pada periode Makkah, beliau lebih
bersikap sebagai seorang da’i, muballigh, imam dan sekaligus sebagai
tokoh politik dan pemimpin jamaah kaum muslimin. Sedangkan dalam periode
Madinah, beliau bukan hanya sebagai se-orang Rasul, tetapi juga sebagai
kepala negara pemerintahan Daulah Islamiyah.
Keberhasilan para da’i penerus risalah dakwah sangat ditentukan oleh
sejauh mana kesetiaannya mengikuti jejak langkah dakwah Rasulullah.
Mudah-mudahan kita senantiasa dianugerahi taufiq dan hidayah dari Allah
SWT dalam menegakkan Islam di muka bumi Allah ini.