Pendahuluan
Istilah Syakhshiyah (kepribadian) dan Syakhshiyah Islamiyah
(kepribadian Islam) merupakan istilah baru yang tidak ada dalam
Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Hal itu adalah hal yang lumrah karena tema
tersebut merupakan tema baru yang belum pernah ada pada masa Rasulullah
SAW, shahabat bahkan pada berabad-abad terwujudnya masyarakat Islam
secara nyata. Namun ketika berbagai produk budaya Barat makin merajalela
di berbagai negeri kaum Muslimin saat ini, baik produk-produk materi
(al-maadiyah) maupun nilai-nilai (al-afkaar), maka pembahasan tema
tersebut menjadi sangat penting dibicarakan dan dibahas.
Salah satu nilai yang tertanam dalam kehidupan kaum Muslimin saat ini
adalah nilai-nilai yang dikembangkan dalam bidang ilmu kejiwaan atau
psikologi, antara lain tentang konsep kepribadian manusia yang sangat
ditentukan oleh berbagai standar. Para ahli Barat banyak membicarakan
konsep kepribadian dan nilai-nilai tinggi-rendahnya kepribadian
tersebut. Konsep mereka menyatakan bahwa tinggi rendahnya kepribadian
seseorang ditentukan oleh berbagai nilai seperti:
-Nilai-nilai fisik (bentuk tubuh, postur, cara berjalan, bentuk hidung, mata, letak tahi lalat, dsb.),-Nilai-nilai nonfisik (bentuk pakaian, warna kesukaan, makanan-minuman, saat kelahiran, adat istiadat, dsb).-Nilai-nilai genetik (orang tua pintar, seniman, dsb.)-Nilai-nilai ekternal lainnya (pendidikan, kondisi sosial-politik, dsb.)
Walhasil, nilai-nilai tersebutpun semakin mempengaruhi kaum Muslimin
dalam memandang kemulyaan dan kerendahan nilai kepribadian pada diri
seseorang maupun masyarakat. Seseorang yang berpakaian ala Barat, santun
dalam berkata, rapi, peduli lingkungan, disiplin, pemaaf, tepat waktu, dikatakan berkepribadian baik, menarik dan mulya, meskipun ia biasa
mengkonsumsi minuman keras meski tidak sampai mabuk, hidup seatap dengan
pasangannya atas dasar suka-sama suka, iapun memakan uang riba dan
hasil perjudian (legal maupun tidak), dan ia cukup datang ke
tempat-tempat ibadahnya pada saat-saat tertentu saja. Berbagai contoh
lain tentang hal ini tentu mudah kita dapatkan di masyarakat. Apalagi
kini bermunculan ‘sekolah kepribadian’ yang mengajarkan tentang
‘kepribadian baik dan mulya’ sesuai dengan nilai-nilai baik dan mulya
menurut para pengajarnya, yakni masyarakat Barat.
Memahami kondisi seperti inilah maka pemahaman tentang makna
‘kepribadaian’ dan ‘kepribadian Islam’ menjadi sesuatu yang penting,
agar kaum Muslimin memiliki sebuah kepribadian yang benar, mulya dan
kokoh yang dibangun berdasar nilai-nilai Aqidah Islam sebagaimana
kepribadian Rasulullah SAW dan para shahabat yang mulia.
Kepribadian dan Kepribadian Islam
Siapapun yang mencermati realitas ini dengan baik, akan menemukan bahwa
sesungguhnya kepribadian bukanlah dinilai dari nilai-nilai fisik pada
diri seseorang (cantik atau tidak, kaya atau miskin, dsb.) juga bukan pada asal
daerah, kebiasaan atau keturunannya. Kepribadian sebenarnya adalah
perwujudan dari pola sikap atau pola pikir (yakni bagaimana ia bersikap dan
berpikir) dan pola tingkah laku (bagaimana ia bertingkah laku).
Pola sikap seseorang ditunjukkan dengan sikap, pandangan atau pemikiran
yang ada pada dirinya dalam mensikapi atau menanggapi berbagai
pandangan dan pemikiran tertentu. Pola sikap pada diri seseorang tentu
sangat ditentukan oleh ‘nilai paling dasar’ atau ideologi yang
diyakininya. Dari pola sikap inilah bisa diketahui bagaimana sikap,
pandangan atau pemikiran yang dikembangkan oleh seseorang atau yang
digunakannya dalam menanggapi berbagai sikap, pandangan dan pemikiran
yang ada di masyarakat sekitarnya. Misalnya, seseorang akan
mengembangkan suatu ide atau konsep, seperti kebebasan, persamaan dan
kesetaraan, bila ideologi yang diyakininya membolehkan hal tersebut.
Begitu pula sebaliknya, bila ideologinya melarang hal seperti itu.
Sedangkan ‘pola tingkah laku’ adalah perbuatan-perbuatan nyata yang
dilakukan seseorang dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya
(kebutuhan biologis maupun naluriahnya). Pola tingkah laku pada diri
seseorang pun sangat ditentukan oleh ‘nilai paling dasar’ atau ideologi
yang diyakininya. Seseorang akan makan-minum apa saja dalam memenuhi
kebutuhan biologisnya bila ideologi yang diyakininya membolehkan hal
itu. Seseorangpun akan memuaskan naluri seksualnya dengan cara apa saja
bila ideologi yang diyakininya membolehkan hal itu. Dan ia pun akan
mengatur aturan peribadahannya, tata cara berpakaiannya, tata cara
bergaulnya dan berakhlak sesuai dengan keinginannya, bila ideologi yang
diyakininya membolehkan hal itu. Begitu pula sebaliknya.
Walhasil, pola sikap dan pola tingkah laku inilah yang menentukan
‘corak’ kepribadian seseorang. Dan karena pola sikap dan pola tingkah
laku ini sangat ditentukan oleh nilai dasar atau ideologi yang diyakininya,
maka ‘corak’ kepribadian seseorang memang sangat bergantung kepada
ideologi atau aqidah yang dianutnya. Ideologi atau aqidah kapitalisme akan
membentuk masyarakat berkepribadian kapitalisme-liberal. Ideologi
sosialisme pasti akan membentuk kepribadian sosialisme-komunis.
Sedangkan ideologi atau aqidah Islam seharusnya menjadikan kaum Muslimin yang
memeluk dan meyakininya, memiliki berkepribadian Islam.
Dalam bahasa yang lebih praktis, kepribadian (Syakhshiyah) terbentuk
dari pola sikap (Aqliyah) dan pola tingkah laku (Nafsiyyah), yang kedua
komponen tersebut terpancar dari ideologi (Aqidah) yang khas atau tertentu.
Dari sinilah maka ketika membahas tentang kepribadian Islam
(Syakhshiyyah Islamiyyah) berarti berbicara tentang sejauh mana
seseorang memiliki pola sikap yang Islami (Aqliyyah Islamiyyah) dan
sejauh mana ia memiliki pola tingkah laku yang Islami (Nafsiyyah
Islamiyyah).
Aqliyyah Islamiyyah hanya akan terbentuk dan menjadi kuat bila ia
memiliki keyakinan yang benar dan kokoh terhadap aqidah Islamiyah dan ia
memiliki ilmu-ilmu keIslaman yang cukup untuk bersikap terhadap
berbagai ide, pandangan, konsep dan pemikiran yang ada di masyarakat, dimana semua pandangan dan konsep tersebut distandarisasi dengan ilmu
dan nilai-nilai Islami.
Sedangkan Nafsiyyah Islamiyyah hanya akan terbentuk dan menjadi kuat
bila seseorang menjadikan aturan-aturan Islam dalam memenuhi kebutuhan
biologisnya (makan, minum, berpakaian, dsb.), maupun kebutuhan
naluriahnya (beribadah, bergaul, bermasyarakat, berketurunan, dsb.).
Jadi, seseorang dikatakan memiliki syakhshiyah Islamiyah, jika ia
memiliki aqliyah Islamiyah dan nafsiyah Islamiyah. Mereka adalah
orang-orang yang senantiasa bersikap atau berfikir atas dasar pola berfikir
Islami dan orang-orang yang senantiasa memenuhi kebutuhan jasmani dan
nalurinya sesuai dengan aturan Islam, tidak mengikuti hawa nafsunya
semata. Terlepas apakah ia memiliki syakhshiyah Islamiyah yang kuat atau
yang lemah, yang jelas ia telah memiliki syakhshiyah atau kepribadian
Islam. Hanya saja perlu dipahami disini, bahwa Islam tidak menganjurkan
agar umatnya memiliki syakhshiyah Islamiyah sebatas ala kadarnya. Yang
dibutuhkan Islam justeru orang-orang yang memiliki syakhshiyah
Islamniyah yang kokoh, kuat aqidahnya, tinggi tingkat pemikirannya,
tinggi pula tingkat ketaatannya terhadap ajaran Islam.
METODE MEMPERKUAT SYAKHSHIYAH ISLAMIYYAH
Upaya untuk memperkuat Syakhshiyah Islamiyah adalah dengan cara
meningkatakan aqliyah dan nafsiyah Islamiyah nya. Menigkatkan kualitas
aqliyah Islamiyah adalah dengan cara menambah khazanah ilmu-ilmu Islam
(tsaqofah Islamiyah), sebagimana dorongan Islam bagi umatnya untuk terus
menuntut ilmu kapanpun dan dimanapun. Dengan ilmu Islam yang cukup
seorang Muslim akan mampu menangkal berbagai bentuk pemikiran yang
merusak dan bertentangan dengan Islam. Ia pun akan mampu mengembangkan
ilmu-ilmu Islam bahkan dapat menjadi seorang Mujtahid atau Mujaddid.
Allah SWT mengajarkan do’a kepada kita :
فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ ۗ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْآنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُقْضَىٰ إِلَيْكَ وَحْيُهُ ۖ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
Maka Maha Tinggi Allah Raja Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-qur´an sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan". (QS. Thahaa : 114)
Adapun nafsiyah Islamiyah dapat ditingkatkan dengan selalu melatih
diri untuk berbuat taat, terikat dengan aturan Islam dalam segala hal
dan melaksanakan amalan-amalan ibadah, baik yang wajib maupun yang
sunah, serta membiasakan diri untuk meninggalkan yang makruh dan syubhat
apalagi yang haram. Islam pun menganjurkan agar kita senantiasa
berakhlaq mulia, bersikap wara’ dan qana’ah agar mampu menghilangkan
kecenderungan yang buruk dan bertentangan dengan Islam.
Dalam sebuah
hadits qudsi Allah SWT berfirman :
” … dan tidaklah bertaqarrub (beramal) seorang hambaku dengan
sesuatu yang lebih aku sukai seperti bila ia melakukan amalan fardhu
yang Aku perintahkan atasnya, kemudian hamba-Ku senantiasa bertaqarrub
kepada Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya…” (HR.
Bukari dari Abu Hurairah).
Allah SWT juga berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلَا الْهَدْيَ وَلَا الْقَلَائِدَ وَلَا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۚ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۚ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (QS: Al-Maidah Ayat: 2)
Rasulullah SAW bersabda :
“Bagi seorang Muslim telah diwajibkan baginya bershodaqoh. Abu Musa
bertanya : ‘Bagaimana jika ia tidak mendapatkan sesuatu untuk
bershodaqoh?’ Rasul menjawab : ‘Ia harus berbuat dengan kedua tangannya,
yang dapat mendatangkan manfaat bagi dirinya kemudian ia bershadaqoh’
Bagaimana jika ia tidak berbuat demikian?’ tanya Abu Musa. Rasul
menjawab: ‘Ia harus menolong orang yang membutuhkannya’ Bila ia tidak
mampu? Jawab Rasul : ‘Ia harus beramar ma’ruf dan mengajak kepada
kebajikan’. Bagaimana bila ia tidak kuasa melakukan itu? Rasul menjawab:
‘Menahan diri dari keburukan (berbuat buruk) adalah shadaqah” (HR.
Bukhari dari Abu Musa)
Dengan cara inilah syakhshiyah Islamiyah akan semakin meningkat
terus, pemikiran Islammya semakin cemerlang dan jiwa Islamnya semakin
mantap dan istiqomah, ia pun semakin dekat dengan Allah SWT.
Perlu diwaspadai adanya kekeliruan yang sering muncul di kalangan kaum
muslimin, yaitu terkadang menggambarkan sosok pribadi Muslim sebagai
‘sosok mulia tanpa cacat ibarat malaikat’. Pandangan seperti ini salah
dan bisa berbahaya karena seolah kepribadian Muslim adalah hanya milik
para Rasul dan tidak akan bisa diterapkan dalam realitas masyarakat.
Dengan demikian jelaslah bahwa pembentukan syakhshiyah Islamiyah
dimulai dengan penetapan aqidah Islam pada diri seseorang. Kemudian
aqidah tersebut difungsikan sebagai tolok ukur (miqyas) dalam setiap
aktivitas berfikir dan dalam setiap aktivitas pemenuhan kebutuhan hidup.
Dalam hal ini manusia tetap bisa berbuat salah dan maksiyat, baik dalam
masalah pemikiran maupun perbuatan. Artinya, suatu saat manusia dapat
saja berbuat dosa dan lalai terhadap pemikiran maupun perbuatan yang
Islami. Namun saat itu pula ia diingatkan untuk segera bertaubat dan
kembali berupaya berbuat baik, sebagimana firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.“ (QS.Ali Imron: 135)
Seorang yang memiliki syakhshiyah Islamiyah yang tangguh akan tampil
mulia di tengah masyarakat dengan sifat-sifat khas dan unik. Dimana ia
berada akan menjadi pusat perhatian karena ketinggian ilmu dan kekuatan
jiwanya. Allah SWT telah menggambarkan sosok-sosok pribadi muslim itu
dalam berbagai ayat Al-Quran, antara lain :
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku´ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al Fath : 29)
Begitu pula sebagaimana yang tercantum pada QS. At-Taubah : 100, Al Mukminun :1-11, Al-Furqon : 63-74, dsb.
Meski sifat khas kepribadian Islam itu tidak ada kaitannya dengan
penampilan fisik seseorang, namun Islam juga menganjurkan agar umatnya
selalu menjaga penampilan fisik, keindahan dan kebersihan, sebagaimana
contoh hadits berikut:
“Jika kalian mengunjungi saudaramu maka perbaikilah kendaraanmu dan
perindahlah pakaianmu, sehingga seolah kalian bagaikan tahi lalat (kesan
keindahan yang mudah dikenali) diantara manusia. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai hal-hal yang buruk” (HR. Abu Dawud)
Islam telah menjadikan diri Rasulullah SAW dan para shahabatnya
sebagai orang-orang yang berkepribadian Islam yang paripurna dan kokoh,
sebagai teladan tepat bagi seluruh kaum Muslimin. Tidak ada contoh
terbaik selain mereka dan orang-orang yang juga mencontoh mereka.
Karenanya seorang Muslim haram menjadikan kepribadian Barat sebagai
teladan bagi standarisasi kepribadian yang mulya dan kepribadian yang
buruk.
TELADAN KEPRIBADIAN PARA SHAHABAT DAN TABI’IN
Ciri khas syakhshiyah pada shahabat dan tabi’in berbeda-beda sesuai
dengan tingkatan ilmu, olah aqliyah, kemampuan hafalan Al-Quran dan
hadits Rasul. Abu Ubaidah bin Jarrah merupakan salah seorang
shahabat yang demikian teguh keimanannya. Beliau pantas menduduki
jabatan Khalifah, sehingga Abu Bakar sendiri pernah mencalonkannya
sebagai Khalifah dan menunjuknya ketika terjadi musyawarah di Tsaqifah
Bani Sa’idah. Hal ini mengingat keahlian dan keamanahannya. Abu
Ubaidah termasuk salah seorang shahabat yang menguasai dan hafal
seluruhnya Al-Quran. Beliau mempunyai sifat amanah sehingga Rasulullah
SAW memujinya.
“Sesungguhnya setiap ummat mempunyai orang yang terpercaya dan
orang yang terpercaya dalam ummatku adalah Abu Ubaidah” (HR. Bukhari).
Selain itu Beliau memiliki sifat terpuji, lapang dada dan tawadlu’.
Sangat tepatlah apabila Khalifah Abu Bakar mengangkatnya sebagai
pengelola Baitul Maal dan pada saat yang lain beliau dipercaya sebagai
komandan pasukan untuk membebaskan Syam.
Di kalangan shahabat terkenal pula seorang dermawan bernama Thalhah bin
Zubeir, yang oleh Rasulullah SAW pernah dijuliki Thalhah bin Khair
(Talhah yang baik) dalam Perang Uhud. Karena kedermawanannya ia juga
mendapat gelar-gelar lain yang serupa, semisal Thalhah Fayyadl (Talhah
yang pemurah) pada saat Perang Dzul ‘Asyiroh, dalam Perang Khaibar.
Beliau sering menyembelih unta untuk dibagikan kepada rakyat dan
selalu menyediakan air untuk kepentingan umum. Beliau tak pernah lupa
memenuhi kebutuhan setiap orang faqir yang ada di sekeliling kaumnya
(Bani Tim) dan selalu melunasi hutang-hutang mereka.
Rasulullah SAW
bersabda:
“Setiap nabi mempunyai hawariy (pendamping) dan hawariku adalah
Zubeir” (HR. Ahmad dengan isnad Hasan dalam “Al-Musnad” jilid I/89, dan
Al-Hakim “Al-Mustadrak”, jilid III/462).
Beliau tidak pernah absen dalam setiap peperangan sejak masa Nabi
SAW sehingga masa Khalifah Utsman bin Affan. Demikian tinggi semangat
jihadnya sehingga dengan lapang dada beliau menjual rumahnya untuk
kepentingan jihad fi sabilillah.
Begitu pula dengan Abdurrahman bin Auf. Beliau adalah seorang dermawan
yang memberikan sebagian besar hartanya untuk kepentingan jihad fi
sabilillah, Az-Zuhri telah meriwayatkan.
“Abdurrahman bin Auf menanggung seluruh ahli Madinah. 1/3 penduduknya
diberi pinjaman, 1/3 lainnya membayar pinjamannya, sedangkan 1/3 sisanya
diberikan sebagai pemberian” (Lihat “Siar A’lam An-Nubala”, karangan
Imam Adz-Dzahabi jilid I/88).
Di antara shahabat yang mempunyai keahlian di bidang pemerintahan dan
perencanaan tata kota dalah Utbah bin Hazwan. Beliau diangkat oleh
Umar bin Khaththab sebagai wali sekaligus menata Kota Basrah. Ada pula
shahabat yang terkenal ahli berpidato adalah Tsabit bin Qo’is, Abdullah
bin Rawabah, Hasan bin Tsabit dan Ka’ab bin Malik. Dan tidak
ketinggalan, shahabat Utsman bin Affan yang terkenal dengan sifat
pemalunya, sampai-sampai Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya malaikatpun merasa malu kepadanya”
Shahabat Khabab bin Mudzir, terkenal dengan kecermatan pendapatnya sehingga digelari Dzir Ro’yi (intelektual).
Masih ada empat orang shahabat yang terkenal kecerdikannya, yaitu
Mua’wiyah bin Abu Sufyan yang memiliki jiwa tenang dan lapang dada, Amr
bin Ash yang ahli memecahkan masalah pelik dan cepat berfikirnya,
Mughiroh bin Syu’bah yang mampu memecahkan masalah besar dan genting,
serta Ziyad yang ahli dalam menghadapi masalah kecil maupun
besar.
Selain itu di masa shahabat terdapat seorang shahabat yang mampu
berbicara dalam seratus bahasa. Ini merupakan kemampuan yang tak
tertandingi oleh bangsa atau umat manapun hingga kini. Beliau adalah
Abdullah bin Zubeir.
Adapun shahabat Zaid bin Tsabit mempunyai keahlian
dalam bidang qadha atau kehakiman dan fatwa. Shahabat yang ahli dalam masalah
pengkajian kitab Taurat adalah Abdullah bin Amr bin Ash dan Abil Jalad
Al-Jauli.
Di masa shahabat, ilmu astronomi telah dikenal. Shahabat masyhur di
bidang ini adalah Rabi’ bin Ziyad, sampai-sampai Ibnu Jahar dalam
bukunya Al-Ishobah mengatakan :
“Tidak ada seorangpun, baik itu Arab maupun bukan (‘ajam), yang ahli di bidang ini selain Rabi’ bin Ziyad.”
Pada masa tabi’in tersebutlah Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah yang ahli
dalam berbagai cabang ilmu di kalangan Quraisy. Lebih spesifik lagi,
keahlian beliau disebutkan dalam buku Walfiyat Al-A’yan karangan Ibnu
Malikan jilid I/168 :
“Beliau memiliki keahlian dalam bidang teori kimia
dan kedokteran”.
Beliaupun banyak menerjemahkan berbagai literatur mengenai astronomi,
kedokteran dan kimia (lihat Al-Jahis, At-Tibyan, jilidI/126).
Banyak lagi shahabat yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam
berbagai disiplin ilmu. Tentu saja apabila hendak kita sebutkan satu
persatu memerlukan pembahasan yang amat panjang.
Meski dalam bentuk umum atau global, karena belum membahas tentang upaya
memperkuat dan kondisi yang mampu melemahkan syakhshiyyah Islamiyyah
serta upaya-upaya masyarakat Barat untuk mempengaruhi masyarakat dunia
dengan kepribadian kapitalisme-liberalnya, inilah konsep kepribadian
yang sesungguhnya dan akan mampu menjadikan seseorang memiliki
kepribadian yang agung dan mulia, yakni kepribadian Islam.