Kita perlu beristighfar atas kekurangan kita masing-masing,
kelemahan diri kita dan kurangnya usaha dakwah kita hingga ummat Muhammad saw
pada masa ini menghadapi berbagai masalah dalam berbagai rupa.
Zaman ini ummat Muslim dihajar habis-habisan oleh pemikiran
kaum yang tidak suka dengan Islam, semisal terorisme, sekulerisme, pluralisme,
demokrasi dan liberalisme. Dijangkiti pula oleh penyakit dari segi Harta,
Tahta, Wanita. Ditambah pula dengan kaum remajanya yang dirusak oleh perang
pemikiran (ghazwul fikri) dalam bentuk 3F; Food, Fun dan Fashion.
Seolah tidak cukup dengan keberadaan serangan dari luar ini,
kaum Muslim menambah derita dan sengsara dengan melakukan permusuhan internal.
Saling mencela dan memfitnah sudah jadi kontes tanpa akhir. Melaknat dan
membuka aib laksanan rantai pembalasan dendam tanpa akhir, keduanya keras
kepala dengan pembenaran “kami begitu karena anda begitu, kami berhenti bila
anda berhenti” atau dengan slogan “pembalasan itu harus lebih kejam”.
Satu kelompok menjelek-jelekkan kelompok yang lainnya, dan
kelompok lainnya merasa dirinya sendirilah yang benar dan yang lain sesat. Satu
gerakan merasa dialah satu-satunya yang paling berjasa sementara gerakan yang
lain menafikkan kebaikan gerakan yang satu. Senang bila partai lain terjengkang
sementara satu partai lain bisa berdiri bahagia diatasnya seraya berkata
“Makanya!”
Sudahlah dimusuhi, kita memusuhi diri sendiri
Sudahlah jatuh, ditimpa tangga, ditabrak truk lagi
Apalagi pada saat ini, sosial media telah menjadikan semua
orang punya cara untuk mengumumkan diri. Bila dahulu kala metode komunikasi
adalah satu arah, kini komunikasi tanpa tahu arah. Bila dahulu kala hanya
pengemban dakwah yang sudah teruji yang bisa menyampaikan ide, sekarang
siapapun bisa menyampaikan walaupun dirinya sendiri tak memahami apa yang
dibicarakan.
Sebagian memang bagus hasilnya, namun sebagaian lagi tidak
Dunia maya memungkinkan arus pemikiran bertukar deras.
Siapapun bisa mempublikasikan pemikiran dan siapapun bisa membantah,
menyangkal, menghina, mencela, melaknat dan menjatuhkan. Ada orang yang merasa
hebat bila bisa membungkam oang lain dalam media sosial, ada orang yang merasa
paten bila bisa menyakiti saudaranya di media sosial.
Dan kata-kata kasar sudah menjadi keseharian dalam hidup
kita
Saya tidak perlu mengambil contoh, karena tidak santun dalam
tulisan ini. Juga anda sudah bisa mengaksesnya kapan saja dan dimana saja saat
ini. Walaupun penggemar kata-kata kasar ini jumlahnya tidak banyak, namun
mereka sialnya persisten (baca: keras kepala).
Sepertinya orang yang menderita kecanduan kata-kata kasar
ini mendapatkan semacam kepuasan adrenalin atau apalah saat mereka berhasil
menyakiti orang lain dengan kata-katanya. Mungkin semisal sadisme lisan, senang
bila orang terluka karena lidahnya (dalam kasus sosial media yaitu apa yang dia
tulis).
Setelah banyak mengamati perilaku-perilaku semisal ini,
hampir-hampir kami berkesimpulan bahwa kegemarn akan kata-kata kasar ini
bagaikan penyakit menular dan membuat kecanduan. Pelaku pasti akan ketagihan
untuk megucapkan kata-kata kasar, dan biasanya orang yang berkumpul
bersama-sama mereka juga mendadak senang berkata-kata kasar.
Padahal kata-kata kasar itu tidak mematikan kecuali bagi
empunya, karena telinga pemilik kata-kata kasarlah yang paling dekat dengan
tajam lidahnya. Memang betul, bila tajam lidahnya biasanya tumpul akalnya.
Bila lelaki yang berlisan kasar, maka itu akan merendahkan
martabatnya. Namun bila wanita yang berlisan kasar, tentu itu lebih mengerikan
lagi. Hilanglah segala keanggunannya, kemuliaan dan kehormatan dirinya, enggan
dan pantang bagi lelaki mendekati.
Mengapa? Karena lisan itu ukuran akal. Lisan kita adalah apa
yang senantiasa kita baca, kita dengar dan kita pikirkan. Apa yang masuk itu
jualah yang keluar. Maka orang-orang yang berlisan kasar penuh serapah pastilah
bukan Al-Qur’an yang dia daras.
Bila kita sering mencermati Al-Qur’an dan kisah-kisah
Rasulullah serta para sahabat. Kita akan terenyuh dibawa, melarut didalam arus
keindahan akhlak dan santun perilaku mereka. Generasi terbaik tanpa tanding
karena tangis merendah mereka kala malam, kesempurnaan hidup mereka tatkaka
siang, dan keimanan mereka sepanjang hidup
Kisah Rasulullah adalah pertunjukan paling memukau. Linang
airmata kita yang jadi saksi kesabaran Rasulullah Muhammad saw, manusia terbaik
yang pernah berjalan di muka bumi ini. Segala puji milik Allah yang menurnkan
manusia yang diberi puji-pujian oleh manusia karena sifatnya yang paling
terpuji.
Apalagi Al-Qur’an yang tiap hurufnya adalah kebaikan,
merangkai kata-kata penuh hikmah dan kalimat penuh keberkahan. Tiap ayat adalah
alunan yang lebih indah daripada sastra manapun, menjelma menjadi
paragraf-paragraf penuh arti. Ia adalah surat cinta mesra dari Allah Pencipta
Semesta Alam.
Duhai, bagaimana mungkin jiwa yang penuh dengan ilmu dan
iman bisa mengeluarkan kata-kata kasar? Tidak mungkin.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا
غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepada-Nya. (QS Ali Imraan [3]: 159)
Begitulah sifat Rasulullah yang dijelaskan Allah melalui
Al-Qur’an, dia lemah lembut, tidak keras dan berhati kasar, pemaaf dan
pengampun, serta senang meminta pendapat dalam satu urusan.
Kelembutan itu adalah rahmat daripada Allah yang diberikan
pada hamba pilihan-Nya
إنَّ فيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللهُ : الْحِلْمُ وَالأنَاةُ
“Sesungguhnya pada dirimu ada dua perangai yang dicintai
Allah yaitu ketenangan dan ketelitian” (HR. Muslim)
إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ ، وَيَعْطِي عَلَى الرِّفْقَ
مَا لاَ يَعْطِي عَلَى الْعُنْفِ ، وَمَا لاَ يَعْطِي عَلَى سِوَاهُ
“Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan mencintai kelembutan.
Dia memberikan pada kelembutan, apa-apa yang tidak diberikan pada sikap kasar,
dan tidak pula Dia memberikan pada yang selainnya”. (HR Muslim)
Rasulullah saw juga bersabda,
عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ ، وَإِيَّاكَ وَالْعُنْفِ ، وَالْفَحْشِ ، إِنَّ
الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِيْ شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ ، وَلاَ يَنْزِعُ مِنْ شَيْءٍ
إِلاَّ شَانَهُ
“Wajib bagimu untuk berbuat lemah lembut, berhati-hatilah
dari sikap kasar dan keji, sesungguhnya tidaklah sikap lemah lembut ada pada
suatu perkara kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah ia dicabut dari sesuatu,
melainkan akan memburukkan perkara tersebut”. (HR Muslim)
Dari Jarir bin Abdillah ra, Rasulullah saw bersabda,
مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقَ ، يُحْرَمُ الْخَيْرَ كُلَّهُ
“Barang siapa yang diharamkan baginya kelembuta, diharamkan
baginya kebaikan seluruhya” (HR Muslim)
Demikianlah kelembutan adalah kekuatan tersendiri. Bila ia
ada pada Muslimah maka itu adalah tempatnya, namun bila ia dimiliki lelaki maka
Rasulullah pastilah teladannya.
Bila niat kita untuk berdakwah lalu kita melegitmasi
kata-kata kasar, maka kita harus mengetahui bahwa Rasulullah tiada pernah
mencontohkannya. Rasulullah tiada pernah beramal dengannya. Banyak diantara
riwayat yang menunjukkan pada kita bahwa Rasulullah menegur kaum kafir dengan
lembut, pun menegur kaum Muslim dengan lebih lembut.
Karena yang benar akan dianggap salah bila disampaikan
secara kasar, maka jadilah lembut dalam menyampaikan yang benar.