Pemerintah memastikan tak akan menaikkan tarif dasar listrik
(TDL) pada April 2015. Meski begitu, mulai Mei 2015 dan seterusnya, TDL untuk 8
golongan bisa naik-turun layaknya harga bahan bakar minyak (BBM) karena tiga
faktor yang ditentukan Pemerintah (Lihat: Kompas.com, 15/3).
DPR sudah menyepakati kenaikan tarif listrik delapan
golongan pelanggan PLN hingga ke tingkat keekonomian, selanjutnya akan
diterapkan tarif penyesuaian. Penerapan penyesuaian tarif (adjustment
tariff) itu disahkan melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM no. 31 tahun 2014. Berdasarkan Permen ESDM itu, mulai 1 Januari 2015, Pemerintah menambah delapan
golongan lagi. Total menjadi 12 golongan yang dikenakan skema penyesuaian
tarif (Kompas.com, 9/1/2015).
Kedua belas golongan yang dikenai penyesuaian tarif tidak
mendapat subsidi listrik (4 golongan sejak Mei 2014 dan 8 golongan sejak 1
Januari 2015). Hanya saja, Pemerintah menunda kenaikan tarif bagi dua golongan
rumah tangga R1 daya 1.300 VA dan R1 daya 2.200 VA. (Kompas.com, 9/1/2015).
Anggaran subsidi listrik untuk tahun 2015 sendiri sudah
disepakati Pemerintah dan DPR dalam pembahasan RAPBN-P 2015. Subsidi berjalan
disepakati sebesar Rp 64,85 triliun. Karena adanya penundaan penyesuaian tarif
untuk pelanggan rumah tangga daya 1.300 VA dan 2.200 VA, maka ada tambahan
subsidi sebesar Rp 1,3 triliun (Kompas.com, 4/2/2015).
Sesuai dengan pernyataan Dirjen Ketenagalistrikan
Kementerian ESDM, Djarman, jatah subsidi 1,3 triliun untuk penundaan
penyesuaian tarif pelanggan rumah tangga 1300 VA dan 2.200 VA itu sudah habis
pada April 2015. Dengan begitu, bisa dipastikan Mei 2015 untuk pelanggan rumah
tangga 1.300 VA dan 2.200 VA dikenai penyesuaian tarif sebagaimana 11 golongan
lainnya.
Semua itu berarti, Pemerintah melakukan liberalisasi tarif
listrik. Liberalisasi tarif listrik itu berbarengan dengan liberalisasi harga
BBM. Konsekuensinya, tarif listrik seperti halnya harga BBM bisa naik-turun
mengikuti perkembangan pasar. Jika harga minyak melonjak, saat bersamaan kurs
dolar tinggi dan inflasi naik, maka harga BBM dan tarif listrik bisa akan
sangat mahal. Semua golongan pelanggan akan merasakan dampak yang besar.
Pelanggan rumah tangga yang jumlahnya sangat banyak akan merasakan dampak yang
relatif lebih besar dari golongan bisnis. Pasalnya, tarif golongan rumah tangga
lebih besar dari tarif bisnis dan industri. Sebagai gambaran, dalam penyesuaian
tarif PLN Maret 2015, tarif golongan rumah tangga, pemerintah dan bisnis B-2
sebesar Rp 1.426,58 perkWh; tarif bisnis B-3, industri I-3 dan pemerintah P-2
di atas 200 kVA sebesar Rp 1.027,16 perkWh; dan tarif industri I-4 Rp 965
perkWh.
Semua itu makin menyempurnakan liberalisasi listrik baik di
sektor hulu maupun hilir. Semua itu sesuai dengan amanat UU Kelistrikan No.
30/2009.
Di sektor hulu, yakni sektor pembangkitan, telah dibuka
untuk swasta. Swasta bisa membangun pembangkit dan listrik yang dihasilkan akan
dibeli oleh PLN. Pemerintah beralasan tidak punya cukup modal dari APBN untuk
membangun pembangkit yang mencukupi kebutuhan listrik nasional. Apalagi rezim
Jokowi-JK punya ambisi membangun pembangkit yang totalnya sebesar 35 gigawatt
(GW) dalam lima tahun ke depan.
Wapres Jusuf Kalla mengatakan, untuk proyek 35GW hingga
2019, PT PLN (Persero) butuh dana sekitar Rp 400 triliun hingga Rp 500 triliun
untuk kapasitas 10GW dari 35GW. Katanya, APBN tentu tidak kuat menanggung
dana sebesar itu sehingga swasta harus ikut serta. Oleh karena itu, dari proyek
35GW, PT PLN (Persero) hanya dibebani tugas sebesar 10GW, dan sebanyak 25GW
ditawarkan kepada investor swasta.
Namun, ada kendala-kendala pembangunan proyek kelistrikan
yang dilakukan oleh pihak swasta. Untuk memudahkan itu, Menteri ESDM
mengeluarkan Permen ESDM No. 3 tahun 2015, yakni bahwa pembelian listrik oleh
PLN dari pihak swasta bisa melalui pemilihan langsung dan penunjukan
langsung. Sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Permen ESDM itu, untuk
memudahkan pelaksanaan perundingan antara PT PLN (Persero) dan pengembang,
Menteri menetapkan harga patokan tertinggi (Kompas.com, 12/3)
Adapun terkait liberalisasi sektor hilir, swasta memang
masih belum dibolehkan menjual listrik kepada masyarakat. Namun, liberalisasi
itu dilakukan dengan mencabut subsidi dari sebagian besar golongan pelanggan.
Ini adalah salah satu inti dari liberalisasi sektor hilir. Bagi Pemerintah, ini
yang utama: mencabut subsidi.
Liberalisasi listrik itu melengkapi liberalisasi di sektor
migas, pengelolaan SDA dan sektor ekonomi lainnya secara umum. Liberalisasi
adalah konsekuensi logis dari penerapan sistem kapitalisme neoliberal. Selama
kapitalisme neoliberal terus diterapkan di negeri ini, maka liberalisasi itu
akan jalan terus dan makin brutal.
Jika saat ini solar masih disubsidi, maka ke depan subsidi
itu akan dicabut dan harga solar akan mengikuti harga pasar, sama seperti
premium yang sudah diliberalisasi total pada awal tahun ini. Begitu juga harga
gas 3 kg, tinggal tunggu waktu saja untuk diliberalisasi. Apalagi sudah ada
ungkapan: agar gas 3 kg tidak langka karena pengguna gas 12 kg beralih ke gas 3
kg saat harga gas 12 kg naik, harga gas 3 kg dinaikkan saja. Hal itu dengan
mengurangi atau bahkan mencabut subsidi gas 3 kg. Jika saat ini, pelanggan
rumah tangga 450 VA dan 900 VA masih mendapat subsidi, maka pencabutan subsidi
itu tinggal masalah waktu saja.
Sementara itu, ketidakmampuan Pemerintah membangun proyek
kelistrikan terutama karena tidak punya modal sehingga diserahkan kepada
swasta, hal itu juga akibat dari penerapan sistem kapitalisme neoliberal.
Doktrin kapitalisme neoliberal mengharuskan pengelolaan migas dan kekayaan alam
diserahkan kepada swasta. Pemerintah cukup menjadi regulator dan pemilik
sebagian saham. Dengan begitu Pemerintah akan kehilangan sebagian besar hasil
dari pengelolaan migas dan kekayaan alam lainnya. Padahal semua itu adalah
sumber pemasukan yang sangat besar.
Hal itu jelas menyalahi syariah Islam. Islam menetapkan
bahwa kekayaan tambang yang depositnya besar adalah milik umum, milik seluruh
rakyat. Tambang demikian tidak boleh dikuasai oleh swasta.
Diriwayatkan dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia pernah meminta
kepada Rasul saw. agar diberi sebuah tambang garam di daerah Ma’rib. Rasul saw.
pun memberikan tambang itu kepada dia. Namun, seorang sahabat segera
mengingatkan beliau, “Ya Rasulullah, tahukah engkau, apa yang telah engkau
berikan kepada dia? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu (bagaikan) air
yang terus mengalir (al-mâ’u al-‘iddu).” Ia (perawi) berkata, “Beliau pun
menarik kembali tambang itu dari dia.”(HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud).
Rasul saw. juga bersabda:
«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْكَلاَءِ وَالْمَاءِ
وَالنَّارِ»
Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air
dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hadis ini juga menetapkan bahwa sumber energi baik berupa
minyak, gas, listrik dan lainnya adalah milik umum, milik seluruh rakyat.
Pengelolaan semua kekayaan milik rakyat harus dilakukan oleh
negara mewakili rakyat. Seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat demi
kemaslahatan mereka.
Dengan dikelola langsung oleh negara, maka negara akan
memiliki sumber pemasukan yang sangat besar. Negara pun tidak akan kesulitan
mewujudkan berbagai proyek untuk kemaslahatan rakyat, seperti proyek
kelistrikan, infrastruktur dan lainnya. Itu berbeda dengan negara yang
mengadopsi sistem kapitalisme neoliberal yang mengandalkan pemasukan dari pajak
dan utang. Untuk memperbesar pemasukan berarti harus memperbesar pajak dan
utang, dan itu artinya memperbesar beban yang harus ditanggung rakyat.
Ironisnya, kekayaan alam yang berlimpah justru diserahkan kepada swasta dan
pihak asing yang tentu saja hasilnya banyak mengalir untuk kemakmuran swasta
dan asing itu.
Dengan dikelola oleh negara, negara juga akan mudah
mengembangkan proyek yang banyak dipengaruhi oleh hasil kekayaan alam itu,
misalnya, pembangkit listrik. Saat ini PLN kesulitan mendapatkan pasokan gas
dan batubara karena PLN harus membeli dari perusahaan pemegang kuasa tambang.
Negara tidak bisa memaksa perusahaan itu untuk memasok gas dan batubara itu ke
PLN. Saat migas, batubara dan sumber-sumber listrik dikelola langsung oleh
negara, maka negara bisa dengan mudah mengalokasikan semua itu untuk pembangkit
listrik.
Dengan demikian, sebab mendasar dalam masalah listrik,
migas, pertambangan dan lainnya adalah penerapan sistem kapitalisme neoliberal.
Selama sistem itu terus diadopsi dan diterapkan maka masalah akan terus terjadi
silih berganti.
Wahai Kaum Muslim:
Solusi atas semua persoalan di atas adalah dengan kembali
pada sistem Islam. Caranya adalah dengan menerapkan syariah Islam secara total
termasuk dalam hal listrik, energi, kekayaan alam dan sebagainya. Pada saat
itu, barulah kebaikan dan keberkahan akan bisa meliputi negeri. Allah SWT telah
menjanjikan hal itu dalam firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنا
عَلَيْهِمْ بَرَكاتٍ مِنَ السَّماءِ وَالْأَرْضِ
Andai penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (TQS
al-A’raf [7]: 96).
Sumber: Al-Islam edisi 748, 29 jumadil ula 1436 H/20 maret 2015 M