Hadits Shahih
Definisi Hadits Shahih
kata Shahih ((الصحيخ dalam bahasa diartikan orang sehat antonim dari kata
as-saqim ( (السقيم= orang
yang sakit jadi yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat dan
benar tidak terdapat penyakit dan cacat.
هو ما اتصل سنده بنكل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وخلا ممن
الشذوذ و العلة
hadis yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh
orang adil dan dhobith(kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari
kejanggalan (syadz), dan cacat (‘ilat).
Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadis shahih dengan “hadis
yang bersambung sanadnya, dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak
syadz dan tidak ber’ilat”.
Defisi hadis shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam
Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah,
yaitu:
pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat
dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadis
yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadis bila terjadi
perubahan lafadnya; mampu meriwayatkan hadis secara lafad, terpelihara
hafalannya bila meriwayatkan hadis secara lafad, bunyi hadis yang Dia riwayatkan
sama dengan hadis yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian
cacat),
kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi
SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.
Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadis shahih
sebagai berikut:
1) Rangkaian perawi dalam
sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama sampai perowi terakhir.
2) Para perowinya harus
terdiri dari orang-orang yang dikenal siqat, dalam arti adil dan dhobith,
3) Hadisnya terhindar dari ‘ilat (cacat)
dan syadz (janggal), dan
4) Para perowi yang terdekat
dalam sanad harus sejaman.
Syarat-Syarat Hadis Shahih
Berdasarkan definisi hadis shahih diatas, dapat dipahami
bahwa syarat-syarat hadis shahih dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Sanadnya Bersambung
Maksudnya adalah tiap-tiap perowi dari perowi lainnya
benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak
awal hingga akhir sanadnya.
Untuk mengetahui dan bersambungnya dan tidaknya suatu sanad,
biasanya ulama’ hadis menempuh tata kerja sebagai berikut;
Mencatat semua periwayat yang diteliti,
Mempelajari hidup masing-masing periwayat,
Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat
dengan periwayat yang terdekat dalam sanad, yakni
apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasani, haddasani, akhbarana,
akhbarani, ‘an,anna, atau kasta-kata lainnya.
b. Perawinya Bersifat Adil
Maksudnya adalah tiap-tiap perowi itu seorang Muslim,
bersetatus Mukallaf (baligh), bukan fasiq dan tidak pula jelek
prilakunya.
Dalam menilai keadilan seorang periwayat cukup dilakuakan
dengan salah satu teknik berikut:
keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa
seorang itu bersifat adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab
jarh wa at-ta’dil.
ketenaran seseorang bahwa ia bersifast adil, sdeperti imam
empat Hanafi,Maliki, Asy-Syafi’i, dan Hambali.
khusus mengenai perawi hadis pada tingkat sahabat, jumhur
ulama sepakat bahwa seluruh sahabat adalah adil. Pandangan berbeda datang dari
golongan muktazilah yang menilai bahwa sahabat yang terlibat dalam pembunuhan
‘Ali dianggap fasiq, dan periwayatannya pun ditolak.
c. Perowinya Bersifat Dhobith
Maksudnya masing-masing perowinya sempurna daya ingatannya,
baik berupa kuat ingatan dalam dada maupun dalam kitab (tulisan).
Dhobith dalam dada ialah terpelihara periwayatan dalam
ingatan, sejak ia maneriama hadis sampai meriwayatkannya kepada orang lain,
sedang, dhobith dalam kitab ialah terpeliharanya kebenaran suatu
periwayatan melalui tulisan.
Adapun sifat-sifat kedhobitan perowi, nmenurut para ulama,
dapat diketahui melalui:
kesaksian para ulama
berdasarkan kesesuaian riwayatannya dengan riwayat dari
orang lain yang telah dikenal kedhobithannya.
d. Tidak Syadz
Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak syadz,
dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya.
Menurut al-Syafi’i, suatu hadis tidak dinyastakan sebagai
mengandung syudzudz, bila hadis itu hanya diriwayatkan oleh seorang
periwayat yang tsiqah, sedang periwayat yang tsiqah lainnya tidak
meriwayatkan hadis itu. Artinya, suatu hadis dinyatakan syudzudz, bila
hadisd yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah tersebut
bertentengan dengan hadis yang dirirwayatkan oleh banyak periwayat yang juga
bersifat tsiqah.
e. Tidak Ber’ilat
Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti
adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-an
hadis, sementara dhahirnya selamat dari cacat.
‘Illat hadis dapat terjadi pada sanad mapun pada matan
atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling
banyak terjadi adalah pada sanad, seperti menyebutkan muttasil terhadap
hadis yang munqati’ ataumursal.
Pembagian Hadis Shahih
Para ahli hadis membagi hadis shahih kepada dua bagian,
yaitu shahih li-dzati dan shahih li-ghoirih. perbedaan antara
keduanya terletak pada segi hafalan atau ingatan perowinya. pada shahih li-dzatih,
ingatan perowinya sempurna, sedang pada hadis shahih li-ghoirih, ingatan
perowinya kurang sempurna.
a.Hadis Shahih li dzati
Maksudnya ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar
telah terbukti adanya,bukan dia itu terputus tetapi shahih dalam hakikat
masalahnya, karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang kepercayaan.
b. Hadis Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat
hadis shahih tersebut baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali
dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah.
Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis hasan
li-dzatihi apabila diriwayatkan melamui jalan yang lain oleh perowi yang
sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.
Kehujahan Hadis Shahih
Hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib
diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para
uluma hadis dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam
soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak
dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah.
Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i,
yaitu al-Quran dan hadis mutawatir. oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat
dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan
aqidah.
Tingkatan Hadis Shahih
Perlu diketahui bahwa martabat hadis shahih itu tergantung tinggi
dan rendahnya kepada ke-dhabit-an dan keadilan para perowinya. Berdasarkan
martabat seperti ini, para muhadisin membagi tingkatan sanad menjadi tiga
yaitu:
Pertama, ashah al-asanid yaitu rangkaian sanad
yang paling tinggi derajatnya. seperti periwayatan sanad dari Imam Malik bin
Anas dari Nafi’ mawla (mawla = budak yang telah dimerdekakan) dari Ibnu Umar.
Kedua, ahsan al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis
yang yang tingkatannya dibawash tingkat pertama diatas. Seperti periwayatan
sanad dari Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas.
Ketiga. ad’af al-asanid, yaitu rangkaian sanad hadis
yang tingkatannya lebih rendah dari tingkatan kedua. seperti periwayatan Suhail
bin Abu Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dari segi persyaratan shahih yang terpenuhi dapat dibagi
menjadi tujuh tingkatan, yang secara berurutan sebagai berikut:
a) Hadis yang disepakati oleh
bukhari dan muslim (muttafaq ‘alaih),
b) Hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhori saja,
c) Hadis yang diriwayatkan
oleh Imam Muslim saja,
d) Hadis yang diriwayatkan orang
lain memenuhi persyaratan AL-Bukhari dan Muslim,
e) Hadis yang diriwayatkan
orang lain memenuhi persyaratan Al-Bukhari saja,
f) Hadis yang
diriwayatkan orang lain memenuhi persyaratan Muslim saja,
g) Hadis yang dinilai shahih
menurut ilama hadis selain Al-Bukhari dan Muslim dan tidak mengikuti persyratan
keduanya, seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain.
Kitab-kitab hadis yang menghimpun hadis shahih secara
berurutan sebagai berikut:
1. Shahih Al-Bukhari (w.250
H).
2. Shahih Muslim (w. 261 H).
3. Shahih Ibnu Khuzaimah (w.
311 H).
4. Shahih Ibnu Hiban (w. 354
H).
5. Mustadrok Al-hakim (w.
405).
6. Shahih Ibn As-Sakan.
7. Shahih Al-Abani.
Pengertian Hadis Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah.
Hasan juga dapat juga berarti sesuatu sesuatu yang disenangi dan dicondongi
oleh nafsu. Sedangkan para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hadis
hasan karena melihat bahwa ia meupakan pertengahan antara hadis shahih dan
hadis dha’if, dan juga karena sebagian ulama mendefinisikan sebagai
salah satu bagiannya. Sebagian dari definisinya yaitu:
definisi al- Chatabi: adalah hadis yang diketahui tempat
keluarnya, dan telah mashur rawi-rawi sanadnya, dan kepadanya tempat berputar
kebanyakan hadis, dan yang diterima kebanyakan ulama, dan yang dipakai oleh
umumnya fukoha’
definisi Tirmidzi: yaitu semua hadis yang diriwayatkan,
dimana dalam sanadnya tidak ada yang dituduh berdusta, serta tidak ada syadz (kejangalan),
dan diriwatkan dari selain jalan sepereti demikian, maka dia menurut kami
adalah hadis hasan.
definisi Ibnu Hajar: beliau berkata, adalah hadis ahad yang
diriwayatkan oleh yang adil, sempurna ke-dhabit-annya, bersanbung sanadnya,
tidak cacat, dan tidak syadz (janggal) maka dia adalah hadis shahih li-dzatihi,
lalu jika ringan ke-dhabit-annya maka dia adalah hadis hasan li dszatihi.
Kriteria hadis hasan sama dengan kriteria hadis shahih.
Perbedaannya hanya terletak pada sisi ke-dhabit-annya. yaitu hadis shahih lebih
sempurna ke-dhabit-annya dibandingkan dengan hadis hasan. Tetapi jika
dibandingkan dengan ke-dhabit-an perawi hadis dha’if tentu belum
seimbang, ke-dhabit-an perawi hadis hasan lebih unggul.
Macam-Macam Hadis Hasan
Sebagaimana hadis shahih yang terbagi menjadi dua macam,
hadis hasasn pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan li-dzatih dan hasan li-ghairih;
a. Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis yang telah
memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan. pengertian hadis hasan li-dzatih sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna.
dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya adalah hadis dha’if, akan
tetapi karena adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’),
maka kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis
hasan li-ghairih.
Kehujahan Hadis Hasan
Hadis hasan sebagai mana halnya hadis shahih, meskipun
derajatnya dibawah hadis shahih, adalah hadis yang dapat diterima dan
dipergunakan sebagai dalil atau hujjah dalam menetapkan suatu hukum atau dalam
beramal. Paraulama hadis, ulama ushul fiqih, dan fuqaha sepakat tentang
kehujjahan hadis hasan.
Definisi Hadist Dhaif
Pengertian hadits dhaif Secara bahasa, hadits dhaif berarti
hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut
berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal
dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif
sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun
sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.
Macam-macam hadits dhaif
Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu
: hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena
adanya cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu
atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan
sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits
dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :
1) Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas.
Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur
rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi
pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits
dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari
rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai
kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits
yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang
seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal :
Artinya :
Rasulullah bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik
(ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup
menghadirinya”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Malik, dari
Abdurrahman, dari Harmalah, dan selanjutnya dari Sa’id bin Mustayyab. Siapa
sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits itu kepada Sa’id bin Mustayyab, tidaklah
disebutkan dalam sanad hadits di atas.
Kebanyakan Ulama memandang hadits mursal ini sebagai hadits
dhaif, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah atau landasan dalam
beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan
Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah asalkan para rawi
bersifat adil.
2) Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang
terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang
gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila
rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah
tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang
gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka
kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur
itu adalah tabi’in.
contoh hadits munqathi’ :
Artinya :
Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan
nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan
bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar
bin Ali Syaibah, dari Ismail bin Ibrahim, dari Laits, dari Abdullah bin Hasan,
dari Fatimah binti Al-Husain, dan selanjutnya dari Fathimah Az-Zahra. Menurut
Ibnu Majah, hadits di atas adalah hadits munqathi’, karena Fathimah Az-Zahra
(putri Rasul) tidak berjumpa dengan Fathimah binti Al-Husain. Jadi ada rawi
yang gugur (tidak disebutkan) pada tingkatan tabi’in.
3) Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit
dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits
yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam
kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi : Imam Malik berkata : Telah sampai
kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.
Di dalam kitab Imam Malik tersebut, tidak memaparkan dua
orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Kedua rawi yang
gugur itu dapat diketahui melalui riwayat Imam Malik di luar kitab Al-Muwatha.
Imam Malik meriwayatkan hadits yang sama : Dari Muhammad bin Ajlan , dari
ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah. Dua rawi yang gugur adalah
Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.
4) Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang
tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu
rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan (
tidak disebutkan ).
Contoh :
Bukhari berkata : Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah
dari Abu Huraira, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :
Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang
lain.
Berdasarkan riwayat Bukhari, ia sebenarnya tidak pernah
bertemu dengan Malik. Dengan demikian, Bukhari telah menggugurkan satu rawi di
awal sanad tersebut. Pada umumnya, yang termasuk dalam kategori hadits mu’allaq
tingkatannya adalah dhaif, kecuali 1341 buah hadits muallaq yang terdapat dalam
kitab Shahih Bukhari. 1341 hadits tersebut tetap dipandang shahih, karena
Bukhari bukanlah seorang mudallis ( yang menyembunyikan cacat hadits ). Dan sebagian
besar dari hadits mu’allaqnya itu disebutkan seluruh rawinya secara lengkap
pada tempat lain dalam kiab itu juga.
b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan.
Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing
dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan
yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi
yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat
pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau
diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz
yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
:
1) Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu
atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah
hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada
dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan
tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan
nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan
politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya .
Hadits maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif.
Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif
serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka
hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.
Berikut dipaparkan beberapa contoh hadits maudhu’:
a) Hadits yang dikarang oleh
Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam; ia katakana bahwa hadits itu diterima dari
ayahnya, dari kakeknya, dan selanjutnya dari Rasulullah SAW. berbunyi :
“Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf mengelilingi ka’bah, tujuh kali dan shalat
di maqam Ibrahim dua rakaat” Makna hadits tersebut tidak masuk akal.
b) adapun hadits lainnya
: “anak zina itu tidak masuk surga tujuh turunan”. Hadits tersebut bertentangan
dengan Al-Qur’an. ” Pemikul dosa itu tidaklah memikul dosa yang lain”. (
Al-An’am : 164 )
c) “Siapa yang
memperoleh anak dan dinamakannya Muhammad, maka ia dan anaknya itu masuk
surga”. “orang yang dapat dipercaya itu hanya tiga, yaitu: aku ( Muhammad ),
Jibril, dan Muawiyah”.
Demikianlah sedikit uraian mengenai hadits maudhu’. Masih
banyak hadits-hadits lainnya yang sengaja dibuat oleh pihak kufar. Sedikit
sejarah, berdasarkan pengakuan dari mereka yang memalsukan, seperti Maisarah
bin Abdi Rabbin Al-Farisi, misalnya, ia mengaku telah membuat beberapa hadits
tentang keutamaan Al-Qur’an dan 70 buah hadits tentang keutamaan Ali bin Abi
Thalib. Abdul Karim, seorang zindiq, sebelum dihukum pancung ia telah
memalsukan hadits dan mengatakan : “aku telah membuat 3000 hadits; aku halalkan
barang yang haram dan aku haramkan barang yang halal”.
2) Hadits matruk atau hadits
mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan
/ dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan
dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai,
atau banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita,
tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin
‘Ashim dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad
bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin
mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad tersebut,
ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits
tersebut ditinggalkan / dibuang.
3) Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari
atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar
ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang
kuat, contoh :
Artinya: “Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan
zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R
Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya
pun berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih kuat.
4) Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena
illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang
mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa
terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya. Contoh :
Rasulullah bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar,
selama mereka belum berpisah”.
Hadits di atas diriwayatkan oleh Ya’la bin Ubaid dengan
bersanad pada Sufyan Ats-Tsauri, dari ‘Amru bin Dinar, dan selanjutnya dari
Ibnu umar. Matan hadits ini sebenarnya shahih, namun setelah diteliti dengan
seksama, sanadnya memiliki illat. Yang seharusnya dari Abdullah bin Dinar
menjadi ‘Amru bin Dinar.
5) Hadits mudraj
Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan,
yang sebenarnya bukan bagian dari hadits itu. Contoh :
Rasulullah bersabda : “Saya adalah za’im ( dan za’im itu
adah penanggung jawab ) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan
tempat tinggal di taman surga”.
Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan ( dengan tempat
tinggal di taman surga ), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.
6) Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para
ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama
rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh :
Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu
mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari
sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim, semestinya hadits tersebut berbunyi : Rasulullah SAW bersabda : “Apa
yang aku larag kamu darinya, maka jauhilah ia, dan apa yang aku suruh kamu
mengerjakannya, maka kerjakanlah ia sesuai dengan kesanggupan kamu”.
7) Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti hadits ayng ganjil.
Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung
keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu
bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh :
“Rasulullah bersabda : “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah
hari-hari makan dan minum.”
Hadits di atas diriwayatkan oleh Musa bin Ali bin Rabah
dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi yang dipercaya, namun matan
hadits tersebut ternyata ganjil, jika dibandingkan dengan hadits-hadits lain
yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang juga dipercaya. Pada hadits-hadits lain
tidak dijumpai ungkapan . Keganjilan hadits di atas terletak pada adanya
ungkapan tersebut, dan merupakan salah satu contoh hadits syadz pada matannya.
Lawan dari hadits ini adalah hadits mahfuzh.
Kehujahan Hadits dhaif
Khusus hadits dhaif, maka para ulama hadits kelas berat
semacam Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits dhaif boleh
digunakan, dengan beberapa syarat:
Level Kedhaifannya Tidak Parah
Ternyata yang namanya hadits dhaif itu sangat banyak
jenisnya dan banyak jenjangnya. Dari yang paling parah sampai yang mendekati
shahih atau hasan.
Maka menurut para ulama, masih ada di antara hadits dhaif
yang bisa dijadikan hujjah, asalkan bukan dalam perkara aqidah dan syariah
(hukum halal haram). Hadits yang level kedhaifannya tidak terlalu parah, boleh
digunakan untuk perkara fadahilul a’mal (keutamaan amal).
Berada di bawah Nash Lain yang Shahih
Maksudnya hadits yang dhaif itu kalau mau dijadikan sebagai
dasar dalam fadhailul a’mal, harus didampingi dengan hadits lainnya. Bahkan
hadits lainnya itu harus shahih. Maka tidak boleh hadits dha’if jadi pokok,
tetapi dia harus berada di bawah nash yang sudah shahih.
Ketika Mengamalkannya, Tidak Boleh Meyakini Ke-Tsabit-annya
Maksudnya, ketika kita mengamalkan hadits dhaif itu, kita
tidak boleh meyakini 100% bahwa ini merupakan sabda Rasululah SAW atau
perbuatan beliau. Tetapi yang kita lakukan adalah bahwa kita masih menduga atas
kepastian datangnya informasi ini dari Rasulullah SAW.
Sikap Ulama Terhadap Hadits Dhaif :
Sebenarnya kalau kita mau jujur dan objektif, sikap ulama
terhadap hadits dhaif itu sangat beragam. Setidaknya kami mencatat ada tiga
kelompok besar dengan pandangan dan hujjah mereka masing-masing. Dan
menariknya, mereka itu bukan orang sembarangan. Semuanya adalah orang-orang
besar dalam bidang ilmu hadits serta para spesialis.
Maka posisi kita bukan untuk menyalahkan atau menghina salah
satu kelompok itu. Sebab dibandingkan dengan mereka, kita ini bukan apa-apanya
dalam konstalasi para ulama hadits.
1) Kalangan Yang Menolak
Mentah-mentah Hadits Dhaif
Namun harus kita akui bahwa di sebagian kalangan, ada juga
pihak-pihak yang ngotot tetap tidak mau terima kalau hadits dhaif itu masih
bisa ditolelir.
Bagi mereka hadits dhaif itu sama sekali tidak akan dipakai untuk apa pun juga.
Baik masalah keutamaan (fadhilah), kisah-kisah, nasehat atau peringatan.
Apalagi kalau sampai masalah hukum dan aqidah. Pendeknya, tidak ada tempat buat
hadits dhaif di hati mereka.
Di antara mereka terdapat nama Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam
Muslim, Abu Bakar Al-Arabi, Yahya bin Mu’in, Ibnu Hazm dan lainnya. Di zaman
sekarang ini, ada tokoh seperti Al-Albani dan para pengikutnya.
2) Kalangan Yang Menerima
Semua Hadits Dhaif
Jangan salah, ternyata ada juga kalangan ulama yang tetap
menerima semua hadits dhaif. Mereka adalah kalangan yang boleh dibilang mau
menerima secara bulat setiap hadits dhaif, asal bukan hadits palsu (maudhu’).
Bagi mereka, sedhai’f-dha’if-nya suatu hadits, tetap saja lebih tinggi
derajatnya dari akal manusia dan logika.
Di antara para ulama yang sering disebut-sebut termasuk
dalam kelompok ini antara lain Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab
Hanbali. Mazhab ini banyak dianut saat ini antara lain di Saudi Arabia. Selain
itu juga ada nama Al-Imam Abu Daud, Ibnul Mahdi, Ibnul Mubarok dan yang
lainnya.
Al-Imam As-Suyuthi mengatakan bawa mereka berkata, ‘Bila
kami meriwayatkan hadits masalah halal dan haram, kami ketatkan. Tapi bila
meriwayatkan masalah fadhilah dan sejenisnya, kami longgarkan.”
3) Kalangan Menengah
Mereka adalah kalangan yang masih mau menerima sebagian dari
hadits yang terbilang dhaif dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah
kebanyakan ulama, para imam mazhab yang empat serta para ulama salaf dan
khalaf.
Syarat-syarat yang mereka ajukan untuk menerima hadits dhaif
antara lain, sebagaimana diwakili oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan juga Al-Imam
An-Nawawi rahimahumalah, adalah:
• Hadits dhaif itu tidak terlalu parah kedhaifanya.
Sedangkan hadits dha’if yang perawinya sampai ke tingkat pendusta, atau
tertuduh sebagai pendusta, atau parah kerancuan hafalannya tetap tidak bisa
diterima.
• Hadits itu punya asal yang menaungi di bawahnya
• Hadits itu hanya seputar masalah nasehat, kisah-kisah,
atau anjuran amal tambahan. Bukan dalam masalah aqidah dan sifat Allah, juga
bukan masalah hukum.
• Ketika mengamalkannya jangan disertai keyakinan atas
tsubut-nya hadits itu, melainkan hanya sekedar berhati-hati.
Semua keterangan di atas, jelas bukan pendapat kami. Semua
itu adalah pendapat para ulama pakar ilmu hadits. Kami ini bukan berada dalam
posisi untuk mengkritisi salah satunya. Sebab beda maqam dan beda posisi.
KESIMPULAN
Pada materi hadits dhaif ini, dapat kita petik kesimpulan
bahwa kajian ke-islaman itu sangatlah luas. Menunjukkan betapa maha kuasanya
Allah dalam memberikan kepahaman terhadap hamba-hambanya.
وَاللّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ
يَعْلَمُونَ
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan
manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yûsuf [12]: 21)
Meskipun ada sebagian kaum muslimin mengingkari Qur’an dan
Hadits ( terlebih hadits dhaif ), maka itulah yang perlu kita luruskan bersama.
Karena sesungguhnya Allah SWT. berfirman :
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغْنِى مِنَ ٱلْحَقِّ شَيْـًٔا ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌۢ بِمَا يَفْعَلُونَ
“(Dan) kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Sesung-
guhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.”(QS
Yunus 36).
وَٱلْعَصْرِ
إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ
إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat-menasehati supaya mentaati kebenaran dan nesehat-menasehati supaya menetapi kebenaran”.(TQS Al-‘Ashr [103] : 1-3)
Terbaginya hadits dhaif dalam dua bagian; karena gugurnya rawi dan atau karena cacat pada rawi atau matan semakin memudahkan kita untuk mengetahui sebab-sebab mengapa hadits-hadits menjadi dhaif, baik dari segi rawinya ( orang yang meriwayatkan ), sanad, maupun matannya.
Terbaginya hadits dhaif dalam dua bagian; karena gugurnya rawi dan atau karena cacat pada rawi atau matan semakin memudahkan kita untuk mengetahui sebab-sebab mengapa hadits-hadits menjadi dhaif, baik dari segi rawinya ( orang yang meriwayatkan ), sanad, maupun matannya.
Setiap Muslim diperintahkan untuk memiliki kepribadian Islam
(syakhshiyah islâmiyah). Kepribadian Islam itu mencakup cara berpikir islami
(’aqliyyah islâmiyyah) dan pola sikap islami (nafsiyyah islâmiyah). Dengan
‘aqliyyah islâmiyyah seseorang dapat mengeluarkan keputusan hukum tentang
benda, perbuatan, dan peristiwa sesuai dengan hukum-hukum syariah. Dia dapat mengetahui
mana yang halal dan mana yang haram serta mana yang terpuji dan mana yang
tercela berdasarkan syariah Islam. Melalui ‘aqliyyah islâmiyyah seorang Muslim
juga akan memiliki kesadaran dan pemikiran yang matang, mampu menyatakan
ungkapan yang kuat dan tepat, serta mampu menganalisis berbagai peristiwa
dengan benar. Namun, ‘aqliyyah islâmiyyah saja tidak cukup. Banyak ilmu saja
tidak cukup. Tidak jarang, orang pintar bicara, pandai berdebat tentang dalil,
tetapi apa yang diomongkan berbeda dengan apa yang dilakukan.
Karena itu, kepribadian Islam tidak cukup dengan ‘aqliyyah
islâmiyyah melainkan harus dipadukan dengan nafsiyyah .
Dengan mengetahui Ilmu Hadits ( di sini lebih dikhususkan
hadits dhaif ), tentu akan membuat aqliyah kita menjadi semakin terpacu untuk
berpikir dan menggali pengetahuan secara lebih mendalam serta dilandasi
nafsiyah ( sikap ) keimanan dan ketakwaan yang mantap, termotivasi untuk terus
mencari dan mengamalkannya karena pembahasan dalam makalah ini hanyalah berisi
sebagian kecilnya saja.
Sumber
Hadits-Ilmu Hadits. Departemen Agama RI. Jakarta, Oktober
1992.
www. eramuslim.com
Min Muqawwimât an-Nafsiyyah al-Islâmiyyah : Syekh Taqiuddin An-Nabhani,HT I Press
www. eramuslim.com
Min Muqawwimât an-Nafsiyyah al-Islâmiyyah : Syekh Taqiuddin An-Nabhani,HT I Press
http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadits-dhaif.html
DR.H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Ulumul Hadis,
(Ahzam,Jakarta,2008),148-149
Dr. Mahmud Thohan, ulumul hadis studi kompleksitas hadis
nabi, (Titian Ilahi Pres, Yogyakarta, 1997), 40.
H.M.Fadlil Said,alih bahasa dari Kowaidul Asasiyah Fi Ilmi
Mustholahul Hadits, (Al-Hidayah,Surabaya, 2007), 21.
Dr. Mahmud Thohan, 41.
Dr. H. Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, 149
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, (Rasail, Semarang,
2007), 122
Mohammad Nor Ichwan,123
ibid,124
Dr. Abdul Majid Khon, 151
Mohammad Nor Ichwan,125
Ibid,127
Mohammad Nor Ichwan, 129
Dr. Mahmud Thahhan, 51
Dr. Mahmud Thahhan, 65
H.M.Fadlil Said A-Nadwi, 30
Dr. Mahmud Thahan, 66
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, sejarah dan pengantar
ilamu hadis, (pt. pustaska Rizki Putra,Semarang, 1999), 349
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, 349
Mohammad Nor Ichwan, 136
Ibid, 139
Ibid, 140
Ibid, 141
Ibid. 142
Ibid, 142
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 351
Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag., 139
Mohammad Nor Ichwan, 147
Dr. H. Abdul Majid Khon, 197
http://fastion.multiply.com/journal/item/4/Ulumul_hadits