Pendahuluan
Karut-marut penegakkan hukum di negeri ini semakin
menyadarkan bahwa sistem politik dan hukum sekular nyata-nyata gagal mewujudkan
kemaslahatan. Selama manusia diberi hak untuk membuat hukum, hukum hanya
menjadi alat untuk mewujudkan “kepentingan kelompok berkuasa”, bukan untuk
mewujudkan apa yang benar-benar maslahat bagi manusia. Hak untuk mengatur
manusia dengan hukum tertentu mestinya diserahkan kepada pihak yang paling
mengerti jatidiri manusia dan apa yang paling baik bagi dirinya. Itulah Allah
SWT. Dialah Zat Yang menciptakan dan mengatur manusia dan alam semesta.
Menyematkan hak ini kepada selain Allah SWT adalah kesalahan mendasar dalam
pengaturan urusan manusia, dan sumber dari semua mafsadah. Alam semesta
teratur karena berjalan di atas hukum-Nya. Begitu pula manusia, kehidupannya
pasti teratur tatkala aturan yang mengatur kehidupan mereka adalah hukum Allah
SWT.
Penegakan Hukum dalam Islam
Islam telah menggariskan sejumlah aturan untuk menjamin
keberhasilan penegakkan hukum antara lain:
Semua produk hukum harus bersumber dari wahyu.
Seluruh konstitusi dan perundang-undangan yang diberlakukan
dalam Khilafah Islamiyah bersumber dari wahyu. Ini bisa dipahami karena
netralitas hukum hanya bisa diwujudkan tatkala hak penetapan hukum tidak berada
di tangan manusia, tetapi di tangan Zat Yang menciptakan manusia. Menyerahkan
hak ini kepada manusia—seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi-sekular—sama
artinya telah memberangus “netralitas hukum”.
Dalam sistem Islam, sekuat apapun upaya untuk mengintervensi
hukum pasti akan gagal. Pasalnya, hukum Allah SWT tidak berubah, tidak akan
pernah berubah, dan tidak boleh diubah. Khalifah dan aparat negara hanya
bertugas menjalankan hukum, dan tidak berwenang membuat atau mengubah hukum.
Mereka hanya diberi hak untuk melakukan ijtihad serta menggali hukum syariah
dari al-Quran dan Sunnah Nabi saw.
Kesetaraan di depan hukum.
Di mata hukum Islam, semua orang memiliki kedudukan setara;
baik ia Muslim, non-Muslim, pria maupun wanita. Tidak ada diskriminasi,
kekebalan hukum, atau hak istimewa. Siapa saja yang melakukan tindakan kriminal
(jarimah) dihukum sesuai dengan jenis pelanggarannya. Dituturkan dalam riwayat
sahih, bahwa pernah seorang wanita bangsawan dari Makhzum melakukan pencurian.
Para pembesar mereka meminta kepada Usamah bin Zaid agar membujuk Rasulullah
saw. agar memperingan hukuman. Rasulullah saw. murka seraya bersabda:
إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا
سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا
عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ
لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian
adalah tatkala ada orang yang terhormat mencuri, mereka biarkan; jika orang
lemah yang mencuri, mereka menegakkan had atas dirinya. Demi Zat Yang jiwaku
berada dalam genggaman-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya
akan aku potong tangannya (HR al-Bukhari).
Imam al-Bukhari juga menuturkan sebuah riwayat dari Rafi’
bin Khudaij, yang berkata, “Serombongan orang Anshar pergi ke Khaibar.
Sesampainya di sana, mereka berpisah-pisah. Lalu mereka mendapati salah satu
anggota rombongan terbunuh. Mereka berkata kepada orang yang mereka jumpai
(Orang-orang Yahudi), ’Sungguh kalian telah membunuh sahabat kami.’ Orang-orang
Yahudi Khaibar itu menjawab, ’Kami tidak mengetahuai pembunuhnya.’ Orang-orang
Anshar itu pun menghadap menghadap Nabi saw., seraya berkata, “Ya Rasulullah,
kami telah pergi ke Khaibar, dan kami mendapati salah satu anggota rombongan
kami terbunuh.’ Nabi saw. bersabda, ’Al-Kubra al-kubra(Sungguh sangat besar).’
Kemudian Nabi saw bersabda kepada mereka agar mereka menghadirkan dua orang
saksi yang menyaksikan orang yang membunuh anggota rombongannya. Mereka
berkata, ’Kami tidak mempunyai bukti.’ Rasulullah saw. bersabda, ’Mereka
(orang-orang Yahudi Khaibar) harus bersumpah.’ Orang-orang Anshar itu berkata,
’Kami tidak ridha dengan sumpahnya orang Yahudi.’ Rasulullah saw. menolak untuk
membatalkan darahnya. Lalu Rasulullah saw. membayarkan diyat 100 ekor unta
sedekah.” (HR al-Bukhari).
Saat itu Khaibar menjadi bagian Negara Islam. Penduduknya didominasi
orang Yahudi. Ketika orang Yahudi bersumpah tidak terlibat dalam pembunuhan,
Rasulullah saw. pun tidak menjatuhkan vonis kepada mereka karena ketiadaan
bukti dari kaum Muslim. Bahkan beliau membayarkan diyat atas
peristiwa pembunuhan tersebut. Hadis ini menunjukkan bahwa semua orang memiliki
kedudukan setara di mata hukum, tanpa memandang perbedaan agama, ras, dan suku.
Mekanisme pengadilan efektif dan efisien.
Mekanisme pengadilan dalam sistem hukum Islam efektif dan
efisien. Ini bisa dilihat dari beberapa hal berikut ini. Pertama:
keputusan hakim di majelis pengadilan bersifat mengikat dan tidak bisa dianulir
oleh keputusan pengadilan manapun. Kaedah ushul fikih menyatakan:
اَلْاِجْتِهَادُ لاَ يُنْقَضُ بِالْاِجْتِهَادِ
Sebuah ijtihad tidak bisa dianulir dengan ijtihad yang lain.
Keputusan hakim hanya bisa dianulir jika keputusan tersebut
menyalahi nas syariah atau bertentangan dengan fakta. Keputusan hakim adalah
hukum syariah yang harus diterima dengan kerelaan. Oleh karena itu, pengadilan
Islam tidak mengenal adanya keberatan (i’tiradh), naik banding (al-istinaf) dan
kasasi (at- tamyiiz). Dengan begitu penanganan perkara tidak berlarut-larut dan
bertele-tele. Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar ra. pernah memutuskan hukum musyarakah karena
tidak adanya saudara sepupu. Lalu ia menetapkan bagian di antara saudara
tersebut dengan musyarakah. Khalifah Umar lalu berkata, “Yang itu sesuai
dengan keputusanku, sedangkan yang ini juga sesuai dengan keputusanku.”
Beliau menerapkan dua hukum tersebut sekalipun keduanya
bertentangan. Khalifah Umar juga pernah memutuskan bagian kakek dengan
ketentuan yang berbeda-beda, namun dia tidak mencabut keputusannya yang pertama
(Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukmi fi al-Islam, ed. IV, 1996, Daar
al-Ummah, Beirut, Libanon, hlm. 1920).
Pertama: para Sahabat ra. menetapkan hukum atas suatu persoalan yang
berbeda dengan keputusan Khalifah sebelumnya, namun mereka tidak menghapus
keputusan-keputusan yang lain.
Kedua: Mekanisme pengadilan dalam majelis pengadilan mudah
dan efisien. Jika seorang pendakwa tidak memiliki cukup bukti atas sangkaannya,
maka qadhi akan meminta terdakwa untuk bersumpah. Jika terdakwa
bersumpah, maka ia dibebaskan dari tuntutan dan dakwaan pendakwa. Namun, jika
ia tidak mau bersumpah maka terdakwa akan dihukum berdasarkan tuntutan dan
dakwaan pendakwa. Sebab, sumpah (qasam) bisa dijadikan sebagai alat bukti untuk
menyelesaikan sengketa. Penghapusan sumpah sebagai salah satu alat bukti (bayyinah)
dalam sistem hukum sekuler menjadikan proses pengadilan menjadi rumit dan
bertele-tele.
Ketiga: Kasus-kasus yang sudah kadaluwarsa dipetieskan, dan
tidak diungkit kembali, kecuali yang berkaitan dengan hak-hak harta. Pasalnya,
kasus lama yang diajukan ke sidang pengadilan ditengarai bermotifkan balas
dendam.
Keempat: Ketentuan persaksian yang memudahkan qadhi memutuskan
sengketa di antaranya adalah:
1) Seorang baru absah bersaksi atas suatu perkara jika ia menyaksikan sendiri, bukan karena pemberitahuan orang lain;
2) Syariah menetapkan orang tertentu yang tidak boleh
bersaksi, yakni, orang yang tidak adil, orang yang dikenai had dalam
kasus qadzaf, laki-laki maupun wanita pengkhianat, kesaksian dari orang
yang memiliki rasa permusuhan, pelayan yang setia pada tuannya, kesaksian anak
terhadap bapaknya, atau kesaksian bapak terhadap anaknya, kesaksian seorang
wanita terhadap suaminya, atau kesaksian suami terhadap isterinya;
3) Adanya batas atas nishab kesaksian, yang
memudahkan seorang qadhi dalam menangani perkara.
Kelima: dalam kasus ta’zir, seorang qadhi diberi
hak memutuskan berdasarkan ijtihadnya.
Hukum merupakan bagian integral dari keyakinan.
Seorang Muslim wajib hidup sejalan dengan syariah. Kewajiban
ini hanya bisa diwujudkan tatkala ia sadar syariah. Penegakkan hukum menjadi
lebih mudah, karena setiap Muslim, baik penguasa maupun rakyat, dituntut oleh
agamanya untuk memahami syariah sebagai wujud keimanan dan ketaatannya kepada
Allah SWT dan Rasul-Nya.
Seorang Muslim menyadari penuh bahwa ia wajib hidup sejalan
dengan syariah. Kesadaran ini mendorong setiap Muslim untuk memahami hukum
syariah. Sebab, hukum syariah menjadi bagian tak terpisahkan dari keyakinan dan
peribadahan mereka kepada Allah SWT. Penegakan hukum menjadi lebih mudah karena
ia menjadi bagian tak terpisahkan dari keyakinan kaum Muslim. Berbeda dengan
sistem hukum sekular; hukum yang diterapkan berasal dari manusia yang terus
berubah, bahkan acapkali bertentangan dengan keyakinan penduduknya. Penegakkan
hukum sekular justru mendapat penolakan dari warga negaranya, khususnya kaum
Muslim.
Lembaga Peradilan Tidak Tumpang Tindih.
Qadhi diangkat oleh Khalifah atau struktur yang diberi
kewenangan Khalifah. Qadhi secara umum dibagi menjadi tiga; yakni qadhi
khushumat, qadhi hisbah dan qadhi mazhalim. Qadhi khushumatbertugas
menyelesaikan persengketaan yang menyangkut kasus ’uqubat dan mu’amalah. Qadhi
hisbahbertugas menyelesaikan penyimpangan yang merugikan kepentingan umum. Qadhi mazhalimbertugas
menyelesaikan persengketaan rakyat dengan negara, baik pegawai, pejabat
pemerintahan, maupun Khalifah. Lembaga-lembaga tersebut memiliki kewenangan dan
diskripsi tugas yang tidak memungkinkan terjadinya tumpang tindih.
Mahkamah peradilan bisa dibentuk berdasarkan teritorial;
bisa tingkat pusat, wilayah, maupunimarah. Di tiap wilayah atau imarah bisa
dibentuk beberapa mahkamah peradilan. Rasulullah saw. pernah mengangkat ‘Ali
bin Abi Thalib dan Muadz bin Jabal sebagai qadhi di Yaman. Jika ada
tarik ulur antara penuntut dan pihak tertuntut, yang dimenangkan adalah pihak
penuntut. Jika penuntut meminta diadili di Yaman, sedangkan tertuntut minta di
Mesir, maka permintaan penuntut yang dimenangkan. Alasannya, penuntut adalah
pihak yang menuntut haknya, sehingga lebih kuat.
Mahkamah peradilan bisa dibentuk berdasarkan kasus yang
ditangani. Misalnya, Mahkamah A untuk menangani kasus hudud dan jinayat saja,
tidak berwenang menangani kasus ta’zir, dan lain sebagainya. Nabi saw.
mengangkat Hudzaifah al-Yaman, Saad bin Muadz, Abu Bakar, ‘Umar, Amr bin
al-‘Ash dan lain-lain untuk memutuskan perkara tertentu, untuk masa tertentu.
Ketetapan semacam ini juga pernah terjadi pada masa Kekhilafahan Islam. Abu
‘Abdillah az-Zubair berkata, “Beberapa waktu yang lalu, para pemimpin di
Bashrah pernah mengangkat qadhi yang bertugas menyelesaikan permasalahan hukum
di Masjid Jami’. Mereka menamakannya sebagai qadhi masjid. Ia
berwenang menyelesaikan perkara harta yang nilainya dua ratus dirham dan dua
puluh dinar atau lebih sedikit darinya. Ia juga berwenang menentukan besarnya
nafkah yang harus diberikan (seperti nafkah suami kepada istri). Qadhi ini
tidak boleh menjalankan tugasnya di tempat lain, juga tidak boleh menangani
kasus keuangan yang lebih besar dari apa yang telah ditetapkan tadi, serta
kasus lain yang tidak menjadi wewenangnya.” (Imam al-Mawardi, Ahkam
as-Sulthaniyah). Ketentuan ini bisa diberlakukan di pusat, wilayah, maupun
imarah.
Dengan ketetapan seperti ini, tumpang-tindih kewenangan bisa
dianulir.
Setiap keputusan hukum ditetapkan di majelis peradilan.
Keputusan qadhi bersifat mengikat jika dijatuhkan
di dalam majelis persidangan. Pembuktian baru diakui jika diajukan di depan
majelis persidangan. Atas dasar itu, keberadaan majelis persidangan merupakan
salah satu syarat absahnya keputusan seorang qadhi. Yang dimaksud qadhi di
sini adalahqadhi khushumat.
Adapun qadhi hisbah dan qadhi mazhalim tidak
membutuhkan majelis persidangan khusus. Qadhi hisbah dan mazhalim bisa
memutuskan perkara saat berada di tempat, atau tatkala terjadi tindak
pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat, atau ketika terjadi tindak kezaliman
yang dilakukan oleh penguasa. Sebab, perkara-perkara yang ditangani oleh qadhi
hisbah dan qadhi mazhalim tidak mensyaratkan adanya pihak
penuntut maupun tertuduh. Qadhi hisbah maupun mazhalim bisa
menjatuhkan sanksi begitu terbukti ada pelanggaran.
Tidak Saling Menyandera
Sistem politik Islam (Khilafah) menjamin penegakan hukum
berjalan efektif dan efisien. Sebab, semua kebijakan hukum dan politik yang
dikeluarkan Khalifah harus berdasarkan wahyu sehingga bebas kepentingan.
Selain itu sistem politik Islam tidak mengenal adanya
pembagian atau pemisahan kekuasaan seperti dalam sistem pemerintahan demokrasi
(trias politika) sehingga menutup celah adanya konflik kelembagaan. Adapun
dalam sistem pemerintahan demokrasi, pembagian atau pemisahan kekuasaan telah
membuka ruang konflik antar lembaga negara. Lembaga legislatif acapkali
menyandera kebijakan eksekutif, atau sebaliknya. Pasalnya, setiap lembaga
memiliki klaim kewenangan dan kekuasaan atas lembaganya. Akibatnya, elit
kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif disibukkan dengan konflik
kelembagaan hingga kepentingan rakyat dikorbankan. Bahkan tidak jarang,
masing-masing lembaga melakukan manuver ke bawah. Konflik pun tidak hanya
terjadi di level elit kekuasaan, tetapi menyebar ke ranah horisontal. Kekacauan
sosial akibat konflik vertikal tidak bisa dielakkan lagi.
Adapun dalam sistem politik Islam, Khalifah adalah pemegang
kewenangan tertinggi dalam mengatur urusan rakyat. Khalifah atau orang yang
dilimpahi mandat oleh Khalifah berwenang menyelesaikan sengketa rakyat dengan
rakyat, rakyat dengan negara, maupun sengketa antar lembaga negara. Setiap
sengketa pasti bisa diselesaikan dengan mudah karena kepemimpinan Islam
bersifat tunggal. Pengangkatan dan pencopotan pejabat negara juga menjadi
kewenangan Khalifah. Keputusan Khalifah wajib ditaati. Siapa saja yang
membangkang dikenai sanksi berat.
Islam pun mewajibkan kaum Muslim untuk melaksanakan amar
makruf nahi mungkar, baik dilaksanakan secara individu, kelompok (partai
politik), maupun kelembagaan negara (mahkamah mazhalim). Kontrol atas
penegakan hukum bukan sekadar menjadi isu politik dan yuridis, namun juga
menjadi isu sosial yang mampu memberi “tekanan” kuat bagi siapa saja yang
berusaha merobohkan sendi-sendi hukum.
Penegakan hukum di sistem demokrasi sekular hanyalah jargon
khayali yang tidak mungkin membumi. Sistem ini mulai pangkal hingga ujungnya
bermasalah. Menaruh harapan pada sistem ini jelas-jelas kesalahan besar.
Akhirnya, hanya dengan kembali pada syariah Islam dan sistem
Khilafah Islamiyah, manusia akan mendapatkan apa yang selama ini mereka
harapkan. Pasalnya, syariah Islam dan Khilafah Islamiyah adalah ketentuan yang
ditetapkan Allah SWT, Zat Yang Paling Memahami apa yang paling baik bagi
manusia.
Penulis: Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy