Malu pada dasarnya adalah sifat yang terpuji dalam Islam,
karena dengan memiliki sifat malu seseorang terhindar dari berbagai perbuatan
tercela. Namun adakalanya sifat malu itu tercela. Dalam artikel ini akan kita
bahas kapan malu itu terpuji dan kapan malu itu tercela.
Makna Malu
Secara bahasa, al hayaa-u (malu) artinya at
taubah wal himsyah, penuh taubat dan sopan santun (lihat Lisaanul
Arab). Secara istilah syar’i, al hayaa-u artinya,
خلق يمنحه الله العبد ويجبله عليه فيكفه عن ارتكاب القبائح والرزائل،
ويحثه على فعل الجميل
“sifat yang dikaruniakan Allah kepada seorang hamba sehingga
membuatnya menjauhi keburukan dan kehinaan, serta menghasungnya untuk melakukan
perbuatan yang bagus” (lihatFathul Baari karya Ibnu Rajab, 1/102).
Malu adalah bagian dari iman, artinya tidak sempurna iman
seseorang kecuali ia memiliki sifat malu. Dalam Shahihain Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
الإيمانُ بِضعٌ وستونَ شُعبةً ، والحَياءُ شُعبةٌ منَ الإيمانِ
“Iman itu enam puluh sekian cabang, dan malu adalah salah
satu cabang dari iman” (HR. Al Bukhari 9, Muslim 35).
Dalam hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhu juga
disebutkan,
أن رسولَ اللهِ مر على رجلٍ من الأنصارِ وهو يَعِظُ أخاه في الحياءِ
فقال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: دعْه فإن الحياءَ من الإيمانِ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melewati
seorang lelaki Anshar yang sedang menasehati saudara agar saudaranya tersebut
punya sifat malu. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallambersabda: ‘biarkan
ia, karena sesungguhnya malu itu bagian dari iman‘” (HR. Al Bukhari 24, Muslim
36)
Rasulullah juga memutlakkan sifat malu dengan kebaikan, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
الحياءُ لا يأتي إلَّا بخيرٍ
“Malu itu tidak datang kecuali dengan kebaikan” (HR. Al
Bukhari 6117, Muslim 37).
Ini merupakan bukti tegas bahwa sifat malu itu asalnya
terpuji.
Sifat Malu Adalah Sifat Para Nabi dan Orang Shalih
Para umat terdahulu sebelum di utusnya Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
Wasallam sudah mengenal dan menyadari bahwa sifat malu itu baik dan
merupakan ajaran semua para Nabi terdahulu. Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
إن مما أدرك الناس من كلام النبوة الأولى : إذا لم تستح فاصنع ما شئت
“Sesungguhnya diantara hal yang sudah diketahui manusia yang
merupakan perkataan para Nabi terdahulu adalah perkataan: ‘jika engkau tidak
punya malu, lakukanlah sesukamu’” (HR. Al Bukhari 6120).
Bahkan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun
dikenal sebagai orang yang sangat pemalu. Sahabat Nabi, Imran bin Hushain
mengatakan:
كان النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أشَدَّ حَياءً مِن العَذْراءِ في
خِدْرِها
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah orang yang lebih
pemalu daripada para gadis perawan dalam pingitannya” (HR. Al Bukhari 6119,
Muslim 37).
Dan sifat malu ini juga merupakan sifatnya orang-orang
shalih. Lihatlah bagaimana NabiShallallahu’alaihi Wasallam memuji Utsman
bin ‘Affan karena ia dikenal dengan sifat pemalunya sampai-sampai Malaikat pun
malu kepada beliau. Nabi bersabda,
ألا أستحي من رجلٍ تستحي منه الملائكةُ
“Bukankah aku selayaknya merasa malu terhadap seseorang
(Utsman) yang Malaikat saja merasa malu kepadanya?” (HR. Muslim 2401).
Dengan demikian sudah jelas bahwa sifat malu ini adalah hal
yang semestinya dimiliki dan dijaga oleh setiap Muslim.
Walaupun sifat malu itu terpuji, namun malu bisa menjadi
tercela jika ia menghalangi seseorang untuk mendapatkan ilmu agama atau
melakukan sesuatu yang benar. Para salaf mengatakan:
لا ينال العلم مستحى و لا مستكبر
“orang yang pemalu tidak akan meraih ilmu, demikian juga
orang yang sombong”.
Dan jika kita menelaah perbuatan salafus shalih,
ternyata dalam hal-hal yang biasanya orang-orang malu melakukannya, mereka
tidak malu jika itu demi mendapatkan ilmu agama atau demi melakukan yang benar
dan terhindar dari kesalahan dan dosa. Sebagaimana kisah Ummu Sulaimradhiallahu’anha,
beliau bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
يا رسولَ اللهِ ، إنَّ اللهَ لا يَستَحِي منَ الحقِّ ، فهل على
المرأةِ غُسلٌ إذا احتَلَمَتْ ؟ فقال : ( نعمْ ، إذا رأتِ الماءَ
“wahai Rasullah, sesungguhnya Allah itu tidak merasa malu
dari kebenaran. Apakah wajib mandi bagi wanita jika ia mimpi basah? Rasulullah
bersabda: ‘ya, jika ia melihat air (mani)‘” (HR. Al Bukhari 6121,
Muslim 313).
Permasalahan mimpi basah tentu hal yang tabu untuk
dibicarakan. Namun lihatlah, Ummu Salamah radhiallahu’anha tidak malu
menanyakannya demi mendapatkan ilmu dan demi melakukan hal yang benar. Dan Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam pun tidak mengingkarinya. Karena andai ia tidak
bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentu ia tidak tahu
bagaimana fiqih yang benar dalam perkara ini dan akan terjerumus dalam
kesalahan.
Hal ini sebagaimana juga dalam hadits yang dikeluarkan Imam
Muslim dalam Shahih-nya, hadits dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, beliau
berkata:
إن رجلًا سأل رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم عن الرجلِ
يُجامِعُ أهلَه ثم يَكْسَلُ . هل عليهما الغُسْلُ ؟ وعائشةُ جالسةٌ . فقال رسولُ
اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم إني لَأَفْعَلُ ذلك . أنا وهذه . ثم نغتسلُ
“ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam tentang seorang yang lain, yang ia berjima’ dengan istrinya lalu
mengeluarkan mani di luar (‘azl), “apakah ia wajib mandi?”, tanyanya. Ketika
itu ‘Aisyah duduk di samping Rasulullah. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam menjawab, ‘sungguh aku melakukan itu, aku dan wanita ini
(‘Aisyah). Lalu kami mandi‘”. (HR. Muslim 350).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para
sahabat tidak malu membahas hal yang sifatnya privat dalam rangka
mengajarkan dan mendapatkan ilmu.
Dalam kisah yang lain di Shahih Muslim juga, suatu
hari sekelompok kaum Anshar dan Muhajirin berselisih pendapat mengenai batasan
jima’ yang mewajibkan mandi. Pihak kaum Anshar berpendapat bahwa tidak wajib
mandi jika tidak ada mani yang keluar. Sedangkan pihak kaum Muhajirin
berpendapat wajib mandi jika suami dan istri sudah bercampur badan, walaupun
tidak keluar mani. Abu Musa Al Asy’ari melihat perselisihan ini mencoba
menengahi dengan cara bertanya kepada istri Nabi, ‘Aisyah radhiallahu’anha. Abu
Musa Al Asy’ari berkata kepada ‘Aisyah:
يا أماه ! ( أو يا أم المؤمنين ! ) إن أرد أن أسألك عن شيء . وإن
أستحييك . فقالت : لا تستحي أن تسألني عما كنت سائلا عنه أمك التي ولدتك . فإنما
أنا أمك . قلت : فما يوجب الغسل ؟ قالت : على الخبير سقطت . قال رسول الله صلى
الله عليه وسلم ” إذا جلس بين شعبها الأربع ، ومس الختان الختان ، فقد وجب الغسل “
“wahai Ibu (ibunya kaum mu’minin), aku ingin bertanya
kepadamu tentang sesuatu, tapi aku malu. ‘Aisyah lalu berkata: ‘jangan engkau
malu bertanya, jika engkau bertanya kepada ibu yang melahirkanmu. dan
sesungguhnya aku ini ibumu juga. Abu Musa lalu berkata: ‘bagaimana batasan
jima’ yang mewajibkan mandi?’. ‘Aisyah berkata: ‘engkau bertanya kepada orang
yang tepat, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘jika
seseorang lelaki duduk diantara empat anggota badan istrinya, lalu dua kemaluan
saling bertemu, maka wajib mandi‘” (HR. Muslim 349).
Ummul Mu’minin Aisyah radhiallahu’anha, rasa malu tidak
menghalanginya untuk mengajarkan ilmu agama kepada umat dan dengannya
terkikislah perselisihan.
Demikianlah, seseorang tidak boleh malu dalam melakukan yang
haq dan dalam menjauhi kesalahan dan dosa. Malu ketika akan melakukan yang haq
atau malu untuk menjauhi kesalahan dan dosa, pada hakekatnya itu bukanlah
malu dalam pandangan syariat. Coba renungkan kembali makna malu yang
disampaikan Ibnu Rajab rahimahullah di atas. Bahkan yang demikian
adalah sifat lemah dan pengecut. Sifat pengecut ini tercela, Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallambersabda:
شَرُّ مَا فِي رَجُلٍ شُحٌّ هَالِعٌ وَجُبْنٌ خَالِعٌ
“Seburuk-buruk sifat yang ada pada seseorang adalah sifat
pelit yang sangat pelit dan sifat pengecut yang sangat pengecut” (HR. Abu Daud
2511, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah 560).
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga mengajarkan
kita berlindung dari sifat pengecut dan lemah. Beliau mengajarkan doa:
اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ ، وَالْحَزَنِ ، وَالْعَجْزِ ،
وَالْكَسَلِ ، وَالْبُخْلِ ، وَالْجُبْنِ ، وَفَضَحِ الدَّيْنِ ، وَقَهْرِ
الرِّجَالِ
“Ya Allah aku memohon perlindungan dari kegelisahan,
kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat bakhil dan pengecut, dari
beban hutang dan penindasan oleh orang-orang” (HR. At Tirmidzi 3484,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).
Kesimpulan
Sifat malu itu terpuji dan merupakan bagian dari iman.
Seorang muslim hendaknya memiliki sifat ini, sehingga ia terhindar dari
perbuatan-perbuatan tercela dan dosa. Namun jangan sampai sifat malu
menghalangi seseorang untuk menuntut
ilmu, melakukan yang haq serta menjauhi kesalahan dan dosa.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat.
Referensi : Mafaatiihul Fiqhi Fid Diin, karya Syaikh
Musthafa Al ‘Adawi hafizhahullah, hal. 32-35, cetakan Maktabah
Makkah
Sumber : muslim.or.id