Untuk ke sekian kalinya, kaum feminis dan liberal
melancarkan tudingan terhadap syariah Islam. Syariah Islam dianggap
mendiskriminasi perempuan. Tudingan kembali muncul awal tahun 2015. Kali ini
datang dari Raihan Diani. Ia adalah aktivis mantan Ketua Organisasi Perempuan
Aceh Demokratik (ORPAD). Diani menuduh hukum syariah yang ditegakkan di Aceh
acapkali menghasilkan diskriminasi bagi perempuan Aceh. Tuduhan itu di
sampaikan dalam sebuah diskusi di Jakarta bertema, ”Syariah Islam di Aceh
dan Kesejahteraan Perempuan” di Bakoel Café, Cikini. Diani juga
menandaskan, “Hukum syariah di Aceh tidak menyejahterakan rakyat Aceh. Banyak
warga main hakim sendiri yang mengatasnamakan syariah.” (Hidayatullah.com dan the
Citizen Daily).
Berbicara tentang isu Aceh dan tudingan terhadap perda atau qanun syariahnya,
terutama yang menyangkut isu perempuan, memang seakan tak ada hentinya. Setiap
ada isu miring soal penerapan perda syariah di Aceh, serta-merta kalangan media
liberal dalam dan luar negeri berkolaborasi dengan kelompok feminis
mempublikasikannya, tentu dengan sudut pandang anti Islam.
Bahkan Duta Besar Uni Eropa, Olof Skoog sengaja datang ke
Serambi Makkah 17 Juni 2014 lalu untuk menyatakan keprihatinan terkait adanya
dugaan pelanggaran HAM terhadap kaum perempuan dalam pelaksanaan syariah Islam
di Aceh. Ia berusaha menekankan soal pemenuhan hak-hak asasi perempuan dalam
pelaksanaan syariah Islam.
Tak hanya di Aceh, rupanya tudingan terhadap syariah Islam
yang mewarnai perda-perda di negeri ini pun terus berlangsung. Penolakan
atas Perda Syariah Kota Tasikmalaya datang dari LSM semisal Setara Institut dan
para perempuan pegiat gender. Mereka resah dan mengklaim bahwa Perda Syariah
Tasikmalaya yang mewajibkan perempuan mengenakan kerudung sebagai diskriminatif
terhadap perempuan. Padahal warga Tasikmalaya sendiri tidak menyatakan
keberatan terhadap Perda Syariah tersebut.
Larangan perempuan keluar malam dalam Perda Syariah di
Tangerang dan Gorontalo juga tak luput dari serangan. Mereka menuding aturan
ini sebagai kebijakan yang membatasi ruang gerak perempuan. Begitu pula di
Sumatra Barat yang menerapkan perda bernuansa syariah Islam. Di antaranya
tentang: Kewajiban Berbusana Muslimah di Kota Padang; Wajib Baca al-Quran untuk
Siswa dan Pengantin di Kabupaten Solok; Berpakaian Muslim dan Muslimah bagi
Para Siswa, Mahasiswa dan Karyawan di Kabupaten Pasaman, dll. Semuanya mendapat
hujatan. Komnas Perempuan mencatat, Provinsi Sumbar merupakan daerah pertama
yang mengeluarkan kebijakan diskriminatif, yang mendiskreditkan wanita dan
tersebar di 15 daerah. “Kami meminta agar perda-perda diskriminatif terhadap
perempuan ini dihapuskan karena memberangus sebagian hak-hak mereka,” kata Ketua
Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas Perempuan,
Husein Muhammad (Kompas.com).
Semangat pemberangusan syariah Islam juga sempat mewarnai
bursa pemilihan presiden. “Jika terpilih menjadi pemenang, pemerintahan Joko
Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) akan melarang munculnya peraturan daerah baru
yang berlandaskan syariah Islam. Larangan ini diberlakukan kepada daerah-daerah
yang telah membuat perda berlandaskan syariah Islam…” Demikian kata Ketua Tim
Bidang Hukum Pemenangan Jokowi-JK, Trimedya Panjaitan (Republika.co.id,08/06/14).
Menyerang Syariah
Tudingan miring para feminis dan liberal yang bertubi-tubi
di atas jelas merupakan serangan terhadap syariah Islam. Serangan terhadap
syariah juga tampak pada gugatan terhadap hukum waris, kepemimpinan laki-laki
atas perempuan, nafkah, cerai di tangan laki-laki, pakaian, hukum khalwat,
safar, izin istri dan lain-lain.
Dalam narasi sesat mereka, jilbab dianggap sebagai bentuk
kekerasan dan diskriminasi perempuan karena memaksa perempuan untuk memakai
pakaian, yang boleh jadi mereka sukai. Kemuliaan perempuan mereka ukur dengan
kemampuan menghasilkan uang, jabatan yang bisa mereka sandang, partisipasi
dalam politik, dan segala yang bersifat materi. Nilai-nilai yang dijunjung
Islam bagi perempuan seperti harga diri, pahala sebagai istri dan ibu, semua
diabaikan.
Mereka pun menyerang sejumlah produk hukum legal-formal yang
menjadi warna pada beberapa perda syariah di Indonesia. Komnas Perempuan
menyatakan pada tahun 2013 ada 342 peraturan daerah diskriminatif atas nama
agama dan moralitas di Indonesia. Sebanyak 265 dari 342 kebijakan diskriminatif
itu secara langsung menyasar perempuan. Dari 265 kebijakan tersebut, 76
kebijakan mengatur cara berpakaian berdasarkan interpretasi tunggal ajaran
agama penduduk mayoritas, 124 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi, 27
kebijakan tentang pemisahan ruang publik laki-laki dan perempuan atas alasan
moralitas (19 diantaranya menggunakan istilah khalwat atau mesum).
Ada pula 35 kebijakan terkait pembatasan jam keluar malam. Perda-perda tersebut
mereka klaim mengurangi hak perempuan dalam bergerak, pilihan pekerjaan dan
perlindungan serta kepastian hukum (VOA-Indonesia, 25/08/2013).
Tahun 2014, perda yang dianggap diskriminatif oleh Komnas
Perempuan meningkat menjadi 365. Yang paling disorot oleh mereka adalah Qanun
Jinayat di Nanggroe Aceh Darussalam (CNN Indonesia, 12/11/2014).
Dengan berbagai bentuk serangan yang kian massif, kaum
feminis berusaha untuk mengubah pandangan Muslimah terhadap aturan agama
mereka. Mereka menggambarkan betapa wajah buruk Islam menghantui kaum
perempuan. Mereka mengopinikan bahwa jika syariah diterapkan, perempuanlah
pihak pertama yang akan menjadi korban.
Paradigma Keliru
Serangan massif kaum feminis dan liberal terhadap syariah
Islam sebenarnya berangkat dari paradigma tertentu yang menjadi landasannya. Pertama:
HAM (Hak Asasi Manusia). Pemikiran ini bersumber pada konsep kebebasan manusia.
Bebas berkeyakinan, bebas berpendapat, bebas bertingkah laku dan bebas
memiliki. Peraturan yang ada hanya berfungsi untuk menjamin setiap orang bisa
mendapatkan kebebasannya. Sekalipun itu nyata sebagai perbuatan buruk seperti
prostitusi dan seks bebas, akan terus mereka bela dan perjuangkan atas nama
HAM. Serangan terhadap kebijakan prostitusi dankhalwat menunjukkan hal
ini. Hukum syariah mereka kriminalisasi karena dianggap mengekang hak untuk
berseks bebas. Padahal menjadikan HAM sebagai landasan berpikir merupakan
sebuah kesalahan besar. Konsep HAM adalah konsep karangan akal manusia. Padahal
akal manusia sangat terbatas. Apa yang manusia pikir baik, belum tentu baik.
Sebaliknya, apa yang manusia pikir buruk belum tentu buruk. Artinya, konsep HAM
ini batil karena menjadikan kebebasan sebagai segala-galanya.
Kedua: Kedaulatan membuat hukum di tangan manusia. Dalam
ideologi liberal, manusia berdaulat membuat hukum, hingga hukum Allah pun harus
diuji oleh “otak” manusia. Hal ini bisa dilihat terkait Subtansi yang diatur
dalam Qanun Jinayat Aceh yang katanya bertentangan dengan UU yang lebih tinggi
seperti UU Perlindungan Anak sehingga anak tidak mendapatkan perlindungan dari
perlakuan yang tidak manusiawi. Menurut Ketua Balai Syariah Urueng Inong Aceh,
“Kelompok perempuan dan anak tidak diajak berdiskusi. Kalau peraturan daerah
disahkan tanpa berdialog dengan kaum perempuan dan anak, maka akan berpotensi
memunculkan kebijakan diskriminatif.” Bagaimana mungkin syariah Islam harus
didiskusikan oleh khalayak ramai, oleh para perempuan dan anak? Apakah syariah
Allah harus diuji oleh otak manusia? Demikianlah dalam demokrasi, semua UU
harus dinilai dan disetujui manusia/rakyat, sekalipun itu berasal dari syariah
Allah.
Ketiga: Islamophobia, yakni takut terhadap penerapan syariah
Islam sebagai aturan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hujatan
mereka terhadap peraturan-peraturan daerah yang bernuansa Islam begitu
bertubi-tubi meski masyarakat setempat merasakan dampak positif dari aturan
yang diterapkan. Di Bulukumba, misalnya. Masyarakat di sana bisa hidup aman,
nyaman dan tenang. Kriminalitas turun drastis. Peredaran miras menipis.
Pencurian terkikis. Bahkan konon, binatang peliharaan dan kendaraan jika
dibiarkan di luar rumah pada malam hari pun akan aman. Namun, tetap saja perda
ini tidak luput dari kecaman. Jadi, intinya mereka akan terus memusuhi selama
itu adalah syariah Islam karena mereka tidak meinginginkannya.
Apapun yang diungkapkan oleh para feminis liberal adalah
ungkapan dari kebencian dan permusuhan kafir terhadap Islam, sebagaimana
permusuhan setan pada segala yang diperintahkan Allah SWT dan diterangkan dalam suratnya:
ٱللَّهُ وَلِىُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ يُخْرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ ۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَوْلِيَآؤُهُمُ ٱلطَّٰغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ ٱلنُّورِ إِلَى ٱلظُّلُمَٰتِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَٰلِدُونَ
"Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan
mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang
kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada
cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya". (QS:
Al-Baqarah Ayat: 257)
Penerapan Syariah Secara Kaffah
Kaum feminis dan liberal akan terus melakukan penyerangan
terhadap penerapan aturan yang bernuansa syariah Islam. Inilah fakta yang akan
terus terjadi ketika sebagian syariah diterapkan dalam habitat yang bukan
sistem Islam (sistem kufur demokrasi). Ketika ketimpangan muncul hal itu
dituduhkan pada syariah Islam. Padahal ketimpangan itu terjadi justru karena
produk aturan syariah yang masih bercampur dengan aturan buatan manusia.
Jika saat ini aturan Islam dirasa ada yang merugikan
perempuan, maka perlu dipahami bahwa kemuliaan dan peran utama perempuan memang
hanya akan tampak dan dicapai secara nyata ketika Islam diterapkan secara
total. Saat ini, ketika syariah diterapkan secara parsial dalam kondisi sosial
politik demokrasi-liberal, didukung oleh pemberlakuan sistem ekonomi
kapitalistik yang tidak memberikan keadilan, maka justru akan banyak celah
untuk memojokkan; seolah-olah syariah Islam tidak memahami dinamika masyarakat
dan tidak mampu menjawab tantangan zaman. Bila diberlakukan aturan jam malam,
misalnya, maka yang terkena dampaknya bukan hanya pelaku prostitusi, tetapi
juga banyak perempuan pekerja yang tuntutan kerjanya hingga larut malam.
Contoh lain tentang aturan berpakaian Muslimah di Aceh dan
di beberapa kota lainnya. Perempuan diperintahkan untuk menutup auratnya. Namun
di sisi lain, sistem ini memberikan peluang besar terhadap perkembangan mode
yang terus disodorkan melalui media massa. Pendidikan yang diterapkan pun
berbasis kurikulum sekular yang tidak mampu memotivasi para siswa untuk terikat
penuh dengan syariah. Kondisi seperti ini akan menjadikan para perempuan
penggila mode beranggapan syariah telah mengekang kebebasan berpakaian mereka.
Tak ayal lagi, hal ini akan menjadi santapan empuk feminis untuk melancarkan
serangan terhadap aturan berpakaian dalam Islam.
Penerapan sebagian syariah Islam tidak akan bisa
menyelesaikan masalah secara menyeluruh, juga tidak akan bisa merealisasikan
tujuan-tujuan penerapan syariah secara utuh. Ketimpangan akibat penerapan
syariah secara parsial ini, sekali lagi, justru akan menjadi sasaran empuk
musuh-musuh Islam. Seakan memberikan peluang yang besar bagi musuh-musuh umat
untuk menuding ketidakmampuan Islam untuk memecahkan berbagai masalah.
Oleh karena itu penerapan syariah Islam sesungguhnya tidak
boleh dilaksanakan secara parsial, lokal dan bertahap seperti pada Qanun
Syariah di Aceh, perda syariah di Tasikmalaya, ataupun skup kenegaraan seperti
di Brunei saja. Penerapan syariah Islam haruslah secara totalitas (menyeluruh)
di bawah naungan negara Khilafah Islamiyah agar rahmat-Nya terasa pada seluruh
umat manusia. Syariah Islam juga wajib berlaku sama bagi seluruh warga negara,
Muslim maupun non-Muslim, keluarga pejabat atau rakyat jelata.
Bukankah Allah SWT telah mengingatkan bahwa mengambil
sebagian hukum Islam dan meninggalkan sebagian hukum Islam yang lain adalah
sebuah dosa besar? Allah SWT berfirman:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا
جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ
بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
"Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab dan mengingkari
sebagian yang lainnya? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di
antara kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, sementara pada Hari
Kiamat nanti mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat. Allah tidak
lengah dari apa yang kalian perbuat" (QS al-Baqarah [2]: 85).
Oleh karena itu, mari kita akhiri serangan terhadap syariah
Islam. Mari kita bungkam mulut-mulut sesat kaum feminis liberal dengan
menenerapkan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah
Islamiyah.
Penulis: Yusriana; Anggota DPP MHTI