Dalam kitab Makarim al-Akhlaq, karya Radhiyuddin Abi
an-Nashr al-Hasan bin al-Fadhal at-Thabrasi, terdapat hadits yang berbunyi:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَتَزَوَّجُ فِيْكُمْ
وَأُزَوِّجُكُمْ إِلاَّ فَاطِمَةَ فَإِنَّ تَزْوِيْجَهَا نَزَلَ مِنَ السَّمَاءِ،
وَنَظَرَ رَسُوْلُ الله إِلَى أَوْلاَدِ عَلِي وَجَعْفَر فَقَالَ بَنَاتُنَا
لِبَنِيْنَا وَبَنُوْنَا لِبَنَاتِنَا
“Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa seperti
kalian. Aku kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku dengan kalian,
kecuali Fatimah. Karena, perkawinannya ditetapkan dari langit (telah ditentukan
oleh Allah SWT). Rasulullah pun memandang kepada anak-anak Ali dan Ja’far,
seraya bersabda: ‘Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki
kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami’.”
Dalam kitab tersebut tidak disebutkan sanadnya. Tetapi,
hadits ini diriwayatkan oleh al-Kulaini, dalam kitabnya al-Kafi, Juz
V/568, dengan sanad yang majhul [tidak diketahui]. Karena itu, hadits
ini tidak bisa dijadikan sebagai hujah untuk menetapkan hukum wajibnya kafa’ah.
Dalam riwayat lain disebutkan:
كُلُّ بَنِي آدَمَ يَنْتَمُونَ إِلَى عَصَبَةِ أَبِيهِمْ إِلا وَلَدَ
فَاطِمَةَ، فَإِنِّي أَنَا أَبُوهُمْ وَأَنَا عَصَبَتُهُمْ [الطبراني في الكبير من
طريق عثمان بن أبي شيبة عن جرير عن شيبة بن نعامة عن فاطمة ابنة الحسين عن
جدتها فاطمة الكبرى به مرفوعا]
“Semua anak Adam bernasab kepada orang tua lelaki (ayah
mereka), kecuali anak Fatimah. Akulah ayah mereka dan akulah yang menurunkan
mereka.” [Hr. At-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir dari ‘Utsman bin Abi
Syibah dari Jarir bin Syibah bin Nu’amah dari Fatimah binti al-Husain dari
neneknya, Fatimah al-Kubra diriwayatkan secara marfu’].
Status hadits ini menurut Ibn al-Jauzi, dalam al-‘Ilal
al-Mutanahiyyah, “Innahu la yashihhu, laisa bi jayyid[in]. (Hadits
tersebut tidak shahih, dan tidak jayyid [baik]).” Di dalam sanad-nya
juga terdapat Syibah, yang dinyatakan lemah. Namun, hadits ini mempunyai banyak
pendukung (syawahid). Jika pun maknanya sahih, maka hadits ini menjelaskan
kekhususan Nabi saw. dan keturunannya. Namun, hadits ini tidak menjelaskan
tentang wajibnya kafa’ah bagi pasangan suami-isteri, khususnya
keluarga Nabi saw.
Mengenai hadits dari Ibn ‘Umar:
اَلْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ لِبَعْضٍ قَبِيْلَةٌ لِقَبِيْلَةٍ
وَحَيٌّ لِحَيٍّ وَرَجُلٌ لِرَجُلٍ
“Orang-orang Arab setaraf satu dengan yang lain. Kabilah satu
dengan kabilah lain, satu kampung dengan kampung yang lain, laki-laki yang satu
dengan yang lain…”
Hadits ini palsu, tidak ada dasarnya. Ibn Abi Hatim
berkomentar, “Aku telah bertanya kepada ayahku tentang hadits ini, beliau
mengatakana, “Munkar”.” Sedangkan Ibn ‘Abd al-Barr berkomentar, “Hadits
ini Munkar dan palsu [maudhu’].”. Dalam isnad-nya terdapat orang yang majhul,
yaitu perawi yang meriwayatkan dari Ibn Juraij. Ad-Daruquthni berkomentar,
dalam kitab al-‘Ilal, “La yashihhu [Tidak sahih].”
Begitu juga hadits al-Bazzar dari Mu’adz bin Jabal:
اَلْعَرَبُ بَعْضُهُمْ أَكِفَّاءُ بَعْضٍ، وَالْمَوَالِيْ بَعْضُهُمْ
أَكِفَّاءُ بَعْضٍ
“Orang-orang Arab sekufu’ satu dengan yang lain. Begitu juga
kaum Mawali sekufu satu dengan yang lain.”
Isnad hadits ini juga lemah.
Mengenai tindakan Nabi saw. menikahkan putrinya, Fatimah
al-Kubra dengan saudara sepupunya, ‘Ali bin Abi Thalib, ini tidak bisa
dijadikan sebagai dasar untuk mewajiban pernikahan antara sesama syarif dengan syarifah.
Sebaliknya, mengharamkan pernikahan syarif dengan bukan syarifah,
atau syarifah dengan bukan syarif. Karena, ada tindakan Nabi saw. yang
lain, yang berbeda dengan ini. Ketika Nabi saw. menikahkan putri bibinya,
Zainab binti Jahsy al-Asadiyyah dengan Zaid bin Haritsah. Padahal, Zainah
adalah syarifah, sedangkan Zaid bin Haritsah bekas budak yang telah
dimerdekakan.
Bukan hanya dalam bentuk tindakan, tetapi Nabi juga
memerintahkan Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, putra
dari bekas budaknya, Zaid bin Haritsah. Maka, Usamah bin Zaid pun menikahinya
atas titah Nabi saw [Hr. Muttafaq ‘alaih]. Begitu juga Abu Hudzaifah bin
Rabi’ah bin ‘Utbah telah mengadopsi Salim, bekas budak wanita Anshar, sehingga
dikenal sebagai Salim “Maula” [bekas budak] Abi Hudzaifah. Salim dinikahkan
oleh Abu Hudzaifah dengan keponakannya, putri saudara lelakinya, Hindun binti
al-Walid bin Utbah. [Hr. Bukhari].
Mengenai perkataan ‘Umar bin al-Khatthab:
لَأَمْنَعُنَّ فُرُوْجَ ذَوَاتِ الأحْسَابِ إِلاَّ مِنَ الأَكِفَّاءِ
“Aku melarang kemaluan wanita-wanita dari keturunan
mulia, kecuali untuk lelaki yang setaraf dengannya.”
Perkataan ‘Umar ini bukan hadits. Apa yang dinyatakan ‘Umar
ini merupakan pendapatnya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk
mewajibkan kafa’ah, atau melarang pernikahan karena tidak kafa’ah.
Begitu juga pendapat Salman al-Farisi, sebagaimana yang
dinukil oleh Ibn Qudamah:
بَلْ أَنْتَ تَقَدَّمْ فَإِنَّكُمْ مَعْشَرَ الْعَرَبِ لاَ
يُتَقَدَّمُ عَلَيْكُمْ فِي صَلاَتِكُمْ وَلاَ تُنْكَحُ نِسَاؤُكُمْ إِنّ اللهَ
فَضَّلَكُمْ عَلَيْنَا بِمُحَمَّدٍ صلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعَلَ
فِيْكُمْ
“Anda [Jarir] yang harus maju. Kalian kalian, wahai
orang-orang Arab, kalian tidak boleh dipimpin dalam shalat kalian [oleh
non-Arab]. Perempuan kalian juga tidak boleh dinikahi, sesungguhnya Allah
memuliakan kalian atas kami karena Muhammad saw. Dia juga dijadikan di antara
kalian.” [HR. al-Baihaqi]
Perkataan Salman ini juga bukan hadits. Apa yang dinyatakan
Salman ini merupakan pendapatnya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk
mewajibkan kafa’ah, atau melarang pernikahan karena tidak kafa’ah.
Kalau pun ini dijadikan sebagai syarat, hanya syarat afdhaliyyah saja,
baik dalam imamah shalat maupun pernikahan.
Karena itu, tidak ada satu dalil pun yang bisa digunakan
untuk mewajibkan kafa’ah bagi pasangan suami isteri, baik dari
kalangan Arab dengan Arab, Arab dengan non-Arab, maupun syarifah dengan
bukan syarifah. Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani menyatakan, karena itu,
maka nash-nash yang menyatakan kafa’ah adalah nash yang batil, atau
tidak bisa digunakan untuk berhujah. Mensyaratkankafa’ah juga bertentangan
dengan sabda Nabi saw:
لاَ فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ إِلاَّ بِالتَّقْوَى
“Tidak ada kelebihan bagi bangsa Arab terhadap
non-Arab kecuali dengan ketakwaannya.” [Hr. Ahmad]
Syarat tersebut juga bertentangan dengan nash al-Qur’an:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya di antara kalian yang paling mulia di
sisi Allah, adalah kalian yang paling bertakwa.” [Q.s. al-Hujurat: 13]
Karena itu, hadits-hadits tentang syarat kafa’ah, atau
bahkan yang mewajibkan kafa’ah jelas harus ditolak, dari aspek riwayat maupun dirayah.
Maka, Al-‘Allamah al-Qadhi an-Nabhani menegaskan, bahwa hadits-hadits yang
menyatakan tentang kafa’ah ini adalah hadits-hadits makdzubah [bohong/palsu] [Al-‘Allamah
al-Qadhi an-Nabhani, an-Nidzam al-Ijtima’i fi al-Islam, hal. 104].
Perbedaan Kafa’ah di Kalangan Ulama’
Sebagian fuqaha’, seperti Imam Ahmad, menggunakan sebagian
hadits di atas sebagai argumen untuk menyatakan, bahwa kafa’ah merupakan
syarat sahnya pernikahan. Jika tidak terpenuhi, maka kedua mempelai yang tidak
sederajat itu harus dipisahkan. Ini juga merupakan pendapat Sufyan at-Tsauri.
Dasar yang digunakan, selain hadits yang telah dinyatakan lemah di atas, juga
pendapat ‘Umar dan Salman. Mengenai penggunaan kedua pendapat sahabat, ‘Umar
dan Salman, bisa dimengerti, karena Imam Ahmad mengakui Mazhab Sahabat sebagai
dalil.
Namun, ini bukan pendapat Imam Ahmad satu-satunya. Karena,
Imam Ahmad juga mempunyai pendapat kedua, yang berbeda dengan riwayat pertama.
Menurutnya, kafa’ah bukan syarat sahnya pernikahan. Pendapat ini
merupakan pendapat mayoritas ulama’, bukan hanya pendapat Imam Ahmad. Pendapat
ini ternyata juga merupakan pendapat ‘Umar, Ibn Mas’ud, ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz,
‘Ubaid bin ‘Umair, Hammad bin Sulaiman, Ibn Sirin, Ibn ‘Aun, Imam Malik,
as-Syafii dan Ashhab ar-Ra’y[Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/387-388].
Dalam riwayat lain, Imam Ahmad menyatakan, bahwa bangsa Arab
non-Quraisy tidak kafa’ah dengan Quraisy. Non-Bani Hasyim juga tidak kafa’ah dengan
Bani Hasyim. Pendapat Imam Ahmad ini bisa dimengerti, karena menggunakan Mazhab
Sahabat sebagai dalil. Ini juga merupakan pendapat pengikut mazhab Syafii,
berdasarkan sabda Nabi saw:
إنَّ اللهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيْلَ، وَاصْطَفَى
مِنْ كِنَانَةَ قُرَيْشًا، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ،
وَاصْطَفَانِيْ مِنْ بَنِيْ هَاشِمٍ.
“Sesungguhnya Allah mengangkat Kinanah dari putra
Ismail, mengangkat dari Kinanah Quraisy, mengangkat dari Quraisy Bani Hasyim,
dan mengangkat aku dari Bani Hasyim.” [HR. Muslim]
Pendapat pengikut mazhab Syafii ini sama dengan pendapat Abu
Hanifah. Beliau berkata, “Orang non-Arab tidak kafa’ah dengan orang Arab.
Orang Arab tidak kafa’ah dengan Quraisy. Semua kaum Quraisy itu kafa’ah.”
Namun, sekali lagi, dalam riwayat lain, Imam Ahmad
menyatakan sebaliknya, bahwa bangsa Arab satu dengan yang lain sama-sama kafa’ah.
Bangsa non-Arab juga demikian, satu dengan yang lain, juga sama-sama kafa’ah.
Alasannya, karena Nabi saw. telah menikahkan kedua putrinya dengan ‘Utsman.
Baginda saw. juga menikahkan putrinya, Zainab binti Muhammad saw. dengan Abu
al-‘Ash bin ar-Rabi’. Padahal, keduanya berasal dari Bani ‘Abdi Syam, bukan
dari Bani Hasyim. ‘Ali bin Abi Thalib juga telah menikahkan ‘Umar dengan
putrinya, Ummu Kaltsum, dengan ‘Umar bin Khatthab. Meski ‘Umar bukan dari Bani
Hasyim. Begitu juga ‘Abdullah bin ‘Amru bin ‘Utsman telah menikahi Fatimah
binti al-Husain bin ‘Ali, sedangkan Mush’ab bin az-Zubair menikahi saudara
Fatimah, Sukainah. Miqdad bin al-Aswad menikahi Shuba’ah binti az-Zubair bin
‘Abdul Muthallib, putri paman Nabi saw. Padahal, keduanya berbeda nasabnya [Ibn
Qudamah, al-Mughni, Juz IX/392-393].
Karena itu, pendapat yang menyatakan kewajiban kafa’ah bagi
pasangan suami-isteri, di kalangan fuqaha’ adalah pendapat syar’i,
setidaknya jika mazhab yang menyatakannya menggunakan Mazhab Sahabat sebagai
dalil. Sebagaimana Imam Ahmad, misalnya. Namun, jika mazhab tersebut tidak
menggunakan Mazhab Sahabat sebagai dalil, seperti pengikut mazhab Syafii, maka
pendapat ini tentu bukan pendapat syar’i. Dengan catatan, jika pendapat
tersebut didasarkan pada Mazhab Sahabat.
Namun, jika pendapat tersebut didasarkan pada hadits lain,
yaitu “Sesungguhnya Allah mengangkat Kinanah dari putra Ismail, mengangkat
dari Kinanah Quraisy, mengangkat dari Quraisy Bani Hasyim, dan mengangkat aku
dari Bani Hasyim.” [HR. Muslim], sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah,
maka hadits ini tidak menunjukkan kewajiban kafa’ah pasangan suami-isteri.
Dengan demikian, pendapat yang paling kuat, adalah pendapat yang menyatakan,
bahwa kafa’ah tersebut bukan syarat, juga bukan kewajiban bagi
pasangan suami-isteri.
Masalah Agama dan Kerelaan Bukan Masalah Kafa’ah
Mengenai faktor agama yang dijadikan ukuran kafa’ah antara
suami-isteri, sebagaimana pendapat Imam Ahmad, Syafii, Malik dan Abu Hanifah,
dalam hal ini Imam Malik berkata, “Kafa’ah hanya dalam masalah agama,
bukan yang lain.” Sebagaimana firman Allah SWT:
أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لاَ يَسْتَوُوْنَ
“Apakah sama orang yang beriman dengan orang yang fasik,
tentu mereka tidak sama.” [Q.s. as-Sajdah: 18]
Ibn al-Mundzir menukil dari al-Buwaithi, bahwa Imam
as-Syafii berkata, “Kafa’ah itu dalam agama.”Pendapat ini juga dinyatakan
dalam kitab Mukhtashar al-Buwaithi. Dalam kitab Fath al-Bari,
beliau menyatakan, “Kafa’ah dalam agama yang diakui merupakan perkara yang
disepakati. Maka, tidak halal seorang wanita Muslimah bagi lelaki Kafir.” [as-Syaukani, Nail
al-Authar, hal. 1197]
Mengenai perbedaan agama ini, menurut al-‘Allamah al-Qadhi
Taqiyuddin an-Nabhani, sebenarnya ini bukan pembahasan tentang kafa’ah.
Tetapi, ini merupakan pembahasan tentang pernikahan kaum Muslim dengan
non-Muslim. Ini tentu merupakan pembahasan lain. Hal yang sama juga terkait
dengan kefasikan seseorang, ini sebenarnya tidak terkait dengan masalah kafa’ah.
Tetapi, masalah pilihan dan kerelaan.
Imam as-Syafii menyatakan, bahwa asal muasal kafa’ah dalam
pernikahan, sebenarnya adalah hadits Barirah [as-Syaukani, Nail
al-Authar, hal. 1197]. Dalam hal ini, Barirah, budak wanita, menikah dengan
sesama budak. Ketika Barirah dimerdekakan, sementara suaminya masih menjadi
budak, maka dia diberi pilihan, apakah mau tetap menjadi isteri budak tersebut,
atau membatalkan nikahnya. Diriwayatkan dari al-Qasim dari ‘Aisyah, bahwa
Barirah ketika itu masih menjadi isteri dari seorang budak. Ketika dia
dimerdekakan, Rasulullah saw. bersabda kepadanya, “Kamu pilih, jika kamu
mau, maka kamu tetap menjadi isteri budak ini. Jika kamu mau, kamu bisa
meninggalkannya.” [HR. Ahmad]. Dalam riwayat Muslim dari ‘Urwah dari
‘Aisyah, “Barirah telah dimerdekakan. Suaminya tetap menjadi budak.
Rasulullah saw. memberikan pilihan kepadanya. Kalau suaminya sudah merdeka,
baginda saw. tidak akan memberikan pilihan kepadanya.”
Jadi, pilihan yang diberikan Nabi saw. kepada Barirah tidak
terkait dengan masalah kafa’ah atau tidak, melainkan terkait dengan
status suaminya yang masih menjadi budak, dan konsekuensi Barirah menjadi
isteri budak. Karena itu, ‘Aisyah berkomentar, “Kalau suaminya sudah
merdeka, baginda saw. tidak akan memberikan pilihan kepadanya.” [Hr.
Muslim].
Dari sini bisa dipahami, bahwa diberikannya pilihan kepada
Barirah untuk bertahan menjadi isteri budak, atau tidak, merupakan bukti yang
kuat, bahwa ini masalah pilihan. Tidak terkait dengan rusak dan tidaknya akad
pernikahannya, karena tidak kafa’ah. Ini berbeda dengan perbedaan agama,
karena ini bukan masalah pilihan. Dalam kasus suami murtad, misalnya, jelas
status pernikahannya batal (fasakh). Begitu juga wanita Muslimah dengan pria
non-Muslim, baik Kristen, Yahudi, Hindu, Budha maupun yang lain. Dengan atau
tanpa keputusan pengadilan, status pernikahan pasangan ini jelas batal.
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Status Hadits Kafa’ah