Sebagaimana ramai diberitakan, Kemenkominfo memblokir 19
media Islam online sejak Minggu (29/3). Pemblokiran itu didasarkan
pada laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Oleh BNPT, semua
situs Islam tersebut dituding menyebarkan paham radikal (Antaranews.com, 1/4).
Reaksi keras dari berbagai pihak bermunculan. Pemblokiran
itu dianggap serampangan dan terkesan menyasar dakwah Islam.
Karena reaksi keras masyarakat, Kemenkominfo dan BNPT
akhirnya terkesan saling lempar tanggung jawab dan tak mau disalahkan.
Kemenkominfo mengaku hanya pelaksana teknis pemblokiran. Pemblokiran dilakukan
karena usulan dari BNPT. Sebaliknya, Kepala BNPT Saud Usman menyatakan, BNPT
hanya melaporkan bahwa ada berita-berita yang dianggap negatif seperti terkait
radikalisme kepada Kemenkominfo (Jawapos.com, 5/4).
Tontonan ini menyiratkan cara Pemerintah mengatur negeri ini
amburadul. Tontonan ini melengkapi tontonan serupa dalam banyak masalah yang
terjadi di era rezim Jokowi-JK yang baru berlangsung enam bulan ini, termasuk
dalam kasus baru-baru ini yaitu tunjangan pembelian mobil untuk pejabat.
Sewenang-wenang dan Zalim
Pemblokiran situs-situs Islam itu menjadi pertanda buruk
bagi kembalinya bibit-bibit kebijakan represif (sewenang-wenang) ala Orde Baru.
Pemerintah juga terlihat bertindak otoriter (kejam). Pemerintah seharusnya
mengedepankan dialog sebelum memblokir situs yang dituding sebagai penyebar
ajaran radikal itu. Sayang, atas nama memberantas ISIS, Pemerintah langsung
secara sewenang-wenang memblokir situs-situs Islam tanpa peringatan dan dialog
terlebih dulu. Padahal kebanyakan situs Islam yang diblokir adalah situs dakwah
Islam biasa. Sebagiannya malah menentang paham dan tindakan ISIS.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie berpendapat, saat ini
Pemerintah terkesan “main sikat” tanpa melakukan kajian terlebih dulu (Kompas.com,
1/4).
Pemblokiran situs-situs itu juga dinilai tidak tepat.
Pengamat masalah cyber, Fami Fahruddin, menilai pernyataan BNPT soal
alasan pemblokiran situs yang dianggap radikal masih lemah. Pasalnya, hal itu
tidak berdasarkan pada aturan yang sesuai (Liputan6.com, 4/4).
Pemblokiran situs didasarkan pada penilaian sepihak dan
tanpa disertai dengan dialog tentang kriteria kriteria situs radikal atau yang
berisi radikalisme. Hal itu diakui oleh Kepala BNPT Saud Usman. Menurut dia,
seperti dikutip Beritasatu.com (5/4), ternyata definisi radikal
ataupun terorisme sesungguhnya belum jelas. Anehnya, berbekal pada pengertian
radikal yang dia akui subjektif itu, BNPT mengambil langkah tegas untuk meminta
pemblokiran dengan pertimbangan mengerem penyebaran paham radikal. Saud mengungkapkan,
suatu situs dipandang bermuatan negatif jika menyebarkan paham anarkis seperti:
terorisme; mengandung unsur SARA, mengandung penyebaran paham-paham takfiri (mengkafirkan
pihak lain); berkaitan dengan organisasi radikal; serta mengandung unsur-unsur
kebencian, kekerasan, ancaman dan anjuran untuk berjihad.
Bisa dikatakan, dengan itu Pemerintah melalui BNPT ingin
memaksakan satu bentuk penafsiran versi mereka terhadap masyarakat. Tafsiran
itu lalu dijadikan dasar melakukan tindakan hukum oleh Pemerintah. Padahal
justru tindakan seperti itu yang selama ini dinilai radikal, yakni memaksakan
penafsiran sendiri terhadap pihak lain. Jika begitu, ke depan bisa jadi, asal
ada kata tertentu yang dinilai sebagai konten negatif, situs atau lembaga
pemberitaan lainnya ditindak begitu saja.
Bahkan jika keterusan, dengan dalih memberantas radikalisme,
tidakan pemberangusan media ini bisa dijadikan alat untuk membungkam sikap
kritis terhadap Pemerintah dan terhadap berbagai kezaliman yang dilakukan oleh
negara-negara penjajah, khususnya di negeri-negeri Islam.
Peluang hal itu terjadi ada. Irfan Idris dari BNPT (Republika,
2/4/15) menyatakan bahwa menunjukkan kebencian kepada Pemerintah juga masuk
kategori radikal. Di salah satu televisi swasta pada Rabu (1/4) pagi, Irfan
Idris menambahkan, pemberitaan soal kemiskinan dan arogansi negara adidaya juga
bisa memicu radikalisme.
Tak salah kiranya jika pemblokiran situs-situs Islam dengan
alasan radikalisme itu membawa pertanda buruk bagi kembalinya bibit-bibit
tindakan represif (sewenang-wenang) dan otoriter (kejam) yang dilakukan oleh
Pemerintah. Juga tak berlebihan jika dikhawatirkan semua itu akan dijadikan
alat untuk membungkam suara-suara kritis terhadap kebijakan Pemerintah yang
zalim.
Waspadai ‘Monsterisasi’ dan Kriminalisasi Dakwah Islam
Kebijakan Pemerintah yang sewenang-wenang di atas juga
dikhawatirkan akan menjadi semacam proses ‘monsterisasi’ dan kriminalisasi
ajaran dan dakwah Islam. Monsterisasi terjadi karena pemblokiran situs-situs
Islam itu dikhawatirkan akan membangun gambaran negatif tentang Islam dan
ajaran Islam. Akibatnya, di masyarakat akan tertanam kesan bahwa Islam dan
ajarannya seolah monster yang menakutkan.
Tindakan sewenang-wenang Pemerintah juga akan menambah
daftar kriminalisasi terhadap ajaran, simbol dan dakwah Islam. Hanya karena
membawa bendera tauhid, misalnya, orang dicap sebagai simpasitan ISIS. Hanya
karena memakai cadar, Muslimah dicurigai sebagai anggota kelompok radikal.
Hanya karena menyuarakan syariah dan Khilafah, mereka yang menyuarakan itu
dianggap sebagai ancaman.
Jihad pun, sebagai bagian dari ajaran Islam, dianggap
sebagai kejahatan. Salah satu kriteria radikal ala BNPT adalah memaknai jihad
secara terbatas. Dengan kriteria itu, jihad dalam makna perang dan seruan untuk
itu dianggap sebagai kriminal. Padahal jihad dalam kitab-kitab fikih para fuqaha secara syar’i dimaknai perang di
jalan Allah SWT untuk meninggikan kalimat-Nya baik langsung atau tak langsung.
Memang benar, secara bahasa jihad bermakna mengerahkan segenap daya upaya.
Namun, menjadikan makna bahasa itu sebagai makna jihad secara syar’i justru
akan membelokkan konsep jihad. Sebab, jihad itu berkaitan dengan banyak hukum
termasuk hukum tentang syahidnya orang yang meninggal di dalam jihad. Tidak ada
seorang pun ulama yang menilai orang yang meninggal ketika bekerja keras
mencari nafkah, atau menuntut ilmu, atau menahan hawa nafsu sebagai orang yang
mati syahid, meski sekadar syahid akhirat sekalipun.
Memaknai jihad secara syar’i sebagai perang di
jalan Allah tidak serta-merta menjadikan orang melakukan tindak kekerasan.
Pasalnya, banyak hukum dan ketentuan syariah yang menjelaskan bagaimana jihad
itu dilaksanakan. Menyimpulkan bahwa pemaknaan jihad sebagai perang akan
mengantarkan orang melakukan kekerasan merupakan kesimpulan yang sembrono jika
tidak dikatakan bodoh.
Lebih dari itu, jihad dalam arti perang itu
pada faktanya berperan besar dalam kemerdekaan negeri ini. Semangat jihadlah
yang dulu mengobarkan perlawanan umat Islam terhadap penjajah. Resolusi Jihad
yang dikumandangkan oleh Hadhratusy-Syaikh KH Hasyim As’ariy pada November 1945
dulu adalah juga jihad dalam makna perang. Resolusi Jihad itu membangkitkan
semangat umat Islam sehingga bisa mengalahkan penjajah kala itu. Andai Resolusi
Jihad itu tidak dimaknai perang, entah sejarah besar itu terjadi atau tidak,
bahkan entah negeri ini merdeka atau tidak.
Pemblokiran situs Islam dan propaganda besar-besaran seputar
radikalisme itu juga akan berpotensi menjadi ‘monsterisasi’ dan kriminalisasi
yang berdampak pada umat Islam. Hal itu akan bisa membuat umat Islam merasa
takut untuk sekadar ikut pengajian, misalnya, karena takut dicap radikal.
Lebih buruk lagi jika akhirnya kriminalisasi itu kebablasan,
misalnya dengan menganggap seruan penerapan syariah dan penegakan Khilafah
ar-Rasyidah sebagai ancaman.
Padahal Islam ini diturunkan agar menjadi rahmat[an] lil
‘alamin. Allah SWT berfirman:
]وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ[
Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk
menjadi rahmat bagi semesta alam (TQS al-Anbiya’ [21]: 107)
Rahmat[an] lil ‘alamin itu menjadi sifat dari Islam
secara keseluruhan; akidah, syariah dan hukum-hukumnya termasuk khilafah,
jihad, hudud, dll. Karena itu rahmat[an] lil ‘alamin secara
sempurna hanya akan terwujud ketika Islam secara keseluruhan diterapkan secara
nyata di tengah-tengah kehidupan. Penerapan Islam secara menyeluruh itu tidak
lain melalui Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-Nubuwwah. Dengan demikian
justru penerapan syariah secara totalitas dalam institusi Khilafah ar-Rasyidah ‘ala
minhaj an-Nubuwwah itulah yang harus diperjuangkan untuk mewujudkan rahmat[an]
lil ‘alamin. Ketika itu terjadi, keberkahan akan benar-benar meliputi negeri
dari segala sisi.
]وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا
عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ… [
Jika saja penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi… (TQS
al-A’raf [7]: 96).