Tanya :
Ustadz, mohon jelaskan hukum syariah seputar cincin?
Benarkah ada hadits yang menerangkan keutamaan cincin akik? Bolehkah
mempercayai bahwa cincin mempunyai khasiat tertentu? (Hamba Allah,
Makassar).
Jawab :
Di antara hukum syariah tentang cincin sbb :
1) ulama
sepakat boleh hukumnya perempuan memakai cincin emas, sedang bagi laki-laki
hukumnya haram. (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 14/65). Dalil
keharamannya bagi laki-laki, sabda Nabi SAW, ”Sesungguhnya dua benda ini [kain
sutra dan emas] haram atas umatku yang laki-laki dan halal bagi umatku yang
perempuan.” (HR Tirmidzi & Nasa`i, hadits shahih).
2) Ulama sepakat boleh hukumnya perempuan memakai cincin
perak. Sedang bagi laki-laki, adakhilafiyah di kalangan ulama. Ulama
Hanafiyah dan Syafi’iyah mensunnahkan, dengan dalil Nabi SAW telah memakai
cincin perak. Adapun ulama mazhab Hanabilah dan Malikiyah sekadar membolehkan,
tak menyunnahkan. Pendapat yang rajih (kuat), yang membolehkan.
Karena dalam perbuatan Nabi SAW itu tak terkandung maksud taqarrub/ibadah (qashdul
qurbah), sehingga hukumnya mubah, bukan sunnah. (Ibnu Taimiyyah, Majmu’ul
Fatawa, 1/280).
3) Boleh hukumnya laki-laki dan perempuan memakai cincin
dari besi, tembaga (nuhas), dan timah (rashash), tanpa disertai kemakruhan. (Asna
Al Mathalib, 1/278).
4) Boleh hukumnya laki-laki memakai cincin dengan batu mata
(al fash) berupa batu mulia, seperti batu ruby (yaqut), zamrud (emerald),
fairuz (turquoise), dsb. Imam Ibnu Hazm berkata, ”Berhias dengan perak, mutiara
(lu’lu’), yaqut, dan zamrud, halal dalam segala keadaan bagi kaum laki-laki dan
perempuan.” (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 10/86).
5) Boleh memakai cincin di tangan kanan atau kiri, tapi
yang afdhal menurut Imam Ahmad, Syafi’i, dan Al Baihaqi adalah di tangan kiri,
karena Nabi SAW memakai cincin di tangan kiri. Sedang hadits bahwa Nabi SAW
memakai cincin di tangan kanan, menurut Imam Al Baihaqi, sudah dinasakh karena
waktu itu cincin yang dipakai adalah cincin emas ketika belum turun larangan memakainya.
(Al Baihaqi, Al Jami’ fi Al Khatam, hlm. 29-30).
6) Makruh hukumnya memakai cincin di jari tengah (al wustha)
dan jari telunjuk (as sababah). (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim 14/71).
Yang afdhal, memakai cincin di jari kelingking (al khinshar). Memakai di ibu
jari (ibham) dan jari manis (al binshir), boleh. (Ibnu Rajab, Ahkam Al
Khawatim, hlm. 94).
Mengenai hadits yang menjelaskan keutamaan cincin akik,
memang ada. Di antaranya hadits dari ‘A`isyah ra, bahwa Nabi SAW bersabda, ”Hendaklah
kamu memakai cincin akik, karena sesungguhnya dia diberkahi.” (takhattamuu bil
‘aqiiq fa-innahu mubaarak).” (HR Al Hakim & Al Baihaqi). Juga hadits dari
Anas ra, bahwa Nabi SAW bersabda, ”Hendaklah kamu memakai cincin akik, karena
sesungguhnya dia dapat menghilangkan kemiskinan.” (takhattamuu bil ‘aqiiq
fa-innahu yanfiy al faqra). (HR Imam Ibnu Rajab, dalamAhkam Al Khawatim).
Tapi hadits-hadits tersebut ternyata statusnya dha’if (lemah).
Demikian kesimpulan Imam Suyuthi dalamAl Jami’us Shaghir (1/129), Imam
Ibnu Rajab dalam Ahkamul Khawatim, hlm. 50, dan Imam Ibrahim An Naji dalam At
Ta’liq Al Watsiq fi At Takhattum bil ‘Aqiq, hlm. 10. Jadi tak ada hadits
yang secara khusus menerangkan keutamaan atau pahala atau kesunnahan memakai
cincin akik.
Namun tak berarti haram hukumnya memakai cincin akik. Karena
hukum cincin akik tetap mubah, sebab tak ada dalil yang mengharamkannya, sesuai
kaidah fiqih al ashlu fil asy`yaa` al ibahah maa lam yarid dalil at tahrim (hukum
asal benda adalah boleh selama tak ada dalil yang mengharamkan). (Nashir M. Al
Ghamidi, Libas Ar Rajul Ahkamuhu wa Dhawabithuhu, 1/435).
Mempercayai bahwa cincin memiliki khasiat tertentu, misalnya
memudahkan rezeki, untuk kewibawaan dsb, tidak boleh, karena tidak ada dalil
hadits shahih yang menjelaskannya. Kitab Al Mustathraf yang
membicarakannya, tak dapat dijadikan rujukan terpercaya. (Fatwa Al Lajnah Al
Da`imah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta`, no. 21469).
M.
Shiddiq al-Jawi
Sumber: Tabloid Mediaumat edisi 146