Di sela-sela peringatan ke-60 tahun Konferensi Asia-Afrika
(KAA), ada peristiwa yang akan langsung berpengaruh terhadap negeri ini dan
penduduknya. Peristiwa itu adalah kelanjutan dari hasil kunjungan Presiden
Jokowi ke Tiongkok dan Jepang. Dua kunjungan itu dibanggakan karena membawa oleh-oleh
berupa komitmen investasi dari Tiongkok dan Jepang yang sangat besar, mendekati
seribu triliun rupiah.
Di sela-sela KAA di Bandung itu, Jokowi melakukan pertemuan
dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.
Pertemuan tersebut dilanjutkan dengan pertemuan bilateral masing-masing. Hasil
pertemuan bilateral dengan Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xi Jinping,
Presiden Jokowi memastikan bahwa Tiongkok akan ikut berinvestasi dalam proyek
infrastruktur.
Cengkeraman Tiongkok
Dari situs Sekretariat Kabinet disebutkan, proyek
infrastruktur yang menggandeng Tiongkok antara lain pembangunan 24
pelabuhan, 15 bandara, pembangunan jalan sepanjang 1.000 km, pembangunan jalan
kereta api sepanjang 8.700 km, serta pembangunan pembangkit listrik
berkapasitas 35.000 megawatt (MW). Tiongkok juga akan terlibat dalam
pembangunan jalur kereta supercepat Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya (Kompas.com,
25/4)
Sebelumnya diberitakan, saat berkunjung ke Tiongkok,
Presiden Jokowi mendapatkan komitmen investasi yang besarnya mencapai 68,44
miliar dolar AS atau sekitar Rp 882,87 triliun.
Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan, lembaga keuangan
Tiongkok berencana memberikan pinjaman senilai 50 miliar dolar AS atau sekitar
Rp 645 triliun kepada sejumlah BUMN untuk menggarap proyek infrastruktur
Pemerintah. Sebesar 40 miliar dolar AS dari China Development Bank dan Industrial
and Commercial Bank of China untuk BUMN yang menggarap pembangunan jalan
tol Trans Sumatera. Sebesar 10 miliar dolar AS untuk PT PLN (Persero) demi
membiayai pembangunan transmisi listrik dan pembangkit.
Itu baru sebagian saja. Masih ada bidang lain seperti
infrastruktur lainnya, tambang, pembangunan smelter, pelayaran, transportasi
dan sebagainya. Jika rencana itu berjalan mulus, maka Tiongkok akan menguasai
infrastruktur di negeri ini.
Masih Diragukan
Pengamat kebijakan publik Universitas Sebelas Maret,
Surakarta, Agung Prabowo, menilai keputusan menggandeng Tiongkok harus
dipertanyakan. Menurut dia, selama ini beberapa pengadaan barang dan jasa yang
melibatkan Cina acapkali bermasalah. Salah satunya adalah proyek program
percepatan pembangunan pembangkit listrik bertenaga batubara, gas, dan energi terbarukan
atau fast track programme tahap 1. Pembangkit listrik yang dibangun
Tiongkok dalam proyek ini tak bisa berproduksi maksimal lantaran banyak
komponen usang. Selain itu pada kasus pengadaan Transjakarta, banyak unit yang
rusak dan berkarat.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas, Dedy Priatna,
juga pernah mengatakan, proyek pembangkit listrik tahap I yang dikerjasamakan
dengan Tiongkok hampir 90 persen rampung. Namun, kapasitas produksi listrik itu
hanya 30%-50% saja. Ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pembangkit
listrik yang dibangun kontraktor Jerman, Prancis, dan Amerika yang bisa
mencapai 75%-80% (Bisniskeuangan.kompas.com, 25/4).
Cengkeraman Asing Total
Dominasi proyek infrastruktur oleh Tiongkok yang dimasukkan
dan dijalankan melalui rezim Jokowi itu akan membuat cengkeraman asing Timur
menancap di negeri ini. Cengkeraman oleh Timur itu melengkapi cengkeraman oleh
Barat yang sudah lebih dulu menancap kuat dan terus diperdalam.
Sejak awal era Orde Baru, Barat terutama AS dan diikuti oleh
Eropa telah mencengkeram negeri ini dan mengeruk kekayaannya. Hal itu dilakukan
melalui investasi korporasi-korporasi multinasional mereka, khususnya di sektor
hulu pengelolaan SDA seperti tambang, migas, hutan, dsb.
Selain itu, secara politik dan kedaulatan, negeri ini
dikendalikan melalui utang luar negeri yang terus menggunung. Awalnya melalui
CGI dan IGGI. Saat kedua lembaga itu dibubarkan, perannya digantikan oleh IMF
dan Bank Dunia.
Hasil dari penjajahan gaya baru di era Orde Baru itu, pengelolaan
berbagai sumberdaya alam khususnya di sektor hulu dikuasai asing. Mayoritas
tambang, migas dan hutan negeri ini dikuasai asing. Rakyat negeri ini akhirnya
seolah menjadi tamu di negeri sendiri dalam hal pengelolaan SDA. Hasil kekayaan
alam itu pun mengalir deras kepada pihak asing dan hanya menetes kepada
penduduk negeri ini.
Cengkeraman dan dominasi asing itu makin dalam sejak masuk
era Reformasi. Melalui utang luar negeri, negeri ini benar-benar dikendalikan
asing. Akibatnya, hampir semua sistem di negeri ini dibentuk sesuai pesanan,
permintaan atau bahkan perintah dari asing melalui IMF dan Bank Dunia. Hal itu
melalui peraturan perundangan, mulai amandemen konstitusi hingga pembuatan
berbagai undang-undang. Melalui Letter of Intent (LoI), IMF mendekte negeri ini
untuk membuat berbagai undang-undang di bidang politik, sosial, pertahanan dan
keamanan, pendidikan, ekonomi, finansial, dan sebagainya. Bahkan untuk mengawal
semua itu, asing terlibat hingga hal teknis melalui utang, program, bantuan dan
asistensi teknis. Semua itu bisa dibaca di dalam dokumen LoI dan berbagai utang
yang diberikan. Hasilnya, sistem di negeri ini betul-betul bercorak neoliberal.
Neoliberalisme itu pada akhirnya makin melempangkan jalan bagi penjajahan gaya
baru (neoimperialisme) atas negeri ini.
Khusus di bidang ekonomi, negeri ini didekte untuk membuat
berbagai UU bercorak neoliberal. Subsidi dihilangkan. BUMN dijual. Utang terus
ditumpuk. Pajak terus ditingkatkan. Di sektor migas dan pengelolaan SDA, dengan
berbagai UU, sektor hilir (pengolahan, distribusi dan eceran) pun
diliberalisasi. Contoh nyata adalah di sektor migas. Di bidang investasi, semua
sektor dibuka untuk investasi asing. Kepemilikan asing dibolehkan hingga lebih
dari 90 persen. Asing pun boleh melakukan repatriasi, yaitu langsung
mengirimkan kembali keuntungan yang mereka dapat di negeri ini ke negara asal
mereka.
Barat (AS dan Eropa) betul-betul memanfaatkan itu untuk
lebih mendominasi negeri ini khususnya di sektor pengelolaan SDA, finansial
(perbankan, asuransi, dsb), jasa, consumer good, dan sebagainya. Masih ada
satu sektor yang belum dijarah oleh Barat, yaitu infrastruktur dan fasilitas
publik. Namun, dengan berbagai UU, sektor infrastruktur itu pun terbuka luas
dan mudah dijadikan incaran.
Dalam hal itulah, investor asing dari timur melihat
kesempatan. Entah kebetulan atau tidak, keinginan itu seolah bersambut dengan
ambisi rezim Jokowi. Sekarang melalui apa yang baru diumumkan, asing timur
mulai menancapkan kuku cengkeramannya atas infrastruktur negeri ini.
Hal itu sangat berbahaya. Pertama: Jika nanti
infrastruktur, pelabuhan, bandara, jalan, transportasi, pelayaran, pembangkit,
dsb dikuasai oleh mereka, maka rakyat negeri ini benar-benar hanya menjadi
obyek dan pasar.
Kedua: Meski asing itu dari Timur, bukan berarti mereka
berbeda dengan asing dari Barat. Tetap saja, seperti yang selama ini berjalan,
banyak dari investasi itu langsung kembali kepada mereka melalui impor
teknologi, metode, bahan, tenaga ahli dan sebagainya. Dalam proyek kereta
cepat, misalnya, jelas keretanya akan diimpor dari mereka.
Ketiga: Dengan alasan pengembalian investasi maka kekayaan
rakyat negeri ini akan mengalir kepada mereka dalam jangka panjang, setidaknya
untuk masa 30 tahun. Hal itu melalui pembayaran utang dan bunganya, juga
pembayaran atas penggunaan infrastruktur itu.
Keempat: Rakyat negeri ini juga akan terbebani dengan pajak
yang makin tinggi. Pasalnya, beban negara termasuk pembayaran utang dan bunga
juga makin tinggi, sementara negara makin kehilangan sumber-sumber pemasukan,
selain pajak.
Wahai Kaum Muslim:
Itulah yang juga ada di belakang investasi asing Timur
(Tiongkok, Jepang, dsb) di bidang infrastruktur. Ada bahaya besar dan jangka
panjang yang turut dibawa. Ini akan melengkapi dominasi asing atas negeri ini.
Akibatnya, hampir tak tersisa lagi bidang kehidupan negeri ini yang tidak
didominasi asing. Dengan itu pula, penjajahan gaya baru atas negeri ini akan
makin dalam.
Tentu semua itu tidak boleh dibiarkan. Sebab, kaum Muslim
diharamkan memberikan jalan kepada orang kafir untuk bisa mendominasi dan
menguasai kaum Mukmin. Allah SWT berfirman:
وَلَن يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada
orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]:
141).
Tentu tak selayaknya kaum Muslim negeri ini rela menjadi
bulan-bulanan neoliberalisme dan neoimperialisme baik dari asing barat maupun
asing timur. Jalan untuk menyudahi neoliberalisme dan neoimperialisme itu
hanyalah dengan kembali pada petunjuk Allah SWT, yaitu dengan menerapkan
syariah Islam secara menyeluruh di bawah naungan sistem Khilafah ar-Rasyidah
yang mengikuti manhajkenabian.
Sumber: Al-Islam edisi 754, 12 Rajab 1436 H – 1 Mei 2015 M