Pada kesempatan kali ini akan dibahas mengenai fenomena wanita yang memutuskan untuk bekerja di luar rumah. Bagaimanakah Islam memandang permasalahm ini? Jika diperbolehkan, adakah syarat-syaratnya?
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Quran, suarat
Al-Qashashash: 23-26,
وَلَمَّا وَرَدَ مَاء مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِّنَ
النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا
خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاء وَأَبُونَا شَيْخٌ
كَبِيرٌ (*) فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي
لِمَا أَنزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ (*) فَجَاءتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي
عَلَى اسْتِحْيَاء قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا
سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ
نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ (*) قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ
اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan, ia
menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia
menjumpai di belakang orang banyak itu ada dua orang wanita yang sedang
menghambat (ternaknya). Musa berkata, ‘Apakah maksudmu (dengan berbuat at
begitu)?’ Kedua wanita itu menjawab, ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak
kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan
ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usia.’ Maka Musa memberi minum
ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh
lalu berdoa, ‘Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu
kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.’ Kemudian salah seorang dari kedua
wanita itu berjalan malu-malu ke arah Musa; ia berkata, ‘Sesungguhnya ayahku
memanggilmu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum
(ternak) kami.’ Maka tatkala Musa mendatangi ayahnya (Syu’aib) dan menceritakan
kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata, ‘Jangan takut. Kamu telah
selamat dari orang-orang yang zalim itu.’ Salah seorang dari kedua wanita itu
berkata, ‘Wahai Ayah, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita),
karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’” (QS. Al-Qashahsh: 23-26)
Menurut pendapat ulama Ushul Fiqih yang paling kuat, syariat
umat sebelum kita – yang diceritakan Allah dalam Al-Quran dan hadits yang
shahih – bisa menjadi dalil selama syariat itu tidak bertentangan dengan
syariat baku yang ada dalam syariat kita. Di dalam kutipan ayat di atas, yang isinya
adalah peristiwa di masa umat terdahulu, kita menjumpai beberapa etika ketika
seorang wanita bekerja di luar rumah.
Pertama, keadaan memaksa harus bekerja di luar rumah.
Dalam ayat di atas, Allah sampaikan bahwa dua wanita – yang
merupakan anak seorang lelaki tua di negeri Madyan – bekerja di luar rumah
dengan cara menggembalakan hewan ternak, karena terpaksa oleh suatu keadaan,
yaitu ayahnya sudah terlalu tua. Keadaan seperti itu membuat sang ayah tidak
mampu bekerja menggembalakan hewan ternak dan tidak dijumpai seorang lelaki pun
yang bisa dipekerjakan untuk keperluan itu. Oleh karenanya, ketika mereka
menjumpai lelaki yang bisa dipekerjakan untuk itu, yaitu pemuda yang bernama
Musa, kedua wanita tersebut meminta ayahnya untuk mengangkat Musa sebagai
karyawannya.
Demikian sepatutnya sikap seorang muslimah. Bekerja di luar
rumah hanya ia lakukan dalam kondisi terpaksa, semisal ketika tidak ada
laki-laki yang menafkahi karena hidup menjanda dan laki-laki yang menjadi
walinya tidak peduli dengan kewajibannya menafkahi si wanita yang ada di bawah
perwaliannya. Terkecualikan dalam hal ini, pekerjaan yang memang semestinya
ditanganni oleh wanita karena terkait kebutuhan sesama wanita, misalnya menjadi
bidan, dokter spesialis kandungan, guru sesama wanita, dan lain-lain.
Kedua, semaksimal mungkin menghindari lingkungan kerja yang
ikhtilat atau bercampur-baur dengan lawan jenis.
Dalam shalat, terlarang terjadi ikhtilat dengan lawan jenis.
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan bahwa sebaik-baik
shaf laki-laki adalah yang paling depan, sedangkan sebaik-baik shaf wanita
adalah yang paling belakang. Ringkasnya, posisi yang makin jauh dengan lawan
jenis adalah makin baik. Jika ikhtilat atau campur-baur saat shalat di masjid –
yang semestinya ketika itu orang bersih dari pikiran yang tidak-tidak saja
terlarang – apalagi ikhtilat di luar masjid dan tidak dalam aktivitas ibadah.
Menghindari ikhtilat di lingkungan kerja telah dicontohkan
oleh dua wanita tersebut. Buktiknya, mereka tidak mau berbaur dan
berdesak-desakan dengan para lelaki untuk memberi minum hewan ternaknya. Kedua
wanita itu lebih memilih mengalah dengan menunggu bubarnya laki-laki dan
sepinya sumber air tersebut dari penggembala lelaki. Padahal pilihan ini sangat
berisiko, karena boleh jadi sumber air tersebut habis seiring bubarnya para
penggembala lelaki. Mungkin karena pertimbangan ini, pemuda Musa – ketika itu
Musa belum diangkat sebagai Nabi – tergerak utnuk membantu kedua wanita
tersebut.
Subhanallah, keteladanan luar biasa dari dua wanita ini akan
pentingnya menghindari ikhtilat dalam dunia kerja bagi wanita. Betapa banyak
lingkungan kerja yang ikhtilat hingga menjadi ladang dosa, berupa senda gurau
yang nyerempet-nyerempet bahaya, berduaan dengan lawan jenis, bahkan perselingkuhan
dan perzinaan berawal dari sini. Pekerjaan dengan penghasilan yang pas-pasan di
lingkungan yang tidak ikhtilat – insya Allah – lebih berkah dibandingkan
bekerja dengan gaji besar namun penuh ikhtilat.
Ketiga, menjaga sikap dan rasa malu ketika berinteraksi
dengan lawan jenis di dunia kerja.
Hal ini Allah tegaskan dalam ayat di atas. Allah sampaikan
bahwa putri kampung Madyan itu berjalan dengan penuh rasa malu. Tentang maksud
perkataan “berjalan dengan penuh rasa malu”, Ibnu Katsir – dalam tafsirnya – mengutip
perkataan Umar bin Al-Khattab, “Wanita tersebut menutupi wajahnya dengan lengan
bajunya.” Umar juga mengatakan, “Dia berjalan dengan penuh rasa malu. Dia
tutupi wajahnya dengan kainnya. Dia bukanlah wanita yang ‘berani’, sering
keluar-masuk rumah (banyak beraktivitas di luar rumah).” (Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Hatim dan sanadnya dinilai shahih oleh Ibnu Katsir)
Perkataan Umar ini menunjukkan manfaat dan pentingnya
menutupi wajah. Terlepas dari silang-pendapat di antara para ulama mengenai
hukum menutupi wajah bagi wanita muslimah, yang jelas sebagaimana penjelasan
Umar di atas, menutupi wajah adalah bukti kuat besarnya rasa malu yang dimiliki
oleh seorang wanita. Wanita itu bernilai manakala memiliki rasa malu. Tanpa
rasa malu yang tinggi, wanita tidak akan bernilai. Umar juga menyampaikan dua
hal yang buruk bagi seorang wanita, yatu “berani” (tidak punya malu) dengan
laki-laki ajnabi (lelaki yang bukan mahramnya) dan suka keluar-masuk rumah
(punya banyak aktivitas di luar rumah).
Wanita yang terpaksa harus bekerja di luar rumah memiliki
kewajiban untuk menjaga rasa malu ketika berinteraksi dengan lawan jenis. Itu
dibuktikan dengan memakai pakaian yang memenuhi kriteria pakaian seorang
muslimah serta melaksanakan adab dan etika interaksi dan komunikasi dengan
lawan jenis.
Inilah tiga etika penting yang semestinya dilaksanakan oleh
setiap wanita yang harus bekerja di luar rumah. Etika lain yang perlu
diperhatikan adalah bekerja dengan seizin suami dan pekerjaan di luar rumah
tersebut tidak menyebabkan terlantarnya kewajiban pokok, yaitu menjaga,
mengatur, dan merawat isi rumah suaminya.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar; Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسئولة عنهم
“Seorang wanita adalah penanggung jawab atas rumah suaminya
dan anaknya. Dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kondisi anak-anak dan
suaminya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Oleh: Ustadz Aris Munandar, M.P.I.
Disalin dari majalah Usroti, Edisi 9, Thn. 1.
Dipublikasikan ulang oleh WanitaSalihah.Com, dengan
pengeditan bahasa.