Pada saat ini mungkin banyak diantara kita yang mendengar atau membicarakan kata bid'ah, namun pernahkah kita tau apa definisi dari bid'ah itu sendiri? ataukah kita hanya ikut-ikutan saja menyebutnya tanpa tahu definisi dari bid'ah itu sendiri?
Perlu diingat definisi itu penting dan menjadi dasar sebuah makna yang akan kita gunakan, karenanya memahami definisi dari sebuah masalah menjadi penting sebab jika salah dalam memahami definisi maka salah-lah semua maksud yang kita tangkap.
Perlu diingat definisi itu penting dan menjadi dasar sebuah makna yang akan kita gunakan, karenanya memahami definisi dari sebuah masalah menjadi penting sebab jika salah dalam memahami definisi maka salah-lah semua maksud yang kita tangkap.
Ibnu sina pernah berkata "Tanpa definisi, kita tidak akan pernah bisa sampai pada konsep."
Definisi bid'ah terbagi menjadi 2 yaitu secara bahasa dan secara syar'i dan dalam agama Islam jika sudah ada definisi secara syar'i maka gugurlah atau tidak menggunakan defiinisi secara bahasa lagi jika membahas persoalan terkait agama, dan berikut penjelasannya:
1. Bid‘ah Secara Etimologi (Bahasa)
Ibnu Manzhur berkata: “Bada‘asy syai-a, yabda‘uhu
bad‘an wabtada‘ahu; artinya menciptakan sesuatu atau mengawali penciptaan
sesuatu. Badda‘ar rakiyyah, artinya menggali sumur dan membuatnya. Al-Badii‘u dan al-bid‘u,
artinya sesuatu yang menjadi awal permulaan.
Dalam al-Qur-an disebutkan:
قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara
Rasul-Rasul.’” (QS. Al-Ahqaaf: 9)
Maksudnya, aku (Muhammad shallallaahu 'alaihi wasallam)
bukanlah Rasul pertama yang diutus; melainkan banyak Rasul-Rasul sebelumku yang
telah diutus pula.
Terdapat ungkapan: ‘Fulaanun bid‘in fii hadzal ‘amri,’ yang
artinya Fulan yang pertama kali melakukan perkara ini, tidak ada seorang pun
yang mendahuluinya. Maka dari itu, kata abda‘a, ibtada‘a, maupun tabadda‘a bermakna
melakukan perbuatan bid‘ah.
Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala :
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا
‘Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah.’ (QS.
Al-Hadiid: 27)
Ru’bah berkata dalam sya‘irnya:
"andaikata engkau benar bertakwa dan taat kepada Allah maka tidaklah benar
engkau ada-adakan perbuatan bid‘ah"
Lafazh badda‘ahu berarti menjatuhkan vonis bid‘ah
atas seseorang. Adapun Abda’ta syai-a, kalimat ini berarti kamu membuat
sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
Al-Badii’ adalah salah satu asma (nama) Allah, yang
bermakna Yang menciptakan dan mengadakan sesuatu dari ketiadaannya. Dialah
pencipta pertama sebelum segala sesuatu ada. Boleh juga dimaknai dengan mubdi’
(yang mengadakan); atau, makna asal dari kata bad‘al khalqa artinya yang
memulai penciptaan makhluk.
Allah Ta'ala adalah Al-Badii’ (Yang Maha Mencipta),
sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
‘Allah pencipta langit dan bumi.’ (QS. Al-Baqarah:
117)
Yakni, yang menciptakan dan yang mengadakan keduanya dari
ketiadaan. Dengan demikian, Allah adalah Yang Maha Mencipta lagi Maha
Mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
Kata siqaa‘u badii‘un, artinya tempat air yang baru.
Kalimat Abda‘atil ibilu berarti unta itu berlutut di tengah jalan karena lemah,
sakit, atau letih. Abda‘at hiya, artinya dia (perempuan) letih dan lemah.
Menurut satu pendapat, arti lafazh al-ibdaa’ adalah kelemahan yang disebabkan
oleh kepincangan atau cacat.
Terdapat pernyataan: ‘Ubdi‘a ubdi‘a bihi wa abda‘a,’ yang
artinya hewan tunggangan seseorang keletihan atau mogok (tidak dapat berjalan
lagi), sehingga menyebabkan orang itu tidak bisa melanjutkan perjalanan karena
punggung tunggangannya lelah atau tiba-tiba mendekam, yakni berhenti.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّي أُبْدِعَ بِيْ فَاحْمِلْنِي
“Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallaahu
'alaihi wasallam dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hewan
tungganganku mogok, maka tolong angkut aku.’ [HR. Muslim dalam Shahiih-nya
(III/1506, Kitab “al-Imaarah”, no. 1893)]
Maksudnya, perjalanan orang itu terputus karena hewan
tunggangannya keletihan. Seolah-olah, ia menganggap mogoknya hewan tunggangan
yang seharusnya terus berjalan itu sebagai sesuatu yang baru. Dengan kata lain,
terjadinya sesuatu di luar dugaan atau ia mengalami sesuatu di luar kebiasaan.”
[Lihat Lisaanul ‘Arab karya Ibnul Manzhur (VIII/6-8)].
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud
dengan kata bada‘a adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya,
secara umum. Ibdaa‘ul ibil, yang berarti keletihan dan kelesuan unta, juga
merupakan sesuatu yang baru mengingat kebiasaan unta adalah terus-menerus
berjalan. Dengan demikian, kata bid‘ah adalah kata benda turunan dari kata
al-ibtida’, seperti halnya kata rif‘ah yang merupakan kata benda turunan dari
kata al-irtifa’, yaitu segala sesuatu yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya.
[Lihat al-Bid‘ah karya Dr. Izzat Athiyyah (hlm. 157)].
2. Bid‘ah Secara Terminologi (Syar'i)
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan bid‘ah
menurut terminologi syar‘i (istilah syari‘at). Ada yang menjadikannya sebagai
lawan dari sunnah; dan ada pula yang menjadikannya sebagai perkara umum, yang
mencakup semua perkara yang diada-adakan setelah zaman Rasul, baik yang terpuji
maupun yang tercela. Hal itu akan kami terangkan pada uraian berikut ini.
Pendapat pertama:
Segala sesuatu yang diada-adakan setelah zaman Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam adalah bid‘ah, baik yang terpuji maupun yang
tercela.
Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi‘i, al-‘Izz bin ‘Abdis
Salam, al-Qarafi, al-Ghazzali dalam kitab al-Ihyaa’, Ibnul Atsir dalam kitab
an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Aatsar, an-Nawawi dalam Syarh Shahiih
Muslim. [Lihat Syarh Shahiih Muslim karya an-Nawawi (VI/154-155)
Harmalah bin Yahya meriwayatkan bahwa ia mendengar Imam
asy-Syafi‘i berkata: “Bid‘ah itu ada dua, bid‘ah yang terpuji dan bid‘ah yang
tercela. Yang sesuai dengan sunnah Nabi itulah yang terpuji, sedangkan yang
bertentangan dengan sunnah Nabi itulah yang tercela.” [Lihat Hilyatul Auliyaa’
karya Abu Nu‘aim (IX/113). Lihat juga Fat-hul Baari (XIII/253)]
Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam berkata tentang definisi bid‘ah:
“Bid‘ah adalah amalan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah.” [Lihat
Qawaa-idul Ahkaam (II/172)].
Dalam hal ini mereka berpatokan pada perkataan yang
diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab , bahwa ia pernah berkomentar tentang
shalat Tarawih: “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini (maksudnya, shalat Tarawih
berjamaah).” [HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (Fat-hul Baari [IV/250], Kitab
“ash-Shalaatut Taraawiih”, no. 2010) dan Imam Malik dalam al-Muwaththa’
(I/114), dengan redaksi: “Inilah bid‘ah yang terbaik!”]
Pendapat kedua:
Kata bid‘ah hanya digunakan untuk menyebut amalan-amalan
yang bertentangan dengan sunnah Nabi.
Inilah pendapat asy-Syathibi [Lihat al-I’tisham
(I/37)], Ibnu Hajar al-Asqalani [Lihat Fat-hul Baari (XIII/253)], Ibnu
Hajar al-Haitami [Lihat al-Fataawa al-Haditsiyyah (hlm. 150-151)], Ibnu
Rajab al-Hanbali [Lihat Jaami‘ul Uluum wal Hikam (hlm. 233-235)], Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah[Lihat catatan biografinya dalam kitab ad-Durarul Kaaminah
(I/144-160), Dzail Thabaqaatul Hanabilah (II/378-408), Fawaatul Wafayaat
(I/74-80), dan al-Bidaayah wan Nihaayah (XIV/117-121)}, dan az-Zarkasyi [Lihat
al-Mantsur fiil Qawaa‘id (I/217)].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dalam kaidah
sunnah dan bid‘ah telah kami tegaskan, bahwasanya bid‘ah dalam agama adalah
amal ibadah yang tidak disyari‘atkan Allah dan Rasul-Nya. Bid‘ah adalah amal
ibadah yang tidak diwajibkan dan tidak pula dianjurkan. Adapun amal ibadah yang
diwajibkan atau dianjurkan, yakni yang berdasarkan dalil syar‘i, maka amal
tersebut termasuk ajaran agama yang disyari‘atkan Allah, meskipun para ulama
berbeda pendapat tentang sebagian hukumnya. Sama saja halnya, baik amal ibadah
itu pernah dilaksanakan pada zaman Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam
maupun belum. Amal apa pun yang dilaksanakan sepeninggal Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam atas dasar perintah beliau, misalnya memerangi
kaum yang murtad dan kaum Khawarij, menyerang bangsa Persia, Turki, dan Romawi,
mengeluarkan bangsa Yahudi dari Jazirah Arab, ataupun perbuatan lain yang
semisalnya, maka semua itu termasuk sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wasallam.” [Lihat Majmuu’ Fataawa (IV/107-108)].
Al-Imam asy-Syathibi mendefinisikan bid‘ah sebagai
berikut: “Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang
bentuknya menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah untuk
berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta'ala.”
Demikianlah menurut pendapat ulama yang tidak menggolongkan
perkara adat (kebiasaan) ke dalam bid‘ah, yaitu mereka yang mengkhususkan
bid‘ah hanya pada perkara-perkara ibadah.
Adapun menurut ulama yang menggolongkan perkara adat ke
dalam bid‘ah, mereka berkata:
“Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama,
yang bentuknya menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah
sama dengan yang dimaksud dari penerapan syari‘at.” [Lihat
al-I’tishaam (I/37)]
3. Beberapa Dalil Pendapat Kedua
a. Dalil dari as-Sunnah
Hadits riwayat Jabir bin ‘Abdillah ia berkata:
“Apabila Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berkhutbah, kedua matanya
memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya memuncak, hingga seolah-olah
beliau sedang memberikan peringatan kepada pasukan perang. Beliau bersabda:
‘Siap siagalah kalian setiap saat!’ Setelah itu, beliau bersabda: ‘(Antara) aku
diutus dan (terjadinya) Kiamat adalah seperti kedua (tangan) ini,” seraya
memberi isyarat dengan kedua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah.’
Beliau meneruskan:
مَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ‘
Amma ba’du, sesungguhnya perkataan yang terbaik adalah
Kitabullah, petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Muhammad, dan perkara yang
terburuk adalah perkara baru (bid‘ah), dan setiap bid‘ah adalah sesat.’ [HR.
Muslim dalam Shahiih-nya (Syarh Shahiih Muslim karya an-Nawawi VI/153-154, Kitab
“al-Jumu‘ah”), an-Nasa-i dalam Sunan-nya (III/189, Kitab “ash-Shalaatul
‘Iedain”) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/17, muqaddimah)].
Hadits riwayat al-Irbadh bin Sariyah, ia berkata: “Pada
suatu hari, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam shalat mengimami kami.
Setelah selesai, beliau menghadap ke arah kami dan menasihati kami dengan
nasihat yang mendalam, hingga membuat air mata kami berlinang dan hati
tergetar. Seorang hadirin berkata: ‘Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah
nasihat perpisahan. Jika demikian, apa yang akan engkau wasiatkan kepada kami?’
Beliau menjawab:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
‘Aku berwasiat kepada kalian agar senantiasa bertakwa kepada
Allah, selalu patuh dan taat (kepada yang memimpin kalian), meskipun ia seorang
budak dari habasyah (berkulit hitam). Sebab, siapa saja dari kalian yang masih
hidup sepeninggalku pasti akan melihat perselisihan yang begitu banyak. Maka dari
itu, berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin
yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham
kalian (maksudnya, peganglah sunnah itu erat-erat), dan berhati-hatilah kalian
terhadap perkara-perkara yang diada-adakan. Karena setiap perkara yang
diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah sesat.’”[ HR. Ahmad dalam
Musnad-nya (IV/126-127) dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (‘Aunul Ma’buud
XII/358-360, Kitab “al-Fitan”). Redaksi hadits tersebut adalah milik Abu Dawud.
Hadits ini juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (Tuhfatul Ahwadzi
[VII/438-442]), dan Tirmidzi berkata: “Derajat hadits ini hasan shahih.” Hadits
ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/15-16, muqaddimah)].
b. Dalil dari atsar
Perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas: “Tidaklah datang satu masa
kepada umat manusia, kecuali di dalamnya mereka berbuat bid‘ah dan mematikan
sunnah Nabi, sehingga maraklah perbuatan bid‘ah dan matilah sunnah.”
[Al-Haitsami berkata dalam kitabnya, Majmaa’uz Zawaa-id: “Hadits ini
diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir, dan para perawinya adalah
orang-orang yang dianggap tsiqah (tepercaya).” Lihat Majmaa’uz Zawaa-id
(I/188), Bab “al-Bida’ wal Ahwaa’”. Hadits ini juga diriwayatkan juga oleh Ibnu
Wadhah dalam al-Bida’ (hlm. 39)].
Perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud: “Ikutilah sunnah Nabi dan
janganlah kalian berbuat bid‘ah, karena sesungguhnya sunnah Nabi itu telah
cukup bagi kalian.”
Hadits dan atsar di atas menunjukkan bahwa setiap bid‘ah
yang muncul di dalam syara’ (syari‘at Islam) itu tercela. [Al-Haitsami berkata
dalam kitab Majmaa’uz Zawaa-id: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani
dalam al-Kabiir, dan para perawinya adalah para perawi kitab ash-Shahiih.”
Lihat Majmaa’uz Zawaa-id (I/181), Bab “al-Iqtidaa’ bis Salaf”].
Pendapat yang kuat:
Kata bid‘ah itu hanya digunakan untuk menyebut perkara yang
menyalahi sunnah Nabi. Dengan demikian, tidak ada bid‘ah yang terpuji atau
baik. Wallaahu a’lam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ketahuilah bahwa
kaidah ini, yaitu kaidah menetapkan hukum bid‘ah atas sesuatu yang makruh,
merupakan kaidah umum yang sangat agung. Kaidah ini merupakan jawaban sempurna
atas pendapat yang bertentangan dengannya. Hal itu disebabkan ada sebagian
orang yang berpendapat bahwa bid‘ah itu terbagi dua: bid‘ah hasanah (baik) dan
bid‘ah qabiihah (buruk). Mereka beralasan dengan ucapan ‘Umar: ‘Bid‘ah yang
terbaik adalah ini (maksudnya, shalat Tarawih berjamaah).’”
Namun, orang-orang yang tidak sependapat dengan pendapat ini
(yakni bahwasanya semua bid‘ah adalah buruk) mengemukakan sanggahan: “Tidak
semua bid‘ah itu sesat.”
Bantahan atas sanggahan tersebut adalah: “Sabda Rasulullah:
‘Sesungguhnya perkara yang paling buruk adalah perkara yang diada-adakan, dan
seluruh bid‘ah (perkara yang diada-adakan) adalah sesat, dan setiap kesesatan
itu akan menjerumuskan ke Neraka,’ juga peringatan beliau terhadap perkara yang
diada-adakan, semua seruan itu merupakan penegasan Rasulullah. Jika demikian,
tidak seorang pun boleh menolak apa yang ditunjukkan nash ini, yaitu celaan
terhadap bid‘ah. Siapa saja yang membantahnya berarti ia termasuk salah seorang
penentang as-Sunnah.”
Tidak seorang pun boleh menentang nash yang umum dari
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam itu, yaitu sabdanya: ‘Setiap bid‘ah
itu sesat,’ dengan mementahkan pengertian umum nash tersebut, yaitu dengan
mengatakan bahwa tidak setiap bid‘ah itu sesat. Sebab, perbuatan ini lebih
tepat disebut penentangan terhadap Rasul daripada disebut takwil. [Lihat
Iqtidhaa-ush Shiraath al-Mustaqiim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
(II/582-588)].
Adapun shalat Tarawih, shalat ini bukanlah bid‘ah dalam
syari’at (Islam), tetapi termasuk sunnah Nabi. Ketentuan ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan pelaksanaan beliau atas shalat ini
secara berjamaah. Mengerjakan shalat Tarawih secara berjamaah bukanlah bid‘ah,
melainkan sunnah. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat
ini secara berjamaah pada tiga malam awal bulan Ramadhan. Namun pada malam
keempat, beliau bersabda:
فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا
“Sesungguhnya keadaan kalian (yang melaksanakan shalat
Tarawih secara berjamaah) tidaklah samar bagiku. Hanya saja, aku khawatir
shalat ini akan diwajibkan kepada kalian, kemudian kalian tidak mampu
mengerjakannya.” [HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (Fat-hul Baari [IV/251],
Kitab “ash-Shalaatut Taraawih”, no. 2012) dan Muslim dalam Shahiih-nya (Syarh
Shahiih Muslim [I/524], Kitab “ash-Shalaatul Musaafiriin”, no. 761 dan 178)].
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam menjelaskan alasan
mengapa beliau tidak keluar (pada malam keempat itu), yaitu karena khawatir
shalat Tarawih akan diwajibkan kepada umat Islam. Dengan demikian, diketahuilah
alasan di balik tindakan beliau yang tidak keluar rumah untuk menunaikan shalat
Tarawih berjamaah. Seandainya tidak ada kekhawatiran tersebut, niscaya beliau
akan keluar untuk menunaikannya bersama mereka.
Pada masa kekhalifahan ‘Umar bin al-Khaththab, ia mengumpulkan
kaum Muslimin (di masjid untuk menunaikan shalat Tarawih berjamaah) dengan
diimami seorang imam. Ia pun menerangi masjid untuk mereka. Sehingga, keadaan
ini yakni berkumpulnya mereka di masjid dengan dipimpin seorang imam dan dengan
menerangi masjid merupakan perbuatan yang belum pernah mereka lakukan
sebelumnya. Karena itulah, perbuatan tersebut dinamakan bid‘ah. Sebab dalam
bahasa Arab, perbuatan itu (yakni amalan yang belum pernah dilakukan
sebelumnya) memang dinamai demikian (bid‘ah). Namun, yang dimaksud darinya
bukanlah bid‘ah dalam syari‘at. Pasalnya, sunnah Nabi menghendaki perbuatan itu
termasuk bagian amal shalih, seandainya tidak ada kekhawatiran akan
diwajibkannya shalat Tarawih kepada umat Islam.
Sekarang, kekhawatiran itu telah hilang karena Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam telah wafat, sehingga tidak akan ada wahyu yang
turun untuk mewajibkannya. Karena kekhawatiran akan kewajiban amal tersebut
sudah hilang, maka hilang pula hambatan untuk melaksanakan shalat Tarawih
secara berjamaah. [Ketika itu, yang menjadi imam adalah Sahabat yang mulia
Ubayy bin Ka’ab. Lihat al-Muwaththa’ (I/114)].
Mengenai perkataan ‘Umar: “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini
(maksudnya, shalat Tarawih berjamaah),” maka perlu diketahui sikap mayoritas
orang yang berargumentasi dengan ucapan Sahabat seperti ini. Jika kita akan
menetapkan suatu hukum syari‘at dengan perkataan ‘Umar yang notabene merupakan
perkataan Sahabat yang tidak dipertentangkan, niscaya orang-orang itu akan
berkata: “Perkataan Sahabat bukanlah hujjah (nash yang dapat dijadikan dalil)!”
Jika demikian adanya, bagaimana mungkin mereka menjadikan ucapan Sahabat yang
bertentangan dengan sabda Rasul di atas sebagai hujjah? Padahal, orang-orang
yang meyakini bahwa perkataan Sahabat merupakan hujjah tidak meyakininya
sebagai hujjah apabila bertentangan dengan hadits Nabi!
Dengan kata lain, penggunaan istilah bid‘ah untuk shalat
Tarawih yang diucapkan oleh ‘Umar adalah dalam lingkup pengertiannya secara
bahasa (etimologi), bukan dalam bingkai pengertian syar‘i (terminologi). Sebab,
menurut pengertian bahasa, bid‘ah itu mencakup seluruh perbuatan yang dibuat
pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya.
Adapun bid‘ah menurut pengertian syar‘i adalah segala
perbuatan yang tidak didukung oleh dalil syari‘at. Apabila Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam telah menyatakan bahwa sebuah amal itu mustahab
(dianjurkan/disunnahkan) atau wajib dilakukan setelah beliau wafat, atau
menyatakan hukum tersebut secara mutlak, lalu amal itu baru dilakukan setelah
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam wafat, seperti pengamalan terhadap
ketentuan nishab zakat dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam yang
dikeluarkan oleh Abu Bakar; jika perbuatan itu dilakukan setelah Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wasallam wafat, maka perbuatan ini dapat disebut bid‘ah
menurut pengertian bahasa. Sebab, perbuatan itu merupakan perbuatan yang baru
pertama kali dilakukan. Demikian pula halnya shalat Tarawih, mengumpulkan
al-Qur-an dalam satu mushaf, dan pengusiran yang ‘Umar lakukan terhadap kaum
Yahudi Khaibar dan Nashrani ke Najran serta penduduk kafir di berbagai tempat
lainnya di jazirah Arab. [Lihat Iqtidhaa-ush Shiraath al-Mustaqiim karya
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (II/589-592)].
Diringkas dari buku Menyoal rutinitas perayaan bid'ah sepamjamg tahun
Karya 'Abdullah bin 'Abdul 'Aziz at-Tuwaijiri. Hlm. 19-34
cet. I/2010 Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafii Jakarta
Sumber: pustakaimamsyafii.com