Berbagai media memberitakan MUI yang memfatwakan haram
sistem BPJS Kesehatan. Pro-kontra pun muncul. Namun, pemberitaan itu sudah
‘diluruskan’ oleh Ketua MUI Din Syamsudin. Din Syamsudin (Kompas.com, 1/8)
menegaskan, tidak ada pernyataan “haram” di dalam hasil kesimpulan Ijtima’
Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia Tahun 2015 di Tegal terkait BPJS Kesehatan
beberapa waktu lalu.
Hasil kesimpulan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V
Tahun 2015, Komisi B2 Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah (Masalah Fikih
Kontemporer) tentang panduan Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS Kesehatan
menegaskan dua hal: “1. Penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS
Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai
dengan prinsip syariah karena mengandung unsur gharar (penipuan), maysir (judi)
dan riba. 2. MUI mendorong Pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan dan
melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syariah dan melakukan
pelayanan prima.”
Di luar kritik yang disampaikan dalam hasil kesimpulan
Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa itu sebenarnya ada sejumlah masalah mendasar dalam
sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS. Sejumlah
masalah itulah yang membuat sistem JKN yang dikelola BPJS saat ini bertentangan
dengan syariah Islam.
Negara Lepas Tanggung Jawab
Menurut Asih dan Miroslaw dari German Technical
Cooperation (GTZ), LSM yang berperan aktif membidani kelahiran JKN: “Ide
dasar jaminan kesehatan sosial adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dari Pemerintah kepada institusi yang memiliki kemampuan
tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.”
(Lihat: www.sjsn.menkokesra.go.id).
Sistem JKN oleh BPJS saat ini mengalihkan tanggung jawab
berupa penjaminan kesehatan dari pundak negara ke pundak seluruh rakyat yang
memang telah diwajibkan menjadi peserta JKN.
Dengan demikian negara lepas tangan. Pasalnya, jaminan
kesehatan yang merupakan hak rakyat dan seharusnya menjadi tanggung jawab
negara akhirnya berubah menjadi kewajiban rakyat. Rakyat dipaksa saling
membiayai pelayanan kesehatan di antara mereka melalui sistem JKN dengan
prinsip asuransi sosial. Saling menanggung itulah yang dimaksudkan dengan
prinsip kegotongroyongan.
JKN=Asuransi Sosial
Istilah “jaminan kesehatan” ternyata palsu. Pasalnya, yang
ada bukan jaminan kesehatan, tetapi asuransi sosial kesehatan. Jaminan dengan asuransi
sosial jelas berbeda.
Pasal 19 ayat 1 UU SJSN menegaskan sistem JKN
diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial yaitu: suatu
mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna
memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta
dan/atau anggota keluarganya (Pasal 1 ayat 3).
Konsekuensinya, seluruh rakyat wajib membayar iuran/premi
bulanan. Meski iuran untuk orang miskin dibayar oleh negara (sebagai penerima
bantuan iuran-PBI), hal itu tidak menghilangkan hakikat bahwa seluruh rakyat
wajib membayar iuran bulanan. Jadi pada dasarnya JKN sama dengan asuransi pada
umumnya. Peserta JKN, yakni seluruh rakyat, baru bisa mendapat pelayanan dari
BPJS selama membayar iuran/premi bulanan. Jika tidak bayar, mereka tidak
mendapat pelayanan. Jika nunggak membayar, mereka pun dikenai denda 2% perbulan,
maksimalnya enam bulan. Lebih dari enam bulan menunggak, pelayanan dihentikan.
Bahkan lebih dari itu, karena wajib, mereka yang tidak membayar iuran akan
dijatuhi sanksi, yakni tidak akan mendapat pelayanan administratif seperti
pembuatan KTP, KK, paspor, sertifikat dsb.
Jadi dalam JKN, rakyat bukan dijamin pelayanan kesehatannya.
Faktanya, rakyat diwajibkan membayar iuran tiap bulan, baru mereka mendapat
layanan. Jika tidak membayar lebih dari enam bulan, mereka tidak dilayani dan
bahkan dijatuhi sanksi.
Tidak Adil dan Bernuansa Bisnis
Sistem JKN masih mengadopsi pendekatan diskriminatif alias
tidak adil. Contoh: ada pembedaan antara peserta PBI dan non-PBI. Sistem JKN
juga mengenal pembagian kelas: kelas III, II dan I; masing-masing dengan iuran
bulanan berbeda dan layanan berbeda. Itu artinya, JKN menganut prinsip
pemberian pelayanan berdasarkan kemampuan bayar peserta atau status ekonomi
peserta. Prinsip ini merupakan watak komersial yang dianut oleh lembaga bisnis.
Watak itu makin kental karena SJSN dan JKN ini menghimpun
dana rakyat untuk investasi. Atas nama SJSN dan JKN, ratusan triliun dana
rakyat dihimpun atas nama iuran/premi asuransi sosial yang bersiat wajib.
Sebagian dana itu wajib diinvestasikan oleh BPJS. Pasalnya, sesuai UU SJSN dan
BPJS, investasi dana asuansi sosial itu bersifat mandatori, artinya wajib,
tentu dengan segala konsekuensi sebuah investasi. Hingga saat ini saja, total
investasi oleh BPJS Kesehatan mencapai lebih dari 10 triliun rupiah.
Negara Wajib Menjamin Kesehatan Warganya
Jaminan kesehatan mestinya diberikan oleh negara secara
bebas biaya dan berkualitas untuk seluruh rakyat tanpa kecuali dan tanpa
diskriminasi. Pertanyaannya, apakah jaminan kesehatan seperti itu mungkin untuk
diwujudkan saat ini? Jawabannya, mungkin, bahkan sangat mungkin, apalagi
melalui penerapan sistem Islam secara menyeluruh.
Saat ini banyak negara yang bisa memberikan jaminan
kesehatan itu. Di antara yang terbaik menurut pengakuan dunia adalah Kuba.
Kondisi perekonomian Kuba tidak jauh berbeda dengan negeri ini. Bahkan kekayaan
alam Kuba jauh lebih sedikit dibandingkan dengan negeri ini. Namun, meski jauh
lebih miskin, Kuba berhasil memberikan jaminan kesehatan untuk seluruh
rakyatnya secara gratis dan berkualitas tinggi; jauh lebih baik dari AS, Eropa dan
negara-negara yang jauh lebih kaya.
Semestinya negara ini jauh lebih bisa memberikan jaminan
kesehatan gratis dan berkualitas untuk seluruh rakyat. Yang diperlukan hanyalah
kemauan dan komitmen politik serta perhatian sungguh-sungguh Pemerintah untuk
memelihara kemaslahatan rakyat.
Jaminan Kesehatan dalam Islam
Dalam Islam, kebutuhan akan pelayanan kesehatan termasuk
kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Rumah sakit, klinik
dan fasilitas kesehatan lainnya merupakan fasilitas umum yang diperlukan oleh
kaum Muslim dalam terapi pengobatan dan berobat. Dengan demikian pelayanan
kesehatan termasuk bagian dari kemaslahatan dan fasilitas umum yang harus
dirasakan oleh seluruh rakyat. Kemaslahatan dan fasilitas umum (al-mashâlih wa
al-marâfiq) itu wajib dijamin oleh negara sebagai bagian dari pelayanan negara
terhadap rakyatnya. Dalilnya adalah sabda Rasul saw.:
«Ø§Ù„Ø¥ِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ ÙˆَÙ…َسْؤُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ»
Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung
jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar ra.).
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. pun dalam
kedudukan beliau sebagai kepala negara pernah mendatangkan dokter untuk
mengobati salah seorang warganya, yakni Ubay. Saat Nabi saw. mendapatkan hadiah
dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun menjadikan dokter itu sebagai
dokter umum bagi seluruh warganya.
Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Anas ra.
bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Lalu mereka jatuh
sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara saat itu meminta mereka
untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola oleh Baitul Mal di
dekat Quba’. Mereka dibolehkan minum air susunya sampai sembuh. Al-Hakim
meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab ra. juga pernah memanggil dokter
untuk mengobati salah seorang warganya, yakni Aslam.
Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan termasuk
kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara
gratis dan tanpa diskriminasi.
Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki tiga sifat.
- Pertama: berlaku umum tanpa diskriminasi, dalam arti tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kesehatan kepada rakyat.
- Kedua: bebas biaya. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya apapun untuk mendapat pelayanan kesehatan oleh negara.
- Ketiga: seluruh rakyat harus diberi kemudahan untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan oleh negara.
Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan
dana besar. Dana tersebut bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara
yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta
kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan
sebagainya; dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i,
‘usyur; dari hasil pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu
akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai
dan gratis untuk seluruh rakyat, tentu dengan kualitas yang jauh lebih baik
dari yang berhasil dicapai saat ini di beberapa negara.
Kuncinya adalah dengan menerapkan syariah Islam secara
menyeluruh. Hal itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem yang dicontohkan dan
ditinggalkan oleh Nabi saw. Sistem ini kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur
Rasyidin serta dijaga dan dilanjutkan oleh generasi selanjutnya. Itulah sistem
Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus
diperjuangkan oleh umat. Umat secara keseluruhan tentu bertanggung jawab untuk
menegakkan kembali Khilafah Rasyidah itu.
Sumber: Al-Islam edisi 766, 22 Syawal 1436 H – 7 Agustus 2015 M