“Apakah pernikahan itu bisa dibatalkan?” Itulah pertanyaan
seorang pemuda kepada calon istri saya beberapa hari menjelang aqad nikah kami.
Pemuda itu adalah teman kuliah calon istri saya. “Tidak bisa.” Jawab calon
istri saya. “Undangan sudah disebar.” Calon istri saya menambahkan argumentasi.
“Tolong dipertimbangkan lagi ya, bla-bla-bla dst…” Pemuda tersebut
melanjutkan argumentasinya. Tapi, tentu saja tetap ditolak.
Setelah kami menikah, handphone istri saya sering menerima
panggilan dari nomor seorang pemuda teman remaja masjid dulu. Tapi istri saya
tidak pernah mau mengangkatnya. Sebabnya, pemuda itu memang “ada perasaan” sama
istri saya. Lama-lama saya jengkel juga mengetahuinya. Maka ketika handphone
istri saya menerima panggilan lagi, saya yang mengangkat. Tapi saya “halo-halo”
berkali-kali, ternyata tidak ada suara di seberang sana.
Saya pun bertanya kepada istri saya, memang dulu ceritanya
bagaimana? Apakah memang dulu membuka “peluang”? Ternyata tidak. Istri saya
mengatakan bahwa dulu itu sebenarnya teman biasa sebagaimana mestinya. Teman
kuliah ya teman kuliah saja. Tidak ada komunikasi aneh-aneh, tidak ada yang
spesial. Teman remaja masjid juga teman biasa saja, tidak ada hal yang
aneh. Kalau bertemu ya hanya ketika ada kegiatan atau ada rapat. Tidak
ada pertemuan-pertemuan tambahan yang tidak lazim.
Setelah saya mencoba dalami, ternyata kasusnya bukan hanya
dua kasus tersebut. Istri saya pernah juga bertekad untuk berhenti kerja
gara-gara “dikejar-kejar” oleh teman di tempat kerjanya.
Beberapa kejadian tersebut barangkali bisa menjadi contoh
bagaimana “kegilaan” seseorang yang sudah terlanjur jatuh cinta. Pikirannya
menjadi “tidak waras”, dan cenderung berbuat nekat. Saya yakin, masih banyak
contoh lain bahkan yang lebih extrim tentang perbuatan orang-orang yang jatuh
cinta.
Mungkin, kebanyakan manusia di muka bumi ini memang seperti
itu. Jatuh cinta, kemudian melakukan berbagai macam upaya dan perjuangan untuk
mendapatkan orang yang dicintainya. Mungkinkah anda juga demikian? Ngaku saja !
Saya sendiri memilih bersikap berbeda dengan kebanyakan
manusia di bumi ini. Saya berkomitmen untuk tidak mau jatuh cinta. Jatuh cinta,
itu bisa menjadi awal malapetaka. Terlepas siapapun yang anda jatuhi, mau orang
baik-baik atau orang yang tidak baik.
Jatuh Cinta, Enak Nggak Sih?
Pernahkah anda melompat dari ketinggian satu meter?
Bagaimana rasanya? Sakit? Saya pernah bahkan berkali-kali melompat dari
ketinggian satu meter, bahkan sering juga lebih dari satu meter. Mendarat di
tanah yang keras, bahkan lantai yang keras. Tapi, ternyata saya tidak apa-apa.
Tidak ada badan yang sakit, apalagi cedera.
Tetapi di waktu yang lain, saya pernah jatuh dari ketinggian
hanya sekitar setengah meter, tapi ternyata sakitnya luar biasa.
Mengapa demikian? Apakah anda tahu bedanya?
Pada kasus pertama. Saya sengaja melompat dari ketinggian
satu meter. Saya telah melakukan persiapan, perkiraan, juga “ancang-ancang”.
Maka ketika badan saya jatuh di lantai, saya sudah mempersiapkan bagian kaki
untuk menjejak lantai terlebih dahulu. Diikuti gerakan kaki yang sedikit
melipat dan mengayun (tidak kaku). Badan pun sedikit dicondongkan ke bawah.
Hasilnya, saya bisa mendarat dengan mulus, tanpa sakit dan tanpa cedera.
Pada kasus kedua. Saya tidak sengaja jatuh dari ketinggian
setengah meter. Saya tentu saja tidak persiapan, tidak ada perkiraan, juga
tanpa “ancang-ancang”. Maka ketika badan saya jatuh, saya tidak mempersiapkan
bagian tubuh mana yang akan mengenai lantai. Ketika bagian tubuh yang terkena
lantai adalah tulang ekor, itu sakitnya luar biasa. Bahkan itu sangat
berbahaya.
Nah, ternyata ada perbedaan yang signifikan antara (sengaja)
menjatuhkan diri dengan (tidak sengaja) jatuh.
Sengaja itu cenderung aman. Sementara tidak sengaja
cenderung berbahaya. Memang tidak bisa dikatakan orang yang melompat pasti
selamat sementara yang tidak sengaja pasti celaka. Tapi saya yakin jika
dipersentase, maka orang yang persiapan lebih banyak yang selamat.
Begitu pula dengan jatuh cinta. Sengaja menjatuhkan cinta
itu cenderung selamat, sementara jatuh cinta (tanpa rencana) itu cenderung
beresiko celaka. Beberapa contoh di awal tulisan ini bisa menjadi contoh
orang-orang yang celaka karena jatuh cinta tanpa rencana.
Saat seseorang jatuh cinta, maka pada saat itulah perasaan
cinta itu berada di atas pemikirannya. Misalnya, Yono jatuh cinta kepada Yani.
Maka mulai saat itulah Yono akan memikirkan berbagai macam cara agar Yani mau
menerima cintanya. Memang Yono berpikir, tetapi pikiran itu mengikuti
perasaannya. Itu adalah posisi terbalik. Seharusnya, perasaan itu mengikuti
pemikiran.
Manusia di dunia ini kalau dikelompokkan berdasar apa yang
ia ikuti, maka bisa dibagi menjadi dua kelompok.
Kelompok pertama, manusia penafsu. Manusia yang masuk
kelompok ini adalah manusia yang berkeinginan dulu, baru berpikir. Sejatinya,
manusia yang masuk kelompok ini bukanlah manusia yang sebenar-benarnya. Ia
lebih tepat disebut manusia “jadi-jadian”. Manusia seperti ini mirip binatang. Yaitu
mengikuti perasaannya. Tetapi sesungguhnya, tidak sama dengan binatang. Manusia
seperti ini lebih rendah dari binatang.
Kelompok kedua, manusia pemikir. Manusia yang masuk kelompok
ini adalah manusia yang berpikir dulu, baru perasaannya menyesuaikan pemikirannya.
Ia bisa benci sesuatu karena sesuatu itu jelek menurut pemikirannya. Tapi ia
juga bisa cinta sesuatu karena sesuatu itu baik menurut pemikirannya.
Saya tentu saja tidak mau celaka. Saya mau selamat.
Dan alhamdulillah saya telah melalui proses taaruf, khitbah, hingga aqad nikah
dengan selamat. Semoga anda juga memilih jalan yang sama dengan saya.
Penulis: Farid Ma’ruf
Sumber: www.faridmaruf.wordpress.com
Sumber: www.faridmaruf.wordpress.com