Puasa Ramadhan memang telah kita lewati. Idul Fitri pun telah kita lalui. Namun, tentu tetap penting merenungi: Sukseskah puasa Ramadhan kita tempo hari? Berhasilkah kita mewujudkan takwa sebagai ‘buah’ dari puasa Ramadhan yang telah kita jalani? Pantaskah kita kemarin merayakan ‘Hari Kemenangan’, yakni Idul Fitri? Menangkah kita dalam melawan hawa nafsu dan godaan setan selama Ramadhan, juga selepas Idul Fitri? Jika jawabannya ‘ya’, tentu itu yang kita harapkan. Namun, jika jawabannya ‘tidak’, tentu puasa Ramadhan kita yang lalu sia-sia belaka. Kita pun sesungguhnya tak layak merayakan ‘Hari Kemenangan’, Idul Fitri. Sebabnya, sebagaimana dinyatakan oleh sebagian ulama, “Laysa al-‘id li man labisa al-jadid walakin al-‘id li man takwahu yazid (Idul Fitri bukanlah milik orang yang mengenakan segala sesuatu yang serba baru. Namun, Idul Fitri adalah milik orang yang ketakwaannya bertambah).”
Pertanyaannya: Apakah ketakwaan kita bertambah selepas puasa
Ramadhan dan Idul Fitri? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita tentu mesti
mengetahui hakikat takwa sekaligus tanda-tanda (ciri-ciri)-nya.
Siapa orang bertakwa? Imam ath-Thabari, saat menafsirkan QS
al-Baqarah ayat 2, mengutip sejumlah pernyataan tentang hakikat orang-orang
bertakwa. Al-Hasan, misalnya, menyatakan, “Orang-orang bertakwa adalah
mereka yang takut terhadap perkara apa saja yang Allah haramkan atas mereka dan
melaksanakan apa saja kewajiban yang Allah perintahkan atas mereka.”
Ibn Abbas berkata, “Orang-orang bertakwa adalah
orang-orang yang khawatir terhadap azab Allah ‘Azza wa Jala jika meninggalkan
petunjuk-Nya yang telah mereka ketahui dan berharap pada rahmat-Nya dengan
membenarkan apa saja yang datang kepada dirinya (berupa Alquran, pen.).”
Ibn Mas’ud menuturkan dari sekelompok sahabat Nabi SAW,
bahwa orang-orang yang bertakwa dalah orang-orang Mukmin.
Abu Bakr ‘Ayyas berkata, “Orang-orang bertakwa dalah
mereka yang menjauhi dosa-dosa besar.” Demikian pula disepakati oleh
Al-A’masyi.
Qatadah berkata, “Orang-orang bertakwa adalah mereka
yang disifati dengan sifat sebagaimana dalam ayat berikutnya, yaitu: orang
yang mengimani perkara gaib, menegakkan shalat dan menginfakkan sebagian rezeki
yang telah Allah limpahkan kepada mereka.”
Ibn Abbas juga menyatakan bahwa orang-orang bertakwa adalah
mereka yang takut menyekutukan Allah SWT dan mengamalkan apa saja yang telah
Allah SWT wajibkan atas mereka (Lihat: Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan
li Ta’wil al-Qur’an, I/232-233).
Al-Quran pun banyak mengungkap ciri orang-orang yang
bertakwa, di antaranya sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Baqarah ayat 3-5.
Demikian juga dalam al-Hadits. Begitu pun yang dinyatakan oleh para Sahabat dan
banyak ulama dari generasi salafush-shalih. Di antaranya adalah yang
dinyatakan oleh al-Hasan. Al-Hasan berkata, “Orang bertakwa memiliki
sejumlah tanda yang dapat diketahui, yakni: jujur/benar dalam berbicara;
senantiasa menunaikan amanah; selalu memenuhi janji; rendah hati dan tidak
sombong; senantiasa memelihara silaturahmi; selalu menyayangi orang-orang
lemah/miskin; memelihara diri dari kaum wanita; berakhlak baik; memiliki ilmu
yang luas; senantiasa bertaqarrub kepada Allah.” (Ibn Abi ad-Dunya,
Al-Hilm, I/32)
Terkait jujur dalam bicara, senantiasa menunaikan amanah dan
selalu memenuhi janji, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ada empat perkara
yang siapa saja termasuk di dalamnya maka dia benar-benar orang munafik, meski
ia shalat atau puasa dan mengklaim dirinya Muslim. Jika ia memiliki satu saja
dari empat perkara tersebut maka ia memiliki salah satu tanda kemunafikan
hingga ia meninggalkannya: Jika ia berbicara, ia berdusta; jika berjanji, ia
ingkari; jika diberi amanah, ia khianati; jika ia membuat kesepakatan, ia langgar
sendiri.” (Al-Ghazali, Al-Ihya’, III/272).
Terkait takwa pula, Wahab bin Kisan bertutur bahwa Zubair
ibn al-Awwam pernah menulis surat yang berisi nasihat untuk dirinya. Di dalam
surat itu dinyatakan, “Amma ba’du. Sesungguhnya orang bertakwa itu memiliki
sejumlah tanda yang diketahui oleh orang lain maupun dirinya sendiri, yakni:
sabar dalam menanggung derita, ridha terhadap qadha’, mensyukuri nikmat dan
merendahkan diri (tunduk) di hadapan hukum-hukum Al quran.” (Ibn al-Jauzi, Shifat
ash-Shafwah, I/170; Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah Awliya’, I/177).
Muhammad bin Husain berkata bahwa Abu al-Husain juga pernah
menyatakan, “Seorang Mukmin (yang bertakwa) itu memiliki empat tanda:
kata-katanya adalah zikir; diamnya adalah tafakur; pandangannya adalah ibrah;
dan ilmunya adalah kebaikan.” (Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah Awliya’,
IV/354).