Sepanjang sejarah peradabannya, kaum Muslim menghadapi banyak tantangan. Namun, belum pernah mereka menghadapi tantangan yang lebih serius daripada tantangan Peradaban Barat. Peradaban Barat terbukti menimbulkan bencana besar bagi umat manusia, tak hanya bagi kaum Muslim. Hal itu disebabkan oleh kerusakannya sejak dari asasnya dan dari falsafah yang menjadi pandangannya,1 yakni materialisme yang jauh dari aspek spiritual (materialistic oriented).2 Pemikiran ini tak bisa dilepaskan dari sejarah filsafat kufur Barat yang mengingkari al-khabar ash-shâdiq (wahyu) sebagai salah satu sumber ilmu dalam struktur keilmuannya (epistemologi). Karena itu kerusakan peradaban Barat tak dapat ditolerir lagi karena sudah rusak dari asasnya.
Peradaban Barat, dengan slogan kemerdekaan dan kebebasan (freedom), menginvasi negeri-negeri kaum Muslim untuk mengelabui mereka. Padahal slogan tersebut hanyalah kamuflase terhadap pemikiran kufur liberalisme yang meracuni kaum Muslim dengan racun mematikan; bagaikan racun ular berbisa yang mengalir dalam darah dan cepat merusak tubuh manusia hingga menyebabkan kematian atau kelumpuhannya. Hilanglah kemuliaannya. Sirnalah kekuatannya. AlLâh al-Musta’ân.
Karena itu memahami perkara ini menjadi penting, sebagaimana dinyatakan dalam syair yang dinukil Imam al-Ghazali (w. 505 H):
عرفتُ الشرّ لا للشرّ * لكن لتوقيه
ومن لا يعرف الشرّ * من الناس يقع فيه
Aku tahu keburukan bukan untuk keburukan/tapi agar terhindar darinya
Siapa saja di antara manusia tak tahu keburukan, ia akan terjerumus ke dalamnya3
Ragam Pemikiran Liberal dan Bahayanya
Ironisnya, pada zaman ini pemikiran-pemikiran berbahaya banyak bermunculan. Ada pluralisme yang membiaskan konsep kebenaran tunggal Islam (lihat QS 3: 19). Ada multikulturalisme yang mengakomodasi multikultur tanpa memandang benar-tidaknya (lihat QS 2: 42). Ada feminisme yang menghiasi kesesatannya dengan slogan yang mengelabui kaum Muslimah (lihat QS 6: 112). Ada sinkretisme yang mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan (lihat QS 2: 42). Ada pembiasan prinsip akidah atas nama toleransi (lihat QS 109: 6). Ada pula upaya mendukung kesyirikan atas nama kearifan lokal (lihat QS 31: 13). Semua itu selaras dengan spirit pemikiran liberal, yakni kebebasan menghalalkan dan mengharamkan apa yang dikehendaki hawa nafsu manusia meski itu bertentangan dengan Islam.
Secara personal, pemikiran kufur liberalisme merusak akidah, pemikiran dan perasaan seorang Muslim hingga melahirkan kepribadian ganda (split of personality); ia merusak pola pikir seseorang hingga berujung pada lahirnya perbuatan mungkar, misalnya menjustifikasi LGBT dan kawin sejenis.
Dalam konteks kemasyarakatan, pemikiran kufur melahirkan corak masyarakat yang oportunistik, pragmatis, hedonis dan terjajah karena lemah komitmennya terhadap ajaran Islam serta lemah dalam melakukan kontrol sosial dan muhâsabah lil hukkâm. Inilah yang menjadi sebab utama kekalahan kaum Muslim. Penghinaan demi penghinaan keji atas Islam dan simbol-simbolnya, penguasaan kaum kafir dan sekutunya atas mereka dan tegaknya sistem Jahiliah terus terjadi.4
Dalam konteks bernegara, pemikiran kufur liberalisme melahirkan pemerintahan sekular yang memarjinalkan peran agama dalam pengaturan kehidupan (politik), atau dengan kata lain menjauhkan penerapan syariah dalam kehidupan bernegara.
Pemikiran ini sebenarnya sudah digugurkan oleh Islam dari asasnya. Pasalnya, seluruh pemikiran ini bersumber dari hawa nafsu yang diperingatkan oleh al-Quran dan al-Sunnah. Ini karena segala hal yang bertentangan dengan al-wahyu (Islam) pasti berasal dari al-hawâ’ sebagaimana isyarat agung dalam ayat:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ – إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
Tiadalah yang dia (Muhammad) ucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepada dia) (QS an-Najm [53]: 3-4).
Ungkapan ’an al-hawâ’ yakni bi al-hawâ’ (menurut hawa nafsu).5 Imam as-Sam’ani (w. 489 H) menjelaskan bahwa al-hawâ’ berkonotasi ghayr al-haq (selain dari kebenaran, yakni kebatilan).6 (Lihat pula: QS al-Maidah [5]: 48).
Ini sejalan dengan apa yang dituturkan dalam syair:
واحذر هواك تجد رضَاه * فإنما أصل الضلالة كلها الأهواء
Waspadai hawa nafsumu agar kau temukan keridhaan-Nya
Sungguh pangkal semua kesesatan adalah hawa nafsu7
Pemikiran liberal menyalahi fitrah dan tradisi umat manusia sejak lahirnya nenek moyang bangsa manusia, Adam as., yang bertakwa kepada Allah. Mengadopsi liberalisme jelas berbahaya bagi dunia dan akhirat seseorang (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 115).
Allah SWT juga berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja yang mencari selain Islam sebagai agama tidak akan pernah diterima agama itu dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi (QS Ali Imran [3]: 85).
Dalam ayat di atas, kecaman di awali kata lan, yakni tidak akan diterima selama-lamanya (li ta’bîd) yang lebih kuat maknanya daripada kata lâ.8 Ini menjadi indikasi tegasnya kecaman dan peringatan dalam ayat yang agung ini atas siapa saja yang mencari selain Islam sebagai dîn-nya; mencakup akidah, ideologi dan pemikiran kufur.
Ibnu ’Abbas ra. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
لَتَرْكَبُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ دَخَلَ جُحْرَ ضَبِّ لَدَخَلْتُمْ
Sungguh kamu mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, hingga salah seorang dari mereka masuk lubang biawak pun sungguh kalian mengikutinya (HR al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
Imam al-Mala’ al-Qari menjelaskan makna sunnan man kâna qablakum, yakni jalan hidup, manhaj dan perbuatan mereka.9 Suatu pemikiran jelas termasuk manhaj, jalan hidup yang khas lahir dari suatu peradaban. Hadis ini jelas mengandung celaan atas perbuatan mengikuti manhaj dan pola pikir orang kafir.
Sikap Kita
Secara personal, setiap Muslim wajib menegakkan prinsip al-wala’ wa al-bara’, loyal pada Islam dan ingkar pada pemikiran-pemikiran kufur. Prinsip ini merupakan penjabaran dari prinsip ingkar pada thâghût dan beriman kepada Allah SWT (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 256).
Seorang Muslim tidak boleh mengadopsi itu semua. Di Persia, misalnya, Saad bin Abi Waqqas ra., panglima perang yang dikirim Khalifah Umar ra. ke sana telah menemukan buku-buku filsafat lama sebagai rampasan perang. Dari laporan Ibnu Khaldun (w. 808 H), Saad sebenarnya ingin membawa buku-buku tersebut agar dapat dimanfaatkan oleh kaum Muslim. Namun, keinginan ini langsung ditolak oleh Khalifah Umar ra., “Campakkan buku-buku itu ke dalam air. Jika apa yang terkandung dalam buku-buku tersebut adalah petunjuk yang besar, maka Allah telah memberikan kepada kita petunjuk-Nya yang lebih besar (al-Qur’an dan as-Sunnah). Jika ia berisi kesesatan, Allah telah memelihara kita dari bencana tersebut.”10
Secara kolektif, kita wajib memahamkan umat atas bahaya pemikiran ini yang jelas termasuk kemungkaran, sebagai bagian dari tanggung jawab al-amr bi al-ma’rûf wa al-nahy ’an al-munkar,menyelamatkan umat dari bahaya kemungkaran tersebut. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa pokok agama adalah mencegah dari keburukan. Sikap ini pun ditunjukkan oleh ulama besar abad ke-19, Syaikhul Azhar Muhammad al-Khudhari Husain: “Orang-orang yang berpegang teguh pada al-Quran dan as-Sunnah wajib memperingatkan (umat manusia) dari meridhai ajaran ateisme (termasuk liberalisme, pen.) di manapun berada meski kaum ateis tersebut adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara dan kerabat-kerabat mereka.”11
Sesungguhnya tersebarnya pemikiran kufur di tengah-tengah umat ini terjadi karena umat hidup dalam sistem Jahiliah. Itulah sistem demokrasi. Prinsip kebebasan dalam demokrasi menyuburkan pemikiran kufur. Sistem demokrasi juga dipimpin oleh para pemimpin yang mengkhianati amanah Allah dan Rasul-Nya dengan mengenyampingkan syariah Islam dalam mengatur urusan umat. Mereka tidak menjalankan fungsi sebagai junnah (perisai) akidah umat dan malah menjadi penjaga sistem Jahiliah tersebut.
Karena itu kita wajib mengupayakan penegakan syariah Islam secara kâffah dengan tharîqah menegakkan Khilafah ’ala Minhaj al-Nubuwwah. Caranya adalah dengan membaiat seorang khalifah untuk menjalankan fungsi ri’âyah (pengaturan urusan umat) dengan hukum syariah, dan menegakkan fungsi junnah, sebagaimana sabda yang mulia Rasulullah saw.:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِه
Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu perisai; orang-orang akan berperang mendukung dia dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya (HR Muttafaq ’Alayh).
Sifat junnah dalam hadis ini pun tak terbatas dalam peperangan semata,12 tetapi berkonotasi pula sebagai pelindung dari kezaliman dan penangkal dari keburukan sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibnu al-Atsir (w. 606 H);13 termasuk mencegah invasi pemikiran-pemikiran kufur hingga kaum Muslim bisa bangkit kembali dari kelumpuhannya, menjadi umat terbaik sesuai firman-Nya (Lihat: QS Ali Imran [3]: 110). [Irfan Abu Naveed]
Catatan kaki:
- Dr. Mushthafa al-Siba’i, Min Rawâi’i Hadhâratinâ, Beirut: Dâr al-Warrâq, cet. I, 1420 H, hlm. 7.
- Ibid, hlm. 8.
- Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ ’Ulûm al-Dîn, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, I/77.
- Abdul Qadim Zallum, Afkâr Siyâsiyyah, ___. cet. I, 1415 H, hlm. 54.
- Abu al-Muzhaffar Manshur al-Sam’ani, Tafsîr al-Qur’ân, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H, V/284.
- Ibid.
- Azhari Ahmad Mahmud, Dâ’ an-Nufûs wa Sumûm al-Qulûb: al-Ma’âshi, Dâr Ibn Khuzaimah, hlm. 15.
- Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi, Kitâb al-’Ain, Dâr al-Hilâl, VIII/350.
- Nuruddin al-Mala al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. I, 1422 H, VIII/3403.
- Waliyyuddin ‘Abdurrahman Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn, Damaskus: Dâr Ya’rib, cet. I, 1425 H, hlm. 250; Ibnu Khaldun, Dîwân al-Mubtada’ wa al-Khabar fî Târîkh al-‘Arab wa al-Barbar, Beirut: Dâr al-Fikr, cet. II, 1408 H, hlm. 631.
- Muhammad al-Khudhari Husain, Silsilah Milal wa Nihal [3]: Al-Ilhâd, Kuwait: Maktabah Ibn Taimiyyah, cet. I, 1406 H, hlm. 3-4.
- Nuruddin al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, VI/2391.
- Ibnu al-Atsir, Jâmi’ al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rasûl, Maktabat Dâr al-Bayân, cet. I, 1390 H, IV/63.