وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan (QS Hud [11]: 113).
Dalam ayat ini ditegaskan, kaum Mukmin dilarang merasa ridha, senang, dan condong terhadap pelaku semua jenis kezhaliman itu. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya mengutip beberapa penjelasan para ahli tafsir tentang makna al-rukûn. Qatadah berkata, ”Artinya, janganlah kalian mencintai dan menaati mereka.” Ibnu Juraih berkata, ”Janganlah condong atau cenderung kepadanya.” Abu al-Aliyah berkata, ”Janganlah kalian meridhai perbuatan mereka.” Ditegaskan al-Quruthubi semua pengertian itu saling berdekatan satu sama lain.
Menurut Abu Hayan al-Andalusi dalam tafsirnya, al-Bahr al-Muhîth, makna al-rukûn adalah al-mayl al-yasîr(kecenderungan ringan). Ini berarti setiap Muslim wajib membebaskan dirinya dari kezaliman. Bukan hanya dalam praktik, namun sekadar kecenderungan sedikit saja sudah tidak diperbolehkan.
Ungkapan al-ladzîna zhalamû kian mengukuhkan ketentuan tersebut. Sebab, ungkapan al-ladzîna zhalamû (orang yang berbuat dzalim) lebih ringan daripada al-zhâlimîn (orang yang dzalim). Jika kepada orang yang berbuat zhalim saja sudah dilarang cenderung kepadanya, lebih-lebih kepada orang-orang yang sudah terkategori zhalim.
Al-Zamakhsyari memaparkan beberapa perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai cenderung kepada pelaku perbuatan zhalim. Di antaranya adalah tunduk kepada hawa nafsu mereka, bersahabat dengan mereka, bermajelis dengan mereka, mengunjungi mereka, bermuka manis dengan mereka, ridha terhadap perbuatan mereka, menyerupai mereka, dan menyebut keagungan mereka.
Menurut al-Qurthubi larangan ini juga sejalan dengan firman Allah Swt:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu) (QS al-An’am [6]: 68)
Perbuatan zhalim itu yang tidak boleh diridhai tidak hanya berlaku terhadap kaum Musyrik, namun berlaku umum. Demikian penegasan al-Syaukani dalam tafsirnya Fath al-Qadîr. Termasuk pula di dalamnya terhadap tindakan dan perilaku zhalim penguasa.
Larangan cenderung kepada pelaku kezhaliman itu terkatagori haram. Sebab, orang yang mengerjakannya diancam dengan sanksi yang amat berat, yakni disentuh dengan api neraka. Allah Swt berfirman: fatamassakum al-nâr (menyebabkan kamu disentuh api neraka). Tak hanya itu, mereka diancam tidak akan mendapat penolong. Allah Swt berfirman: Wamâlakum min dûniLlâh min awliyâ’ tsumma lâ tunsharûn (dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain daripada Allah kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan).
Bertolak dari ayat tersebut dan penjelasan para ulama, maka sikap ridha dan senang, apalagi mendukung Ahok merupakan perbuatan terlarang yang diancam dengan neraka. Betapa tidak, dengan sangat angkuh dia menyebut orang-orang yang dibodohin pakai QS al-Maidah 51 dan macem-macem. Ini sungguh penghinaan yang luar biasa. Bagaimana mungkin al-Quran yang berasal dari Allah Swt disebut sebagai alat pembodoh.
Ketika diminta untuk maaf karena telah menghina al-Quran, dengan sombong dia menyebut bahwa yang dia maksudkan adalah orang-orang rasis dan pengecut yang membodohi orang untuk tidak memilih dirinya dengan menggunakan surat al-Maidah 51.
Sungguh ini melecehkan para ulama. Padahal para ulama hanya menyampaikan salah satu ketentuan hukum Allah Swt bahwa haram memilih dan mengangkat orang kafir sebagai pemimpin. Perkara ini telah menajdi ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Al-Qadhi Iyadh rahimahullah berkata:
أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الْإِمَامَةَ لَا تَنْعَقِدُ لِكَافِرٍ وَعَلَى أَنَّهُ لَوْ طَرَأَ عَلَيْهِ الْكُفْرُ انْعَزَلَ
Para ulama telah sepakat bahwa kepemimpinan tidak sah bagi orang kafir; dan menjadi kafir (murtad), maka diberhentikan (Imam an-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, vi/315).
Jika mendasarkan pernyataan Ahok, berarti para ulama mu’tabar itu adalah orang-orang yang rasis dan pengecut. Sungguh penghinaan yang luar biasa?
Wahai para pendukung Ahok, tidak adakah rasa marah ketika al-Quran dihina dan dinista? Tidakkah Anda merasa harga diri kalian telah diinjak-injak ketika para ulama dilecehkan dan direndahkan? Jika perasaan itu tidak ada, bersiaplah untuk menjadi penghuni neraka.
Oleh: Rokhmat S. Labib