Bagaimana hukum merayakan tahun baru bagi muslim? Ternyata
banyak kerusakan yang ditimbulkan sehingga membuat perayaan tersebut terlarang.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45
SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar
Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah
diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius
Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang
menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi
matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam
penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar
menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1
Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari
ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari
penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di
tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius
atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius
Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]
Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru
dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun
baru ini terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah
dirayakan oleh orang-orang kafir.
Berikut adalah beberapa kerusakan akibat seorang muslim
merayakan tahun baru.
Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan
‘Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan (’ied) kaum muslimin ada dua
yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan,
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
Namun setelah itu muncul berbagai perayaan (’ied) di tengah
kaum muslimin. Ada perayaan yang dimaksudkan untuk ibadah atau sekedar
meniru-niru orang kafir. Di antara perayaan yang kami maksudkan di sini adalah
perayaan tahun baru Masehi. Perayaan semacam ini berarti di luar perayaan yang
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan sebagai perayaan yang
lebih baik yang Allah ganti. Karena perayaan kaum muslimin hanyalah dua yang
dikatakan baik yaitu Idul Fithri dan Idul Adha.
Perhatikan penjelasan Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts
‘Ilmiyyah wal Ifta’, komisi fatwa di Saudi Arabia berikut ini:
Al Lajnah Ad Da-imah mengatakan, “Yang disebut ‘ied atau hari perayaan secara
istilah adalah semua bentuk perkumpulan yang berulang secara periodik boleh
jadi tahunan, bulanan, mingguan atau semisalnya. Jadi dalam ied terkumpul
beberapa hal:
- Hari yang berulang semisal idul fitri dan hari Jumat.
- Berkumpulnya banyak orang pada hari tersebut.
- Berbagai aktivitas yang dilakukan pada hari itu baik berupa ritual ibadah ataupun non ibadah.
Hukum ied (perayaan) terbagi menjadi dua:
Ied yang tujuannya adalah beribadah, mendekatkan diri kepada
Allah dan mengagungkan hari tersebut dalam rangka mendapat pahala, atau Ied yang mengandung unsur menyerupai orang-orang jahiliah
atau golongan-golongan orang kafir yang lain maka hukumnya adalah bid’ah yang
terlarang karena tercakup dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang mengada-adakan amal dalam agama kami ini
padahal bukanlah bagian dari agama maka amal tersebut tertolak.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh
(Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan
sejak dulu Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah mewanti-wanti
bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan
Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari
raya.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ » . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ « وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ »
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan
generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada
yang menanyakan pada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka
itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka,
lantas siapa lagi?“[4]
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ . قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum
kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika
orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku,
pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai
Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau
menjawab, “Lantas siapa lagi?” [5]
An Nawawi –rahimahullah– ketika menjelaskan hadits di atas
menjelaskan, “Yang dimaksud dengan syibr(sejengkal) dan dziro’ (hasta)
serta lubang dhob (lubang hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah
permisalan bahwa tingkah laku kaum muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah
Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan
berbagai penyimpangan, bukan dalam hal kekufuran. Perkataan beliau ini adalah
suatu mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi
saat-saat ini.”[6]
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan memang benar-benar terjadi saat ini.
Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang
setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula
perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara
tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh).
Beliau bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk
bagian dari mereka.” [7]
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini terjadi dalam hal
pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan
dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).[8]
Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan
di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal
dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara
orang-orang jahil ada yang mensyari’atkan amalan-amalan tertentu pada malam
pergantian tahun. “Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam
tahun baru kita isi dengan dzikir berjama’ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat
daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya”, demikian ungkapan
sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu
amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan
atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari’atkan amalan tertentu
ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan
meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan, “Daripada menunggu tahun baru
diisi dengan hal yang tidak bermanfaat, mending diisi dengan dzikir. Yang
penting kan niat kita baik.”
Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan
Ibnu Mas’ud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai
tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir
yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Mas’ud,
“Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami
tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud lantas berkata,
“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun
mereka tidak mendapatkannya.” [9]
Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah
cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.
Kerusakan Keempat: Terjerumus dalam Keharaman dengan
Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Kita telah ketahui bersama bahwa tahun baru adalah syiar
orang kafir dan bukanlah syiar kaum muslimin. Jadi, tidak pantas seorang muslim
memberi selamat dalam syiar orang kafir seperti ini. Bahkan hal ini tidak
dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’).
Ibnul Qoyyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah mengatakan, “Adapun
memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi
orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu
yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Contohnya adalah
memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan,
‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat
pada hari besar mereka dan semacamnya.” Kalau memang orang yang mengucapkan hal
ini bisa selamat dari kekafiran, namun dia tidak akan lolos dari perkara yang
diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan
kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan
perbuatan seperti ini lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam
ini lebih dibenci oleh Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada
orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat
pada maksiat lainnya.
Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal
tersebut. Orang-orang semacam ini tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang
mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada
seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia pantas
mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”[10]
Kerusakan Kelima: Meninggalkan Perkara Wajib yaitu Shalat
Lima Waktu
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk
untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini
diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari,
kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita
sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan
shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka
tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan
sama sekali. Na’udzu billahi min dzalik.
Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima
waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa
itu termasuk dosa besar.
Ibnul Qoyyim –rahimahullah– mengatakan, “Kaum muslimin
tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat
lima waktu) dengan sengaja termasuk dosa besar yang paling besar dan dosanya
lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan
minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan
kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[11]
Adz Dzahabi –rahimahullah– juga mengatakan, “Orang yang
mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang
meninggalkan shalat -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang
berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk
dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali
termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang
meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang
mujrim (yang berbuat dosa).”[12]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengancam
dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu.
Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah
shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13] Oleh karenanya,
seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya
terjerumus dalam dosa besar.
Dengan merayakan tahun baru, seseorang dapat pula terluput
dari amalan yang utama yaitu shalat malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.”[14]
Shalat malam adalah sebaik-baik shalat dan shalat yang biasa digemari oleh
orang-orang sholih. Seseorang pun bisa mendapatkan keutamaan karena bertemu
dengan waktu yang mustajab untuk berdo’a yaitu ketika sepertiga malam terakhir.
Sungguh sia-sia jika seseorang mendapati malam tersebut namun ia
menyia-nyiakannya. Melalaikan shalat malam disebabkan mengikuti budaya orang
barat, sungguh adalah kerugian yang sangat besar.
Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar’i dibenci oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian
tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah,
beliau berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur
sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[15]
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin
melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh
berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang
begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang
begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!”[16] Apalagi
dengan begadang, ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu
shalat Shubuh)?!
Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini,
perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur
antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih
parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang
sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam
bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan
ini riil terjadi di kalangan muda-mudi. Padahal dengan melakukan seperti
pandangan, tangan dan bahkan kemaluan telah berzina. Ini berarti melakukan
suatu yang haram.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan
ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Pertama zina mata adalah dengan
melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan
berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah
dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu
kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[17]
Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon,
petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu
kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu
orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu
muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
“Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya
tidak mengganggu orang lain.”[18]
Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini
adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya
dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri
mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu
hanya menyakiti seekor semut”.”[19] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus
dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas
bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara
bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kerusakan Kesembilan: Meniru Perbuatan Setan dengan
Melakukan Pemborosan
Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran
hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan
uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal
yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10
juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang
dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang
menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Masya Allah sangat
banyak sekali jumlah uang yang dibuang sia-sia. Itulah harta yang dihamburkan
sia-sia dalam waktu semalam untuk membeli petasan, kembang api, mercon, atau
untuk menyelenggarakan pentas musik, dsb. Padahal Allah Ta’ala telah
berfirman,
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (Qs.
Al Isro’: 26-27)
Ibnu Katsir mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauhi sikap boros dengan mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan.” Dikatakan demikian karena orang yang bersikap
boros menyerupai setan dalam hal ini.
Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Tabdzir
(pemborosan) adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.” Mujahid
mengatakan, “Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya dalam jalan
yang benar, itu bukanlah tabdzir (pemborosan). Namun jika seseorang menginfakkan
satu mud saja (ukuran telapak tangan) pada jalan yang keliru, itulah yang
dinamakan tabdzir (pemborosan).” Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir
(pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada
jalan yang keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”[20]
Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu
Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal
waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang bermanfaat dan bukan untuk hal
yang sia-sia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi
nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang,
Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan
hal yang tidak bermanfaat baginya.” [21]
Ingatlah bahwa membuang-buang waktu itu hampir sama dengan
kematian yaitu sama-sama memiliki sesuatu yang hilang. Namun sebenarnya
membuang-buang waktu masih lebih jelek dari kematian.
Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, “(Ketahuilah
bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu
akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan
kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”[22]
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat
waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan
tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan
ibadah kepada Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang
menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang
cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang
kepada kamu pemberi peringatan?” (Qs. Fathir: 37). Qotadah mengatakan,
“Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa
menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur
yang panjang untuk hal yang sia-sia.”[23]
Inilah di antara beberapa kerusakan dalam perayaan tahun
baru. Sebenarnya masih banyak kerusakan lainnya yang tidak bisa kami sebutkan
satu per satu dalam tulisan ini karena saking banyaknya. Seorang muslim tentu
akan berpikir seribu kali sebelum melangkah karena sia-sianya merayakan tahun
baru. Jika ingin menjadi baik di tahun mendatang bukanlah dengan merayakannya.
Seseorang menjadi baik tentulah dengan banyak bersyukur atas nikmat waktu yang
Allah berikan. Bersyukur yang sebenarnya adalah dengan melakukan ketaatan
kepada Allah, bukan dengan berbuat maksiat dan bukan dengan membuang-buang
waktu dengan sia-sia. Lalu yang harus kita pikirkan lagi adalah apakah hari ini
kita lebih baik dari hari kemarin? Pikirkanlah apakah hari ini iman kita sudah
semakin meningkat ataukah semakin anjlok! Itulah yang harus direnungkan seorang
muslim setiap kali bergulirnya waktu.
Ya Allah, perbaikilah keadaan umat Islam saat ini.
Perbaikilah keadaan saudara-saudara kami yang jauh dari aqidah Islam. Berilah
petunjuk pada mereka agar mengenal agama Islam ini dengan benar.
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama
aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan
(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya
kepada-Nya-lah aku kembali.” (Qs. Hud: 88)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat. Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Disempurnakan atas nikmat Allah di Pangukan-Sleman, 12
Muharram 1431 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
[1] Sumber bacaan: http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_baru
[2] HR. An Nasa-i no. 1556. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih.
[3] Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah
wal Ifta‘, 3/88-89, Fatwa no. 9403, Mawqi’ Al Ifta’.
[4] HR. Bukhari no. 7319, dari Abu Hurairah.
[5] HR. Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al Khudri.
[6] Al Minhaj Syarh Shohih Muslim, Abu Zakariya Yahya
bin Syarf An Nawawi, 16/220, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua,
1392.
[7] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘
(1/269) mengatakan bahwa sanad hadits inijayid/bagus. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul
Gholil no. 1269.
[8] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang
disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalamIqtidho’ Ash Shirotil
Mustaqim, 1/363, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417
H.
[9] HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa
sanad hadits ini jayid (bagus).
[10] Ahkam Ahli Dzimmah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah,
1/441, Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1418 H.
[11] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, Dar Al Imam
Ahmad
[12] Al Kaba’ir, hal. 26-27, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
[13] HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan
shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574
[14] HR. Muslim no. 1163
[15] HR. Bukhari no. 568
[16] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah.
[17] HR. Muslim no. 6925
[18] HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 41
[19] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 1/38, Asy Syamilah
[20] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5/69, pada
tafsir surat Al Isro’ ayat 26-27
[21] HR. Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa
Dho’if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits inishohih.
[22] Al Fawa’id, hal. 33
[23] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6/553, pada
tafsir surat Fathir ayat 37.