Soal:
Ustadz, mohon penjelasan tentang status nafkah yang harus diberikan seseorang, termasuk nafkah suami kepada istri dan mantan istrinya. Bagaimana menurut Islam?
Jawab:
Nafkah (nafaqah) secara harfiah artinya belanja dan pengeluaran. Secara istilah nafkah didefinisikan oleh al-‘Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, dengan:
الإِدْرَارُ عَلَى الشَّيْءِ بِمَا فِيْهِ بَقَاؤُهُ
Penetapan kewajiban atas sesuatu selama masih ada (terus berlangsung). [1]
Hukum memberikan nafkah ada beberapa kemungkinan:
Pertama: Fardhu ‘ain, seperti menafkahi diri sendiri, istri atau kerabat; atau karena terpaksa karena jika tidak diberi nafkah orang tersebut akan binasa, sementara tidak ada orang lain, kecuali kita.
Kedua: Fardhu kifayah, seperti memberi nafkah kepada orang yang membutuhkan, sementara ada yang lain, selain kita. Nafkah seperti ini wajib bagi seluruh kaum Muslim. Jika telah ditunaikan oleh sebagian, kewajiban tersebut gugur dari sebagian yang lain.
Ketiga: Mustahab (sunah/tidak wajib), seperti memberi nafkah kepada fakir miskin secara umum, ketika banyak orang yang bisa membantu, sementara kita bukan satu-satunya yang bisa membantu.
Mengenai sebab yang menjadikan nafkah tersebut wajib, menurut Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, dalam kitabnya, Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, bisa diklasifikasikan sebagai berikut:[2]
- Penahanan (ihtibâs): Siapa saja yang menahan orang atau hewan untuk kemaslahatannya, dia wajib memberi nafkah kepada orang dan hewan tersebut. Karena itu ketika seseorang memelihara hewan, dia wajib memberi hewan itu makan, minum dan kebutuhan yang diperlukan. Ketika seorang suami telah memperistri seorang wanita, maka dia pun wajib memberi dia nafkah.
- Kemiskinan (faqru): Nafkah orangtua kepada anaknya setelah dewasa, anak kepada orangtuanya, atau kerabatnya ketika mereka semuanya membutuhkan, adalah termasuk nafkah yang diwajibkan, karena faktor kemiskinan ini. Karena itu jika anak dewasa, orangtua dan kerabat kaya, maka mereka tidak lagi wajib diberi nafkah.
- Terpaksa (idhthirar): orang yang tidak mempunyai siapa-siapa, dan membutuhkan sesuatu yang dimiliki seseorang, sementara dia berlebih, maka nafkah orang tersebut menjadi fardhu ‘ain bagi orang tersebut. Namun, jika ada orang lain yang bisa membantu, kewajiban tersebut berubah menjadi fardhu kifayah, tidak fardhu ‘ain lagi bagi orang tersebut.
Lalu siapa yang berkewajiban memberi nafkah? Ini harus dirinci. Rinciannya dalam hukum Islam sebagai berikut:
Pertama, nafkah diri sendiri. Menafkahi diri sendiri, bagi yang mampu, hukumnya wajib. Ini berlaku bagi orang dewasa yang mampu membiayai dirinya sendiri. Membiayai diri sendiri harus didulukan ketimbang membiayai orang lain, meski hukum asalnya wajib. Karena itu dia wajib membiayai diri sendiri lebih dulu ketimbang anaknya, orangtua dan istrinya.
Kedua, nafkah istri. Suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya meskipun istrinya kaya. Tidak dilihat lagi, apakah suaminya dewasa atau belum, kaya atau miskin. Nafkah suami kepada istrinya berlaku sejak istrinya “ditawan” suaminya. Ini karena nafkah merupakan konsekuensi dari “penahanan” suami atas istrinya. Nafkah untuk istri didahulukan ketimbang anak, kedua orangtua dan kerabat. Namun, jika istrinya melakukan nusyuz,[3] maka kewajiban nafkah tersebut gugur dari suaminya. Jika suaminya kesulitan, sementara istrinya kaya, maka istrinya wajib membiayai suaminya dan dirinya, sebagai orang terdekat. Jika tidak bersedia, dia berhak untuk mengajukan talak. Dalam kondisi kesulitan, istri tidak boleh berutang atas nama suaminya, tanpa seizin suaminya, meski untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Ketiga, nafkah wanita yang menunggu masa iddah. Wanita yang menunggu masa iddah boleh jadi dalam keadaan hamil atau tidak. Jika hamil, mantan suaminya wajib memberi dia nafkah, baik karena talak bai’nmaupun raj’i.[4] Dasarnya firman Allah SWT dalam al-Quran (Lihat:QS at-Thalaq []: 6]
Jika tidak hamil, baik karena talak raj’i atau ba’in baynunah shughra atau kubra, maka istrinya berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal. Namun, jika masa ‘iddah karena li’an, yang statusnya fasakh,[5] bukan talak, istrinya tidak berhak mendapatkan nafkah maupun tempat tinggal.
Jika dia menunggu ‘iddah, karena suaminya meninggal dunia, maka istrinya tidak berhak mendapatkan nafkah, kecuali tempat tinggal saja. Pasalnya, harta peninggalan suaminya telah berubah menjadi warisan, sementara istrinya tidak berhak mendapatkan warisan, kecuali yang menjadi haknya. Mengenai tempat tinggal tetap wajib, dasarnya hadits al-Furai’ah, ketika dia meminta izin kepada Nabi saw. untuk meninggalkan rumahnya menemui keluarganya di Bani Khudrah, maka Nabi saw. menitahkan:
امْكُثِيْ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
Tetaplah tinggal (di rumah) hingga ketentuan itu sampai pada waktunya (HR Abu Dawud).
Perintah Nabi saw. untuk tetap tinggal di rumah suaminya, sekaligus menjadi dasar, bahwa rumah untuk istri yang ditinggal mati suaminya tetap menjadi hak istri, yang wajib dipenuhi.
Keempat, nafkah kerabat. Kerabat yang berhak mendapatkan nafkah harus memenuhi beberapa syarat, antara lain sebagai berikut:
- >Miskin: Kerabat tersebut miskin, tidak mempunyai harta, pekerjaan yang bisa digunakan untuk membiayai hidupnya.
- >Orang yang wajib memberi dia nafkah kaya: Orang yang diwajibkan untuk memberi nafkah juga harus kaya, dan mempunyai harta untuk membiayai kerabatnya, sebagaimana sabda Nabi saw.:
إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فَقِيْرًا فَلْيَبْدَأْ بِنَفْسِهِ
Jika salah seorang di antara kalian miskin, hendaknya memulai [nafkah] dengan dirinya sendiri (HR Muslim).
- >Orang yang wajib dinafkahi mempunyai hubungan mahram: Alasannya, nafkah kepada kerabat merupakan bentuk silaturahmi pada kerabat dekat, bukan kerabat jauh. Kerabat dekat adalah orang yang mempunyai hubungan “rahim muharramah” sehingga disebut kerabat dekat.
Secara umum, Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam Nasyrah yang dikeluarkan tanggal 13 Juli 1969 menyatakan:
Nafkah wajib diberikan kepada istri, ibu, anak perempuan dan perempuan lain yang nafkahnya wajib diberikan kepada mereka, baik mereka kondisinya mampu bekerja atau tidak karena hukum bekerja tidak wajib bagi mereka. Adapun nafkah bagi ayah, anak laki-laki dan laki-laki lain yang nafkahnya wajib diberikan kepada mereka, maka sebenarnya nafkah tersebut tidak wajib, kecuali jika tidak mampu bekerja.
Beliau melanjutkan:
Nafkah juga tidak wajib diberikan kepada pria maupun wanita, kecuali dalam kondisi miskin. Jika mereka mempunyai harta, nafkah tersebut tidak wajib diberikan kepada mereka. Anak juga tidak boleh dipaksa memberikan nafkah kepada kedua orangtuanya jika mereka tidak membutuhkan. Adapun kewajiban anak memberi nafkah (kepada orangtuanya) harus sama, jika mereka mampu memberi nafkah. Jika mereka semua tidak mampu memberi nafkah maka nafkah tersebut hanya wajib bagi yang mampu, sedangkan bagi yang lain tidak. Sebaliknya, kewajiban memberi nafkah tersebut gugur dari mereka.
Mengenai kadar nafkah yang wajib diberikan kepada orang yang wajib dibiayai adalah makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, pengobatan dan kebutuhan lain seperti biaya transportasi, perlengkapan kebersihan, pendingin ruangan (jika negerinya termasuk negeri tropis yang memang sangat dibutuhkan) atau pemanas (jika negerinya termasuk bersuhu dingin). Menikahkan dan biaya pernikahan juga termasuk bagian dari nafkah yang diwajibkan, karena dianggap sebagai kebutuhan.
Kadarnya memang tidak dibatasi dengan batasan tetap, tetapi sesuai dengan kadar kemampuan, dari aspek kuantitas maupun kualitas (Lihat: at-Thalaq [65]: 7).
Penulis: KH. Hafidz Abdurrahman
Catatan kaki:
- Al-‘Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, Dar al-Jil, Beirut, cet. I, 2000 M/1421 H, II/1895.
- Ibid, II/1894-1895.
- Istilah nusyuz hanya berlaku dalam dalam kasus pembangkangan istri kepada suaminya dalam dua hal: Pertama, kehidupan suami-istri. Kedua, urusan rumah. Dalam konteks lain, seperti istri mempunyai bisnis di luar rumah, kemudian tidak mengikuti kemauan suaminya, maka pembangkangan dalam kasus seperti ini tidak disebut nusyuz.
- Disebut talak raj’i karena suami masih mempunyai kesempatan kembali. Disebut ba’in karena keduanya harus berpisah dan bisa kembali dengan akad baru. Dalam hal ini, ada dua: Pertama, ba’in baynunah shughra ketika istri masa iddah-nya dari talak I dan II, sementara suaminya tidak menyatakan rujuk. Dalam kondisi seperti ini, jika suaminya mau rujuk, harus akad baru, sebagaimana pernikahan pertama. Kedua, ba’in baynunah kubra, yakni suami-istri harus benar-benar berpisah akibat talak III. Kalaupun boleh kembali, mantan istrinya harus dinikahi pria lain, dan disetubuhi, kemudian diceraikan. Setelah itu, baru boleh dia nikahi. Namun, tidak boleh dilakukan dengan konspirasi antara suami pertama dengan kedua.
- Li’an adalah proses, yakni suami-istri saling melaknat di depan pengadilan, karena tuduhan zina yang dialamatkan suami kepada istrinya, sementara tidak ada bukti 4 saksi. Status setelah li’an ini, maka hubungan suami-isteri batal untuk selamanya. Karena itu li’an tidak dihukumi seperti talak sehingga ada masa ‘iddah-nya, tetapi dihukumi fasakh, dengan ‘iddah cukup sekali haid atau sebulan untuk membersihkan kandungan dari kehamilan.