Dalam pekan-pekan terakhir ini, setidaknya ada dua peristiwa di Tanah Air yang cukup menyita perhatian masyarakat. Pertama, sebagaimana diberitakan oleh Detiknews.com (20/2), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pimpinan Djan Faridz akan tetap setia mendukung pasangan Ahok-Djarot di putaran kedua.
Pilihan PPP yang notabene mengklaim sebagai partai Islam untuk tetap mendukung Ahok tentu sangat ironis. Pasalnya, selain kafir, Ahok nyata-nyata telah menistakan al-Quran dan melecehkan ulama, sebagaimana pernah menimpa Ketua MUI sekaligus Rais ‘Am PBNU, KH Makruf Amin. Ahok pun diduga terindikasi banyak terlibat kasus korupsi selain banyak melakukan kezaliman, di antaranya penggusuran terhadap rakyat kecil di banyak tempat di Jakarta.
Dukungan terhadap kepemimpinan kafir juga muncul dari GP Ansor. Sebagaimana diberitakan, di antara keputusan Bahtsul Masail Kiai Muda bertema “Kepemimpinan Non-Muslim di Indonesia”, yang diadakan PP GP Ansor di Aula Iqbal Assegaf PP GP Ansor, Jakarta, adalah membolehkan seorang Muslim memilih pemimpin non-Muslim (Jawapos.com, 12/3).
Dukungan GP Ansor terhadap kepemimpinan kafir tentu bertentangan dengan keputusan PBNU selama ini. Sebagaimana dinyatakan oleh Rais Aam PBNU KH Ma’ruf Amin, dalam Muktamar NU di PP Lirboyo, Kediri, tahun 1999, diputuskan bahwa tidak boleh memilih atau memberikan kuasa pemimpin kepada non-Muslim, kecuali dalam keadaan darurat (Hidayatullah.com, 14/3).
Kedua, kasus korupsi e-KTP yang melibatkan banyak pejabat dan wakil rakyat (anggota DPR) di negeri ini. KPK menduga pengadaan proyek KTP elektronik merugikan negara sebesar Rp 2,3 Triliun (Kompas.com, 9/3).
Perilaku Munafik
Dua kasus di atas telah cukup menjadi bukti bahwa kemunafikan tumbuh subur di negeri yang pernah didaulat sebagai ‘jawara demokrasi’ ini. Mengapa munafik? Ya, jika bukan munafik, apa namanya sebuah partai Islam dan ormas Islam mendukung kepemimpinan kafir atas umat Islam? Padahal keharaman kepemimpinan kafir atas kaum Muslim telah ditegaskan dalam banyak ayat al-Quran (Lihat, antara lain: QS Ali ‘Imran [3]: 28, 118, 149-150; QS an-Nisa’ [4]: 141, 138-139, 144; QS al-Maidah [5]: 51, 57; QS at-Taubah [9]: 16, 23; QS al-Mujadilah [58]: 14-15, 22; QS al-Qashash [28]: 86; QS al-Mumtahanah [60]: 1, 5, 13).
Adapun dalam kasus korupsi e-KTP dan ragam korupsi lainnya, rakyat juga sudah sangat paham bahwa banyak lembaga dan aparat di negeri ini terjangkit virus korupsi. Dalam survei yang digelar Global Corruption Barometer (GBC) sejak pertengahan 2015 hingga awal 2017 ini diperoleh hasil bahwa 54% responden menilai DPR sebagai lembagai paling korup; disusul oleh lembaga birokrasi 50%, DPRD 47% dan Dirjen Pajak 45% (Cnnindonesia.com, 7/3/17).
Adapun dalam konteks Asia-Pasifik, hasil dari GCB 2017 memberikan gambaran, “Sebanyak 39% publik menganggap polisi adalah lembaga paling korup, disusul legislatif/DPR (37%), legislatif daerah (35%), birokrasi (35%) dan kementerian (31%).” (Republika.co.id, 07/03/17).
Padahal juga jelas, korupsi telah diharamkan dalam Islam sebagai tindakan menipu rakyat dan menyalahgunakan amanah. Rasul saw. bersabda:
«مَنِ اسْتُرْعِيَ رَعِيَّةً فَمَاتَ وَهُوَ لَهَا غَاشٌّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
Siapa saja yang diminta mengurus rakyat, lalu dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, Allah mengharamkan surga bagi dirinya (HR Abu Dawud).
Alhasil, korupsi juga merupakan cerminan dari perilaku munafik. Jika bukan munafik, apa namanya pejabat atau wakil rakyat yang sebelum terpilih mencitrakan diri sebagai calon yang amanah, bersih, jujur, anti korupsi, dll justru berperilaku korup?
Akibat Demokrasi
Demokrasi sejatinya adalah sistem korup yang melahirkan banyak perilaku munafik. Pasalnya, sejak awal politik demokrasi adalah ‘politik transaksional’. Dalam ‘politik transaksional’, kepentingan tentu menjadi faktor utama. Karena itu tidak aneh, selama sesuai dengan kepentingan seperti keuntungan ekonomi, meraih jabatan, mempertahankan dan mengamankan kekuasaan para aktor politik akan mengorbankan idealisme, termasuk prinsip-prinsip agama. Akibatnya juga tidak aneh: mereka menjadi orang-orang munafik.
Setelah terpilih sebagai penguasa, misalnya, mereka jahat dan zalim kepada rakyat dengan mengeluarkan banyak kebijakan yang merugikan rakyat; misalnya dengan terus-menerus menaikkan harga BBM dan tarif listrik, membebani rakyat dengan ragam pajak, menjual sumberdaya alam milik rakyat, dll. Padahal sebelum berkuasa, khususnya pada masa-masa kampanye Pemilu, mereka mencitrakan diri sebagai pembela wong cilik dan mencintai rakyat.
Contoh lain, karena kepentingan pula, ada partai atau ormas Islam mendukung kepemimpinan kafir; ada partai Islam yang dalam Pilkada DKI dengan ‘gagah’ mendukung pasangan calon Muslim, tetapi di banyak Pilkada lainnya mengusung pasangan calon non-Muslim dengan berbagai dalih.
Contoh lainnya lagi, ya kasus korupsi, yang seakan tidak pernah berkurang apalagi hilang di negeri ini. Demokrasilah yang terus melahirkan perilaku korup para pejabat atau wakil rakyat. Pasalnya, Pemilu/Pilkada dalam sistem demokrasi membutuhkan biaya sangat besar yang harus dikeluarkan oleh para calon. Menurut hasil riset LPEM UI, seorang caleg DPR rata-rata harus mengeluarkan dana minimal sebesar Rp 1,18 miliar untuk melakukan kampanye agar dapat menduduki kursi legislatif (Republika.co.id, 19/3/14).
Biaya besar juga tampak saat ingin masuk dalam lingkaran eksekutif. Dalam Pilkada DKI saja, rata-rata pasangan calon menghabiskan dana puluhan miliar. Akibatnya, saat terpilih menjadi penguasa, mereka akan berusaha mengembalikan modal saat pencalonan sekaligus mengeruk keuntungan sehingga para periode selanjutnya bisa terpilih kembali. Dari mana duitnya kalau bukan dari jalan korupsi? Tidak aneh jika hingga akhir 2014 saja tercatat 325 kepala dan wakil kepala daerah, 76 anggota DPR dan DPRD, serta 19 menteri dan pejabat lembaga negara yang terjerat kasus korupsi. Sekitar 70 persen dari total kepala dan wakil kepala daerah diseret ke meja hijau (Tribunnews.com, 25/12/2014).
Berakar pada Sekularisme
Demokrasi sejatinya berpangkal pada sekularisme. Sekularisme inilah yang menjadi biang masalah munculnya berbagai perilaku munafik. Pasalnya, sekularisme sejak awal menolak campur tangan Tuhan (baca: agama). Dalam konteks Islam, sekularisme jelas merupakan sebuah keyakinan dan sikap nifâq. Akibatnya, sekularisme telah melahirkan orang-orang munafik, khususnya di kalangan penguasa/pejabat maupun wakil rakyat. Bukankah munafik namanya, mengaku Muslim tetapi tidak mau diatur dengan syariah Islam? Bukankah munafik namanya, mengaku hamba Allah SWT, tetapi menolak aturan-aturan-Nya? Bukankah munafik namanya, mengklaim al-Quran sebagai pedoman hidup, tetapi hukum-hukumnya dicampakkan? Bukankah munafik namanya, mengaku Muslim, tetapi mendukung kepemimpinan kafir? Bukankah munafik namanya, mengklaim diri Muslim, tetapi berperilaku korup yang justru diharamkan oleh Islam? Inilah yang terjadi dalam sebuah negara sekular seperti Indonesia saat ini.
Dua Jenis Munafik
Sebagian ulama membagi orang munafik menjadi dua. Pertama: munafik secara i’tiqâdi. Pelakunya pada dasarnya kafir, tetapi berpura-pura atau menampilkan diri sebagai Muslim semata-mata demi menipu Allah SWT (QS an-Nisa’ [4]: 142). Bayangkan, Allah SWT saja mereka tipu. Bagaimana dengan rakyat mereka?! Munafik jenis ini ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka (QS an-Nisa’ [4]: 145). Mereka inilah ‘musuh dalam selimut’. Mereka ini, di dalam hatinya pada hakikatnya mendustakan kitab-kitab Allah dan para malaikat-Nya atau mendustakan salah satu asas Islam (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 8-10).
Kedua: munafik secara ‘amali. Pelakunya boleh jadi Muslim, tetapi memiliki sifat-sifat/ciri-ciri orang munafik. Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
«آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ»
Ada tiga tanda orang munafik: jika berkata, berdusta; jika berjanji, ingkar; jika dipercaya, khianat (HR al-Bukhari dan Muslim).
Selain itu, dalam salah satu kitabnya, ‘Aid Abdullah al-Qarni menyebutkan beberapa sifat kaum munafik yang disebutkan dalam al-Quran, di antaranya: dusta; khianat; ingkar janji; riya (doyan pencitraan); mencela orang-orang taat dan shalih; memperolok-olok al-Quran, as-Sunnah dan Rasulullah saw.; bersumpah palsu; tidak peduli terhadap nasib kaum Muslim; suka menyebarkan kabar bohong (hoax); mencaci-maki kehormatan orang-orang shalih; membuat kerusakan di muka bumi dengan dalih mengadakan perbaikan; tidak ada kesesuaian antara lahiriah dan batiniah; menyuruh kemungkaran dan mencegah kemakrufan; sombong dalam berbicara; menantang Allah SWT dengan terus berbuat dosa; dst.
Terapkan Syariah, Tegakkan Khilafah
Alhasil, selama negeri ini tetap menerapkan sekularisme dengan dengan demokrasi sebagai salah satu pilarnya, perilaku munafik di kalangan penguasa/para pejabat dan wakil rakyat khususnya tidak akan pernah berkurang, apalagi hilang. Persoalan ini hanya mungkin diatasi saat bangsa ini menerapkan syariah Islam sebagai sistem terbaik, sebagaimana firman-Nya:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Sebagai sistem terbaik, syariah Islam tentu wajib diterapkan secara kâffah dalam sistem pemerintahan terbaik. Itulah Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah.
Al-Islam No. 848, 18 Jumada ats-Tsani 1438 H – 17 Maret 2017 M