Soal:
Baru-baru ini telah ditemukan naskah al-Quran tertua, bahkan diklaim lebih dulu ketimbang zaman Nabi saw. Pertanyaannya, benarkah klaim ini? Jika benar, bisakah bukti fisik seperti ini dijadikan alat untuk membuktikan keaslian al-Quran?
Jawab:
Pertama: Al-Quran telah didefinisikan oleh para ulama dengan:
كَلاَمُ اللهِ المُعْجِزُ المُنَزَّلُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَاسِطَةِ جِبْرِيْل عَلَيْهِ السَّلاَمُ، وَنُقِلَ إِلَيْنَا نَقْلاً مُتَوَاتِرًا بَيْنَ دَفَتَي المُصْحَفِ.
"Kalam Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada junjungan kita, Muhammad saw., melalui Malaikat Jibril as., dan dinukil kepada kita secara mutawatir di antara dua ujung Mushaf (al-Fatihah sampai an-Nas).” [1]
Proses transmisi al-Quran kepada kita berbeda dengan hadis. Jika hadis sampai kepada kita melalui riwayat, maka al-Quran sampai kepada kita melalui penukilan. Menukil itu artinya memindahkan apa adanya, baik makna, huruf maupun bacaannya. Berbeda dengan meriwayatkan. Meriwayatkan itu artinya menyampaikan makna, bisa dengan redaksi yang sama sehingga dikenal riwâyat bi al-lafzhi; bisa dengan redaksi yang berbeda, atau disebut riwâyat bi al-ma’na.
Karena itu di dalam al-Quran tidak dikenal istilah riwâyat bi al-ma’na karena al-Quran memang tidak disampaikan melalui periwayatan. Sebaliknya, di dalam hadis dikenal istilah riwayat bi al-ma’na karena proses transmisi seperti ini terjadi di dalamnya.
Kedua: Pembukuan al-Quran dilakukan begitu al-Quran diturunkan kepada Nabi saw. Saat al-Quran turun, Nabi saw. pun memanggil pencatat wahyu untuk menuliskan ayat atau surat yang diturunkan kepada beliau. Di Makkah, ‘Abdullah bin Saad bin Abi Sarh dan Khalid bin Said bin al-‘Ash adalah nama-nama pencatat wahyu, ketika masih di Makkah, sebelum hijrah. [2]
Khalid bin Said bin al-‘Ash berkata, “Akulah orang yang pertama kali menulis “BismilLahirrahmanirrahim (Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang).” [3]
Dokumen penulisan al-Quran ini juga bisa ditemukan dalam riwayat Ibn Hisyam. Sebagaimana diketahui, Umar bin al-Khaththab pernah mendatangi rumah adiknya, Fatimah dan Said bin Zaid, yang sedang mempelajari al-Quran yang disampaikan oleh Khubab bin al-Art. QS Thaha yang diajarkan itu ditulis pada selembar kulit disembunyikan oleh Fatimah agar tidak diketahui oleh Umar. [4]
Dalam riwayat lain, al-Kattani, dalam kitabnya At-Tarâtib al-Idâriyyah, menuturkan riwayat, “Sewaktu Rafi’ bin Malik al-Anshari menghadiri Baiat ‘Aqabah, Nabi Muhammad saw. menyerahkan semua ayat yang diturunkan pada dasawarsa sebelumnya. Ketika kembali ke Madinah, Rafi’ mengumpulkan semua anggota sukunya dan membacakan di depan mereka.” [5]
Setelah di Madinah, jumlah para penulis wahyu Nabi saw. pun bertambah banyak, tak kurang dari 65 Sahabat. [6]
Ketiga: Al-Quran yang dibukukan di zaman Nabi saw. itu didiktekan langsung oleh beliau di hadapannya. Nabi saw. mengetahui huruf dan tulisannya. Setelah ditulis, penulis wahyu itu pun membacakan ulang apa yang dia tulis kepada Nabi saw. untuk memastikan tulisan, bacaan dan maknanya. Ini sebagaimana yang dituturkan oleh Zaid bin Tsabit. [7]
Karena itu al-Quran telah ditulis dan direkam dengan baik pada zaman Nabi saw. Zaid bin Tsabit menuturkan, “Kami mengumpulkan al-Quran di depan Nabi Muhammad saw.” [8]
Nabi saw. kemudian memerintahkan, “Letakkan ayat-ayat tersebut ke dalam Surat sebagaimana yang Baginda saw. sebutkan.” [9]
Dalam kesempatan lain, Zaid bin Tsabit menyatakan, “Rasulullah saw. telah wafat, sementara al-Quran belum terkumpulkan sedikitpun.” [10]
Ini tidak berarti, bahwa al-Quran belum ditulis dan dibukukan. Namun, yang benar, al-Quran sudah ditulis dan dibukukan, meski masih berserakan, dan belum terhimpun dalam satu mushaf.
Keempat: Setelah Rasulullah saw. wafat dan Abu Bakar ra. menjabat sebagai khalifah, Umar bin al-Khaththab mengusulkan kepada beliau agar al-Quran dikumpulkan menjadi satu mushaf. Namun, usulan ini ditolak meski kemudian pada akhirnya diterima oleh Abu Bakar. Beliau lalu menunjuk Zaid bin Tsabit, “Carilah semua al-Quran (yang berserakan) agar dapat dikumpulkan seluruhnya.”
Meski awalnya merasa berat, Zaid bin Tsabit akhirnya menerima tugas ini, dibantu oleh Umar ra. [11]
Dalam pelaksanaannya, Khalifah Abu Bakar mensyaratkan beberapa hal. Abu Bakar tidak memberikan wewenang kepada dia agar menulis (menyalin), kecuali apa yang telah tersedia dalam bentuk tulisan berupa kertas (kulit). Itulah alasannya, mengapa Zaid tidak mau memasukkan ayat terakhir QS al-Bara’ah sebelum sampai dengan membawa bukti suatu ayat yang telah tertulis (dalam bentuk tulisan) kendati ia mempunyai banyak Sahabat yang dengan mudah untuk mengingatnya kembali secara tepat dari hapalan mereka. [12]
Zaid bin Tsabit menuturkan, bagaimana tugas tersebut dia lakukan, “Al-Quran saya kumpulkan dari berbagai bentuk kertas, kulit, potongan tulang dan dari dada-dada para penghapalnya.” [13]
Dalam riwayat lain, Zaid menuturkan, “Saya mendapati dua ayat terakhir QS al-Bara’ah hapalannya ada pada Abu Khuzaimah al-Anshari.” [14]
Karena itu, sebenarnya al-Quran yang dikumpulkan oleh Zaid bin Tsabit di zaman Abu Bakar ini sebenarnya bukanlah al-Quran yang baru, namun materi yang sama yang telah ditulis dan dibukukan di zaman Nabi saw. Setelah seluruh materi ini terkumpul, maka arsipnya pun disimpan di arsip kenegaraan di bawah pengawasan Abu Bakar as-Shiddiq ra.
Kelima: Sepeninggal Abu Bakar dan Umar menjadi khalifah, kompilasi al-Quran tersebut dipindahkan ke rumah Hafshah binti Umar hingga ‘Umar wafat dan digantikan oleh Utsman bin ‘Affan. Pada zaman Khalifah Utsman inilah, kompilasi al-Quran ini digandakan setelah mendengar nasihat ‘Ali bin Abi Thalib, “Saya tahu, kita ingin menyatukan manusia (umat Islam) dengan satu mushaf. Dengan itu tidak ada lagi perbedaan dan perselisihan. Saya berpendapat, sebagaimana pendapat Anda.” [15]
Khalifah Utsman pun mengirimkan surat kepada Hafshah ra, “Kirimkanlah Suhuf kepada kami agar kami dapat membuat naskah yang sempurna. Kemudian Suhuf itu akan kami kembalikan kepada Anda.”
Hafshah pun mengirimkan Suhuf itu kepada Khalifah Utsman. Beliau kemudian memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit, ‘Abdullah bin Zubair, Said bin al-‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Harits bin Hisyam agar memperbanyak salinan naskah tersebut. Setelah selesai, Suhuf ini pun dikembalikan kepada Hafshah. [16] Mushaf inilah yang dikemudian dikenal dengan Mushaf dan Rasm ‘Utsmânî. Dengan demikian mushaf ini merupakan mushaf mutawâtir.
Keenam: Mushaf Mutawâtir inilah yang dinyatakan oleh Imam as-Syafii sebagai al-Quran. Adapun mushafahad, seperti Mushaf Ibn Mas’ud, Mushaf Ubay bin Kaab, dan lain-lain tidak diakui sebagai al-Quran, dan tidak bisa digunakan sebagai hujjah atas nama al-Quran. Alasannya, karena Nabi saw. telah diberi tugas untuk menyampaikan al-Quran yang diturunkan kepada beliau, kepada sekelompok orang, yang perkataan mereka bisa menjadi hujjah yang qath’i. Orang yang perkataannya bisa menjadi hujjah yang qath’i tak terbayang setuju untuk tidak menukil apa yang mereka dengarkan dari Nabi saw. [17]
Dengan cara seperti itulah, al-Quran sampai kepada kita. Dengan cara yang sama, al-Quran pun terjaga keasliannya. Begitulah. Pendek kata, al-Quran yang telah sampai kepada kita itu adalah al-Quran yang telah dinukil secara mutawatir, baik makna, tulisan maupun bacaannya. Allah SWT sendiri berjanji memastikan al-Quran terpelihara:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْر وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran ini dan sesungguhnya Kamilah yang akan menjaga-Nya (QS al-Hijr [15]: 9).
Ketujuh: Mengenai fakta bahwa telah terjadi penambahan pada titik, harakat dan tanda baca pada mushaf yang baru dilakukan pada zaman Muawiyah (w. 60 H/679 M), ketika Muawiyah menugaskan Abu al-Aswad ad-Du’ali (w. 69 H/688 M), yang di zaman Khalifah Umar bin al-Khaththab telah beliau minta menulis risalah tentang tata bahasa Arab, dan telah merintis tanda baca dalam huruf Arab. [18] Semua ini tidak mengurangi keaslian al-Quran. Justru semuanya ini dilakukan untuk menjaga keotentikannya agar tulisan, bacaan dan maknanya tetap terjaga.
Adapun temuan naskah yang diklaim ada sebelum Nabi saw., dan klaim itu didasarkan pada hasil pengujian yang teliti, maka klaim ini sesungguhnya tidak bisa menggugurkan keaslian naskah al-Quran yang ada di tangan kita. Pertama: Temuan ini hanya membuktikan “adanya” naskah, yang diklaim sebagai naskah al-Quran. Kedua: “Adanya” naskah ini tidak bisa digunakan untuk membuktikan hakikatnya, termasuk umurnya, kapan dibuat, dan seterusnya. Jika pun bisa, hasilnya hanya bersifat spekulasi, yaitu “diperkirakan berumur”, “diperkirakan dibuat pada tahun sekian”, dan seterusnya.
Karena itu jika “adanya” naskah ini hanya bisa menghasilkan kesimpulan spekulatif tentang umur al-Quran dan kapan dibuat, maka kesimpulan seperti ini tidak bisa meruntuhkan fakta yang qath’i bahwa al-Quran yang ada di tangan kita ini asli.
Dengan demikian, klaim temuan naskah tersebut hanyalah cara lain setelah berbagai cara yang dilakukan oleh kaum kafir gagal untuk meragukan keaslian al-Quran. Untuk pengayaan dalam masalah ini, silakan baca buku Prof. Dr. M.M. Al-A’dhami, The History of The Qur’anic Text: From Revelation to Compilation.
Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman
Catatan kaki:
[1] Lihat, Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/161.
[2] Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, IX/22; As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr Tafsîr al-Qur’ân bi al-Ma’tsûr, I/11.
[3] Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bârî, IX/22.
[4] Lihat: Ibn Hisyam, As-Sîrah an-Nabawiyyah, I/343-346.
[5] Al-Kattani, At-Tarâtib al-Idâriyyah: an-Nuzhum al-Hukmiyyah, I/44.
[6] Prof. Dr. M. Musthafa A’dhami, Kutâb an-Nabi.
[7] As-Suli, Adab al-Kutab, hlm. 165; al-Hatsami, Majma’ az-Zawâ’id wa Manba’ al-Fawâ’id, I/52.
[8] At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hlm. 141; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, V/185; al-Hakim, Al-Mustadrak, II/229.
[9] At-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, hadis no. 3086; Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, I/69; al-Hakim, Al-Mustadrak, I/221.
[10] Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX/12.
[11] Abi Dawud, Al-Mashahif, hlm. 6.
[12] Ibn Hajar, Fath al-Bârî, IV/13.
[13] Az-Zarkhasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, I/238-239.
[14] Ibn Hajar, Fath al-Bârî, IV/13.
[15] Abu Dawud, Al-Mashahif, hlm. 22.
[16] Ibn Hajar, Fath al-Bari, IX/ii; Abu Dawud, Al-Mashahif, hlm. 19-20; Abu ‘Ubaid, Fadhâ’il, hlm. 282.
[17] Saifuddin al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/160.
[18] Ad-Dani, Al-Muhkam, hlm. 4-5; Ibn an-Nadim, al-Fihrist, hlm. 46.