Sebagaimana diberitakan oleh banyak media online, Pemerintah melalui pernyataan Menko Polhukam Wiranto (8/5) secara resmi akan menempuh langkah-langkah hukum untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sudah diduga, pernyataan Pemerintah ini menimbulkan reaksi keras dari masyarakat, termasuk para tokohnya. Hal ini terlihat dari berbagai survey terkait wacana pembubaran HTI. Mayoritas menolak. Para tokoh seperti Yusril Ihza Mahendra, Hidayat Nur Wahid, Fahri Hamzah, dsb, rata-rata berkomentar bahwa jika pun ormas-ormas yang dicap anti Pancasila harus dibubarkan, pembubaran itu harus melalui pengadilan. Bahkan Sri Bintang Pamungkas tegas menolak sama sekali pembubaran HTI.
Apa sesungguhnya dalih Pemerintah yang berniat membubarkan HTI? Dari berbagai pernyataan beberapa pejabat Pemerintah sebelumnya, seperti Kapolri dan Menko Polhukam, tampak bahwa salah satu dalihnya adalah karena HTI gencar menyuarakan gagasan tentang Khilafah. Menurut mereka, Khilafah bertentangan dengan Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945. Dalih atau alasan yang lebih layak disebut dengan tuduhan atau tudingan tersebut tentu ngawur. Pasalnya, Khilafah adalah salah satu ajaran Islam. Menolak Khilafah sama saja dengan menolak Islam sebagai agama yang diakui keberadaannya di negeri ini.
Apa Itu Khilafah?
Terkait Khilafah, Wahbah Az-Zuhaili berkata, “Patut diperhatikan bahwa Khilafah, Imamah Kubra dan Imaratul Mu`minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881).
Kata khilâfah banyak dinyatakan dalam hadis, misalnya:
«إنَّ أَوَّلَ دِيْنِكُمْ بَدَأَ نُبُوَّةً وَرَحْمَةً ثُمَّ يَكُوْنُ خِلاَفَةً وَرَحْمَةً»
Sesungguhnya (urusan) agama kalian berawal dengan kenabian dan rahmat, lalu akan ada Khilafah dan rahmat (HR al-Bazzar).
Kata khilâfah dalam hadis ini memiliki pengertian: sistem pemerintahan, pewaris pemerintahan kenabian. Ini dikuatkan oleh sabda Rasul saw.:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُم الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
Dulu Bani Israel dipimpin dan diurus oleh para nabi. Jika para nabi itu telah wafat, mereka digantikan oleh nabi yang baru. Sungguh setelah aku tidak ada lagi seorang nabi, tetapi akan ada para khalifah yang banyak (HR al-Bukhari dan Muslim).
Pernyataan Rasul saw., “Sungguh setelah aku tidak ada lagi seorang nabi,” mengisyaratkan bahwa tugas dan jabatan kenabian tidak akan ada yang menggantikan beliau. Khalifah hanya menggantikan beliau dalam tugas dan jabatan politik, yaitu memimpin dan mengurusi umat.
Dari kedua hadis di atas dapat kita pahami bahwa bentuk pemerintahan yang diwariskan Nabi saw. adalah Khilafah. Karena itulah menurut Imam al-Mawardi, “Imamah (Khilafah) itu ditetapkan sebagai khilafah (penggganti) kenabian dalam pemeliharaan agama dan pengaturan dunia dengan agama.” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm ash-Shulthâniyah, hlm. 5),
Hal senada dinyatakan oleh Ibnu Khaldun, “Khilafah pada hakikatnya adalah pengganti dari Shâhib asy-Syâr’i (Rasulullah saw.) dalam pemeliharaan agama dan pengaturan urusan dunia dengan agama.” (Ibn Khaldun, Al-Muqaddimah, hlm. 190).
Dalil Kewajiban Menegakkan Khilafah
Pertama: Dalil al-Quran. Syaikh Abdullah bin Umar Sulaiman ad-Dumaji dalam kitabnya, Al-Imamah al-‘Uzhma ‘inda Ahl As-Sunnah wa al-Jama’ah (hlm 49-64) mengemukan beberapa ayat al-Quran sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah di antaranya adalah QS an-Nisa` [4]: 59, QS al-Maidah [5]: 48-49, QS al-Hadid [57]: 25 serta ayat-ayat hudûd qishâsh, zakat dan lain-lain yang pelaksanaannya dibebankan kepada Khalifah.
Kedua: Dalil as-Sunnah. Rasulullah saw. antara lain bersabda:
«مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
Siapa saja yang mati dalam keadaan tidak ada baiat (kepada Khalifah) di atas pundaknya, maka matinya mati Jahiliah (HR Muslim).
Hadis ini mengandung perintah untuk mewujudkan Khalifah yang dibaiat oleh kaum Muslim. Pasalnya, hanya dengan adanya Khalifah akan terdapat baiat di atas pundak kaum Muslim. Adanya sifat jahiliah menunjukkan bahwa tuntutan perintah itu sifatnya tegas sehingga hukumnya wajib.
Ketiga: Dalil Ijmak Sahabat. Menurut Imam ath-Thabari dalam Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, generasi awal Islam yang hidup pada kurun terbaik telah memberikan perhatian yang sangat besar terhadap urusan Kekhilafahan. Para Sahabat besar seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali r.a. dan para Sahabat besar lainnya bergegas mengangkat seorang khalifah tatkala khalifah sebelumnya mangkat atau karena ada sebab-sebab syar‘î lainnya. Ini menunjukkan bahwa menegakkan Khilafah adalah wajib.
Andai keharusan adanya Khilafah itu tidak wajib, tentu tidak akan terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah (Khilafah) di kalangan para Sahabat (Muhajirin dan Anshar) sesaat setelah Rasulullah saw. wafat. Mereka menunda untuk sementara kewajiban mengurus jenazah Baginda Rasulullah saw. dan malah mendahulukan pemilihan, pengangkatan dan pembaiatan Khalifah. Tindakan para Sahabat ridwanullâh ‘alayhim ini menunjukkan bahwa mereka memandang Khilafah adalah wajib sebagaimana pengurusan jenazah Rasulullah saw. Sebabnya, kalau sekadar sunnah atau mubah saja, tentu mereka tidak akan sampai menunda untuk sementara pengurusan jenazah Rasulullah saw. yang statusnya adalah wajib. Dengan demikian menjadi ketetapan bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib berdasarkan syariah, bukan akal (Lihat: Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).
Karena itulah Imam al-Haitami menyatakan. “Ketahuilah, para Sahabat ra. telah berijmak (bersepakat) bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman nubuwwah (kenabian) adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan Imamah (Khilafah) sebagai kewajiban terpenting tatkala mereka menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut dengan menunda penguburan jenazah Rasulullah saw.” (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 17).
Ijmak Ulama Aswaja Tentang Khilafah
Dengan adanya dalil-dalil di atas, wajar jika kewajiban menegakkan Khilafah ini telah menjadi ijmak para ulama, khususnya ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Qurthubi, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban tersebut (mengangkat khalifah) di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham yang tuli (‘asham) terhadap syariah dan siapa saja yang berkata dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264).
Imam an-Nawawi juga menyatakan, “Mereka (para imam mazhab) telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang khalifah.” (An-Nawawi, Syarh Muslim, 12/ 205. Lihat juga: Asy-Syarbini al-Khathib, Mughni al-Muhtâj, XVI/287; Abu Yahya Zakaria al-Anshri, Fath al-Wahâb, II/268; Asy-Syaikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-Bajairimi, Hasyiyah al-Bajayrimi ala al-Khatib, XII/ 393).
Pendapat tetang kewajiban menegakkan Khilafah ini juga diketengahkan oleh para ulama besar lain semisal Imam Ahmad, al-Bukhari dan Muslim, at-Tirmidzi, ath-Thabarani dan Ashhab as-Sunan lainnya; Imam al-Zujaj, Abu Ya‘la al-Firai, al-Baghawi, Zamakhsyari, Ibnu Katsir, Imam al-Baidhawi, Imam an-Nawawi, ath-Thabari, al-Qurthubi, Ibnu Khaldun, Imam al-Qalqasyandiy, dan lain-lain (Lihat: Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, hlm. 26; al-Qalqasyandi, Mâtsir al-Inâfah fî Ma‘âlim al-Khilâfah, I/16; Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasysyâf, 1/209; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 1/70; Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr al-Ta‘wîl, hlm. 602; Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, III/277; Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldûn, II/519; Ibnu ‘Abd al-Barr, al-Isti‘âb fî Ma‘rifah al-Ashhâb, III/1150 dan Târîkh al-Khulafâ’, hlm. 137-138, dan lain-lain).
Pendapat para ulama tedahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirin (Lihat, misalnya: Syaikh Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248; dll).
Hampir tidak ada seorang pun ulama yang mukhlish sejak generasi awal Islam hingga generasi muta’akhirîn yang mengingkari kewajiban untuk menegakkan Khilafah ini.
Khilafah Ajaran Islam
Alhasil, Khilafah adalah ajaran Islam. Ini adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Di Indonesia, Sulaiman Rasyid, dalam kitabnya yang sangat terkenal, Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang Khilafah. Bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air. Karena itu Khilafah sesungguhnya bukan merupakan sesuatu yang asing bagi umat Islam. Jadi, mengapa ajaran yang mulia ini saat ini tiba-tiba dikriminalkan? Mengapa pula para pengusung gagasan Khilafah dianggap berbahaya dan memecah-belah? Jika memang Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, mengapa mendakwahkan gagasan Khilafah yang merupakan ajaran Islam dipersoalkan? Tidakkah ini menunjukkan bahwa rezim ini anti Islam sekaligus yang justru anti Pancasila?!
Komentar al-Islam:
- HNW: Pembubaran Ormas Harus Melalui Mekanisme Peradilan (Republika.co.id, 8/5/2017).
- Berdasarkan UU yang ada, pembubaran ormas memang mesti melalui mekanisme peradilan.
- Jika memang peradilan di negeri ini jujur dan adil, tentu tidak ada alasan sama sekali HTI dibubarkan karena HTI tidak pernah sekalipun melakukan pelanggaran hukum di negeri ini.
- HTI hanya menawarkan gagasan Khilafah sebagai kewajiban syariah dan solusi terbaik dan total bagi segenap problem di negeri ini yang sedang diambang kehancuran akibat penerapan sistem kapitalisme-liberalisme.
Al-Islam No. 856, 15 Sya’ban 1438 H-12 Mei 2017