Hukum-Hukum Syariat
Dalam Islam kita mengenal hukum-hukum syariat yang terbagi menjadi lima ketetapan yaitu:
- Wajib
Dikerjakan berpahala dan ditinggalkan berdosa. (Harus Dikerjakan)
- Sunnah
Dikerjakan berpahala dan ditinggalkan tidak berdosa.
- Mubah
Dikerjakan ataupun tidak, tidak berdosa ataupun berpahala. (Boleh)
- Makruh
Ditinggalkan lebih baik daripada mengerjakannya.
- Haram
Ditinggalkan berpahala dikerjakan berdosa. (Harus Ditinggalkan)
Hukum Sanksi
Selain itu dalam Islam kita juga mengenal hukum sanksi yaitu:
Hudud
Hudud adalah sanksi dari kemaksiatan yang telah ditetapkan kadarnya berdasarkan hak Allah. Dinamakan hudud karena pada umumnya, mencegah orang yang berbuat maksiat dan agar tidak kembali kepada kemaksiatan yang telah ditetapkan hadnya. Had disebutkan untuk kemaksiyatan itu sendiri, sebagaimana firman Allah swt: “Itulah larangan Allah (hudud), maka janganlah kamu mendekatinya..” (QS. al-Baqarah [2]: 187).
Had sendiri artinya ketentuan tentang sanksi terhadap pelaku kejahatan, berupa siksaan fisik atau moral, menurut syariat yaitu ketetapan Allah yang terdapat di dalam al-qur’an, dan atau kenyataan yang dilakukan oleh Rasulullah.
Jinayat
Sedangkan jinayat disebutkan untuk penganiayaan atau penyerangan terhadap badan yang mewajibkan qishash (balasan setimpal) atau diyat (denda). Penganiayaan itu mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh. Maksud dari jinayat di sini adalah sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan tersebut. Dalam sanksi ‘uqubat terdapat haq seorang hamba. Dan selama berkaitan dengan haq hamba, maka bagi pemilik haq (shâhibul haq) boleh memberikan ampunan, dan menggugurkan haqnya. Allah Swt berfirman: “Dan barangsiapa mendapatkan suatu pema’afan dari saudaranya.” (QS. al-Baqarah [2]: 178).
Ta’zîr
Adapun ta’zîr adalah sanksi bagi kemaksiatan yang di dalamnya tidak ada had dan kifârat. Melakukan perbuatan maksiat perlu dilihat dahulu, apabila Allah Swt. telah menetapkan sanksi tertentu bagi kemaksiyatan tersebut, maka ia termasuk ke dalam hudud. Maka pelanggarnya akan dikenai sanksi had yang telah disyari’atkan oleh Allâh Swt., bukan ta’zîr. Demikian pula bila di dalamnya telah ditetapkan kifârat tertentu, maka pelanggarnya dipaksa untuk membayar kifârat-kifâratnya.
Adapun bila tidak terkategori ke dalam hudûd dan syâri’ tidak menetapkan kifâratnya, maka hal ini masuk ke dalam sanksi ta’zîr. Sedangkan mengenai penganiayaan terhadáp badan tidak dita’zîr, sebab sanksinya telah dijelaskan oleh Syâri’at. Ta’zîr sendiri ialah sanksi yang bentuknya tidak ditetapkan secara spesifik oleh syâri’at, dan bentuk sanksinya tidak mengikat.
Mukhâlafât
Adapun mukhâlafât adalah ‘uqûbât yang dijatuhkan oleh penguasa kepada orang yang menentang perintah penguasa; baik khalîfah, atau selain khalîfah seperti para mu’awin, para wali (gubernur), ‘ummal-‘ummal(bupati/wali kota) dan lain-lain, dari orang-orang yang aktivitasnya adalah aktivitas kekuasaan, di mana mereka memiliki kewenangan untuk memberi perintah-perintah. Sanksi atas penentangan perintah disebut ‘uqûbât mukhâlafat. Mukhâlafat sendiri disebutkan pula untuk tindakan yang menentang perintah penguasa. Dengan demikian mukhâlafat disebutkan untuk perbuatan dan sanksi perbuatan. Namun demikian, mukhâlafat ditetapkan sebagai sanksi dari sanksi-sanksi yang telah ditetapkan oleh Syâri’, sebab penentangan terhadap perintah Imam termasuk salah satu kemaksiyatan dari sekian banyak kemaksiyatan. Allâh Swt. telah memerintahkan untuk taat kepada penguasa dengan sangat jelas di dalam al-Qurân. Allah Swt. berfirman: “Ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu.” (QS. an-Nisâ’ [4]: 59).
Contoh kasus seperti halnya dalam kasus pembunuhan maka pelaku diwajibkan untuk (Qisas) dibunuh kecuali ia telah dimaafkan oleh pihak keluarga si korban.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنثَىٰ بِالْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishâsh berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih dan dalam qishâsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (al-Baqarah 2:178-179).
Dalam kasus pencurian:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (al-Mâidah 5:38-39).
Ataupun dalam kasus perzinahan:
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (cambuk)”. (An-Nûr 24:2).
Contoh ketiganya merupakan hukum hudud yang hukumannya sudah ditetapkan Allah dan kita berkewajiban menaatinya tanpa terkecuali dan jangan justru memilih hukum selain hukum Allah, maka sungguh besar dosanya.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (al-Mâ‘idah 5:50).
Allah berfirman:
فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
“Maka demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim di dalam perkara yang mereka perselisihkan” (QS. An-Nisaa: 65).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan ulil amri di antara kalian. Jika kalian berselisih di dalam suatu perkara (apapun) maka kembalikanlah perkara itu kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih utama dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisaa: 59).
Menjadikan syariat yang diturunkan Allah melalui Rasulnya sebagai hakim, berhukum dengannya serta memiliki keinginan yang kuat untuk menjadikan seluruh perkara tunduk kepadanya, adalah sifat yang nampak dan tanda yang membedakan antara seorang muslim yang bersemangat untuk mengikuti kebenaran. Bukan menjadi orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah sehingga sesat dan menyesatkan, meskipun hawa nafsu tersebut menggunakan akal, perasaan, maslahat, imam, partai, peraturan organisasi, dan sebagainya.
Semua bentuk hukum Islam hanya dapat dilaksanakan oleh pemerintahan Islam yang menerapkan Islam yaitu Khilafah Islamiyah yang dipimpin oleh Kholifah, bukan dengan sistem demokrasi dan sosialis yang jelas kufur dan bertentangan dengan Islam, karenanya dakwah itu penting untuk menyadarkan umat akan Islam yang sempurna dan menyeluruh (Kaffah).
Penulis: Diaz Hamzah, S.Kom.I.