Bulan Ramadhan yang agung telah berlalu. Di dalamnya Allah SWT mewajibkan puasa selama sebulan penuh agar kita meraih takwa (QS al-Baqarah [2]: 183). Tentu wajib bagi orang-orang Mukmin meraih takwa bila mereka mengharapkan keridhaan Allah SWT. Apalagi kemenangan sesungguhnya hanya Allah SWT berikan kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa (QS al-Ahzab [33]: 71).
Ketakwaan akan memberikan dampak positif dalam kehidupan pribadi dan masyarakat. Apalagi bila ketakwaan itu terpancar dari seorang pemimpin, insya Allah negeri yang dia pimpin akan jauh dari kesengsaraan dan penderitaan.
Makna Takwa
Thalq bin Habib berkata, “Takwa artinya Anda melaksanakan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya (ilmu dan iman) dari-Nya karena mengharap pahala-Nya serta Anda meninggalkan segala bentuk kemaksiatan kepada-Nya berdasarkan cahaya-Nya karena takut terhadap siksa-Nya.”
Selama Ramadhan, seorang Muslim menjaga dirinya bukan saja dari perkara yang haram, semisal minuman keras atau berzina, tetapi juga dari semua perkara yang dapat membatalkan puasa walaupun sebenarnya di luar Ramadhan itu adalah halal, seperti minum atau berjimak dengan pasangan yang sah.
Seorang Muslim yang sungguh-sungguh berpuasa juga menjaga dirinya dari perkara yang merusak pahala puasa semisal perkataan dusta, kasar dan kotor, menipu, dll. Itulah tujuan puasa Ramadhan, membuat pelakunya menjadi insan yang berhati-hati dalam berbuat. Takut melanggar hukum-hukum Allah SWT sekecil apapun. Hal itu persis seperti penjelasan Ubay bin Kaab ra. kepada Umar bin al-Khaththab ra. saat ia ditanya tentang makna takwa. Ubay ra. balik bertanya, “Apakah engkau pernah melewati jalan berduri?” Umar menjawab, “Ya.” Kaab bertanya lagi, “Apa yang engkau lakukan?” Umar pun menjawab, “Aku berhati-hati dan berusaha agar tidak tertusuk.” Ubay menjawab, “Itulah takwa!”
Karena itu setiap Muslim yang menjalankan shaum Ramadhan dengan sebenar-benarnya akan melindungi dirinya dari perbuatan maksiat kecil maupun besar. Jangankan menumpahkan darah saudaranya yang seiman, melecehkan mereka pun tak akan ia lakukan. Ia paham bahwa ciri seorang Muslim adalah yang menjadikan sesama Muslim lainnya terjaga dari gangguan lisan dan tangannya.
Seorang Muslim yang bertakwa senang menolong saudaranya yang sedang kesusahan, memberikan tausiyah yang bermanfaat dan bahu-membahu melaksanakan ketaatan total kepada Allah SWT dengan memperjuangkan penerapan syariah secara kâffah.
Seorang Muslim yang bertakwa tidak akan mempersekusi saudaranya yang seiman, apalagi bersekongkol dengan orang fasik dan kafir untuk menjatuhkan kehormatannya, terutama ketika saudaranya tengah berjuang di jalan Allah SWT. Rasul saw. bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ
Muslim adalah saudara Muslim yang lain; ia tidak menzalimi dan menyerahkan saudaranya itu (kepada musuh) (HR al-Bukhari).
Setiap tahun negeri ini bersikap mendua pada saat memasuki bulan Ramadhan. Menutup tempat hiburan malam. Menghias kota dengan nuansa ibadah. Televisi ramai dengan acara pengajian. Namun, selepas Ramadhan, ketakwaan seolah nyaris tak berbekas dalam kehidupan pribadi apalagi masyarakat. Berbagai kegiatan maksiat seperti hiburan malam kembali diizinkan.
Umat pun banyak yang bersikap relijius hanya saat Ramadhan, tetapi kemudian berubah ketika Ramadhan telah usai. Sikap inilah yang disebut sebagai “imma’ah”, tak punya pendirian. Sikap ini dicela oleh Rasulullah saw.:
لا تكُونُوا إمَّعةً تقولُونَ: إنْ أحسنَ النَّاسُ أحسنَّا وإنْ ظلمُوا ظلمْنَا، ولكِنْ وطِّنُوا أنفسكم إن أحسنَ النَّاسُ أنْ تُحسِنُوا وإنْ أساءُوا فلا تظلِمُوا
Jangan kalian menjadi imma’ah! Kalian mengatakan, “Jika manusia berbuat baik, kami pun berbuat baik. Jika mereka berbuat zalim, kami pun berbuat zalim.” Akan tetapi, kokohkan diri kalian. Jika manusia berbuat baik, kalian berbuat baik. Jika mereka berbuat buruk, maka jangan kalian berlaku zalim (HR at-Tirmidzi).
Takwa Sesungguhnya
Kita pantas bertanya: apakah takwa sudah benar-benar melekat pada diri kita ataukah baru sebatas jargon belaka? Takwa yang hanya sekadar jargon tentu tidak akan membawa dampak perubahan apapun dalam kehidupan. Bagi kelompok orang semacam ini agama hanya dipakai untuk pencitraan agar dekat dengan umat. Padahal kemudian ia mengerjakan kemungkaran, mencegah yang makruf, lagi menyusahkan rakyat banyak. Ini jelas perilaku munafik yang tercela di mata Allah SWT (QS at-Taubah [9]: 67).
Ciri pemimpin yang bertakwa tidak akan mengkriminalisasi Islam dan para ulama, juga tidak menghalang-halangi dan memusuhi orang-orang yang memperjuangkan syariah dan Khilafah yang merupakan tâj al-furûdh (mahkota kewajiban) dalam Islam. Namun yang bisa kita lihat, kriminalisasi terhadap ajaran Islam dan umat Muslim malah makin menjadi-jadi. Tak lama usai hari raya, umat dibuat marah dengan film pendek berjudul Kau Adalah Aku Yang Lain yang kontennya justru mencitrakan umat Muslim intoleran dan tidak berperikemanusiaan. Film ini oleh Kepolisian malah dinobatkan sebagai pemenang Police Movie Festival 2017. Ironi karena film ini provokatif, berbau SARA dan memancing kemarahan masyarakat yang justru sedang dihimbau untuk menjaga kerukunan beragama dan kebhinekaan.
Kriminalisasi terhadap Islam dan umat Muslim juga ditengarai ada dalam simulasi penanganan serangan teroris di Polsek Jatiuwung, Tangerang, Banten. Diperlihatkan bahwa aktor yang memerankan teroris diperagakan oleh pria berjenggot dan memakai peci. Meski pihak Polsek sudah meminta maaf, kejadian itu memperlihatkan ketidakpekaan aparat Pemerintah terhadap kehormatan Islam dan kaum Muslim.
Pemerintah juga terus menempatkan umat Muslim sebagai tertuduh yang mesti dicurigai sebagai ancaman. Media Singapura, The Straits Times, melansir laporan tentang tindakan aparat Pemerintah Indonesia yang memata-matai masjid di Jakarta. Aparat yang dikerahkan ditugaskan untuk mencari tahu siapa yang mengelola masjid dan materi apa yang disebarkan. Kegiatan intelijen itu dilakukan sebagai tindakan deradikalisasi Islam.
Di antara kesempurnaan shaum pemimpin yang bertakwa adalah menjaga shaum Ramadhannya dari perkataan palsu (qawl az-zûr) karena kedustaan hanya akan membuat puasa mereka sia-sia. Nabi saw. bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Siapa yang tidak meninggalkan perkataan palsu dan perbuatannya maka Allah tidak membutuhkan upayanya yang meninggalkan makanan dan minumannya (HR al-Bukhari).
Bagaimana bukan perkataan dusta bila sebelum berkuasa berjanji tidak akan menyusahkan masyarakat, semisal tidak akan menaikkan tarif BBM dan listrik, kemudian dengan tanpa malu mengatakan bahwa itu bukanlah kenaikan tarif, namun pencabutan subsidi. Bukankah ini perkataan dusta?
Pada masa kampanye, Presiden juga berjanji tidak akan menambah hutang negara. Namun, baru 2,5 tahun berkuasa hutang Pemerintah RI pada bulan Mei 2017 mencapai Rp 3.672,33 triliun.
Oleh karena itu ketakwaan bukanlah sebatas jargon atau tontonan yang penuh pencitraan, melainkan amal nyata yang bersumber dari keimanan kepada Allah SWT.
Takwa Tanpa Syarat
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali mati melainkan dalam keadaan beragama Islam (TQS Ali Imran [3]: 102).
Imam Jarir ath-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan makna ayat di atas: “Wahai segenap orang yang membenarkan Allah dan Rasul-Nya, IttaqulLâh, yakni takutlah kalian kepada Allah; jagalah Dia dengan menaati-Nya dan menjauhi kemaksiatan kepada-Nya; haqqa tuqâtihi, yakni dengan sebenarnya takut kepada-Nya.”
Oleh karena itu, marilah perkuat ketakwaan kita dan beristiqamah di dalamnya, dengan ketakwaan yang tanpa syarat dan tak mengenal waktu. Rasulullah saw. mengingatkan agar umat tetap bersabar dalam ketakwaan saat umat ini sudah rusak pemikiran dan peradabannya:
يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api (HR at-Tirmidzi).
Para pemimpin juga semestinya mengikatkan diri dengan ketakwaan. Pada masa lalu, ketakwaan yang melekat pada diri para khalifah mengantarkan umat dalam keberkahan dan kesejahteraan. Karena takwa, Amirul Mukminin Umar bin Khathtab ra., misalnya, menangis ketakutan ketika mendengar seorang ibu mempercepat masa sapih bayinya agar bisa segera mendapatkan insentif dari negara sehingga anaknya menangis kelaparan. Pasalnya, pada waktu itu Khalifah Umar membuat kebijakan hanya memberikan insentif pada anak yang telah disapih. Khalifah Umar sambil menangis menyesali keputusannya dengan berkata, “Celakalah Umar! Berapa banyak bayi yang telah dibunuh oleh Umar!” Kemudian ia pun mencabut kebijakannya yang keliru tersebut.
Inilah pemimpin bertakwa yang takut kepada Allah SWT dalam mengurus rakyatnya. Semua dilakukan dengan menerapkan syariah Islam di bawah naungan Khilafah ‘ala Minhâj an-Nubuwwah.
Al-Islam No. 862-13 Syawal 1438 H_07 Juli 2017