Baginda Nabi Muhammad saw. menyebut ulama sebagai para pewaris nabi (waratsat al-anbiyâ‘). Sebutan istimewa ini tidak pernah disematkan kepada golongan manusia manapun selain mereka. Kata pewaris menunjukkan betapa dekat hubungan mereka dengan para nabi, yakni sedekat hubungan nasab!
“Karena warisan itu berpindah kepada orang yang terdekat (hubungannya dengan mayit). Di antara umat manusia yang terdekat penisbatannya kepada agama adalah para ulama, yang berpaling dari dunia dan mencari akhirat. Bagi umat manusia mereka adalah pengganti para nabi yang memperoleh dua keutamaan, yaitu ilmu dan amal.” Begitu kata Imam al-Munawi dalam Faydh al-Qadir.
Ketergelinciran Ulama
Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang itu diberi cobaan menurut agamanya. Jika agamanya kuat maka cobaannya pun akan besar. Jika agamanya lemah maka cobaannya akan menyesuaikan.”
Karena itu ulama tidak luput dari cobaan sebagaimana manusia lainnya. Bahkan cobaan atas mereka bisa lebih berat. Cobaan atas mereka akan lebih menggiurkan jika berupa godaan keduniaan, lebih halus jika berupa tipu-daya, dan lebih berat jika berupa kesempitan hidup. Abu Said al-Khudri ra. dalam riwayat al-Hakim pernah bertanya: Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat cobaannya? Dijawab, “Para Nabi.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Dijawab, “Para ulama.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa lagi?” Dijawab, “Orang-orang shalih.”
Yang paling berbahaya dari segala cobaan terhadap mereka adalah cobaan atau fitnah yang mengakibatkan rusaknya agama mereka. Hal itu akan menyebabkan malapetaka bagi umat manusia dan kerusakan dalam skala umum.
Al-Imam Ibn ‘Abdilbarr sebagaimana tercantum dalam Jâmi’ Bayân al-‘Ilm wa Fadhlihi mengatakan, “Para ulama mengibaratkan ketergelinciran ulama itu bagaikan bocornya sebuah bahtera, yang jika tenggelam maka banyak manusia juga akan ikut tenggelam bersamanya.”
Bahkan ketergelinciran ulama dapat berpotensi menghancurkan Islam itu sendiri. Al-Imam ad-Darimi meriwayatkan dengan sanad yang sahih perkataan Sayidina Umar bin al-Khaththab ra., “Islam itu dapat hancur dengan ketergelinciran ulama, orang munafik yang berdebat dengan (berdalilkan) al-Quran, dan pemerintahan para penguasa yang menyesatkan.”
Bahkan dalam riwayat Imam ad-Darimi lainnya disebutkan, Ketergelinciran seorang alim berarti ketergelinciran seluruh manusia.”
Mengapa pengibaratan ketergelinciran ulama begitu menakutkan? Tidak lain karena ketergelinciran mereka akan menyebabkan kesesatan manusia lantaran mereka akan mengikuti ulama yang tergelincir tersebut dengan mengira sebagai kebenaran.
Saat menjelaskan hadis ittaqû jallat al-‘âlim (takutlah kalian akan ketergelinciran seorang ulama), Imam al-Munawi berkata, “Maknanya, takutlah kalian atas perbuatan salahnya yang dilakukan secara terang-terangan, karena ketergelincirannya akan menyebabkan ketergelinciran banyak manusia karena mereka akan mengikutinya.”
Cinta Harta dan Kedudukan
Di antara fitnah yang disebutkan oleh Nabi saw. akan menjangkiti ulama adalah kecintaan terhadap harta dan kedudukan. Ulama yang semacam itu oleh Rasulullah disebut dengan ulamâ‘ salâthîn (ulama penguasa) karena mereka akan menjadi “stempel” penguasa. Fatwanya menjadi pembenar atas kebijakan-kebijakan zalimnya. Beliau pernah bersabda, “Ulama adalah orang-orang kepercayaan para rasul, selama mereka tidak menggeluti dunia dan menuruti penguasa. Jika mereka melakukan itu maka jauhilah mereka.”
Alangkah ironis jika himmah (semangat) seorang ulama sampai bergeser dari yang semula hanya untuk akhirat menjadi pecinta dan pemburu dunia; yang tadinya sebagai pengingat dan pengoreksi penguasa menjadi pembenar dan pendukung atas kezaliman mereka. Menerangkan hadis tersebut Imam al-Munawi mengatakan, “Bahaya mereka (ulama yang terpedaya) terhadap agama dan kaum Muslim lebih besar dari bahaya yang ditimbulkan oleh kaum kafir dan kaum jahil.”
Tugas ulama adalah menjadi pengawal yang tegas bagi penguasa agar senantiasa berada di jalan yang benar, tidak menyimpang dari koridor syariah dan tidak berlaku lalim. Jika yang mereka lakukan justru sebaliknya maka itu akan menyebabkan kerusakan di mana-mana. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dalam Al-Ihyâ’ mengatakan, “Rusaknya rakyat itu disebabkan oleh rusaknya penguasa. Rusaknya penguasa itu disebabkan oleh rusaknya ulama. Rusaknya ulama itu disebabkan oleh kecintaan mereka atas dunia dan kedudukan.”
Nabi Muhammad saw. bersabda, “Akan ada setelah (wafat)-ku (nanti) para pemimpin pembohong. Siapa saja yang masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan membantu/mendukung kezaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak (punya bagian untuk) mendatangi telaga (pada Hari Kiamat). Siapa saja yang tidak masuk pada mereka itu, tidak membenarkan kebohongan mereka, dan tidak mendukung kedhaliman mereka, maka dia adalah dari golonganku, aku pun dari golongannya, dan ia akan mendatangi telaga (pada Hari Kiamat).” (HR an-Nasa’i).
Sudah menjadi kebiasan para ulama yang mukhlis, tidak mengharap imbalan harta benda serta jabatan apapun dari aktivitas amar makruf nahi mungkar yang mereka lakukan. Bahkan mereka rela mati syahid di jalan tersebut. Imam al-Ghazali menggambarkan: “Demikianlah perjalanan hidup para ulama serta kebiasaan mereka dalam melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar tanpa mempedulikan kerasnya para penguasa. Sebab mereka bertawakal kepada Allah yang dengan karunia-Nya akan menjaga mereka. Mereka pun rela terhadap ketetapan Allah jika suatu saat mengaruniai mereka mati syahid. Sebab niat mereka yang ikhlas dan tutur-kata mereka menjadi berpengaruh di hati yang keras hingga membuatnya lunak. Adapun sekarang, ketamakan (terhadap dunia) telah menjerat lisan-lisan mereka hingga mereka terdiam (dari melakukan amar makruf nahi mungkar). Kalaupun mereka berkata-kata, hal itu tidak berpengaruh pada kondisi mereka dan mereka mengalami kegagalan.”
Tidak Bersabar Terhadap Siksaan Penguasa
Haji Abdul Malik Karim Amarullah atau akrab disapa Buya Hamka pernah mendapatkan ujian berat dan dijebloskan penjara di era rezim Soekarno.
Berdakwah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zalim memang tidak mudah. Dipenjara, disiksa maupun dibunuh adalah risiko yang harus diterima. Namun demikian, Rasululullah saw. telah memberikan kabar gembira bagi mereka yang syahid di kalangan para da’i yang tetap tegas menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zalim. Beliau bersabda, “Penghulu para Syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthallib dan orang yang berdiri di hadapan penguasa zalim, lalu ia menyuruh dan melarang penguasa tersebut, lalu penguasa itu membunuh dirinya.” (HR al-Hakim).
Hari ini kita menjumpai orang-orang yang mengaku ulama. Namun, mereka menyerahkan agama mereka kepada penguasa. mereka membenarkan perilaku penguasa dengan menyitir ayat-ayat al-Quran. Mereka mengetuk pintu-pintu penguasa dengan menawarkan fatwa dan menjual suara umat yang mereka tipu. Mereka tidak tahu malu di hadapan manusia dengan mengatakan bahwa hukum yang dibuat sang penguasa adalah hukum yang sudah final.
Jika ulama berada di luar kekuasaan, para ulama salaf lebih banyak yang melakukan peran koreksi terhadap penguasa. Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya. Ia lahir pada 164 Hijriyah dan hidup di masa Daulah Abbasiyah. Pada masa pemerintahan al-Makmun, Khalifah Ketujuh Daulah Abbasiyah, terjadi fitnah Khalq al-Qur’an. Penguasa memaksakan doktrin bahwa al-Quran itu makhluk. Paham ini dilanjutkan penggantinya, Khalifah al-Mu’tashim. Siapa pun yang menolak paham ini akan disiksa. Imam Ahmad termasuk di antara mereka yang menolak. Walau harus mendekam dalam penjara, ia tak mengubah pendiriannya. Bahkan ketika pedang Khalifah al-Mu’tashim nyaris menebas lehernya, ia tetap bergeming.
Begitulah sikap para ulama. Dengan risiko apa pun, mereka berani mengatakan kebenaran di depan penguasa zalim. Persis seperti yang disabdakan Rasulullah saw. dalam hadisnya, “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di depan penguasa zalim.” (HR Ahmad, Ibn Majah, Thabrani dan al-Baihaqi).
Peran Ulama di Zaman Fitnah
Islam tidak bisa dipisah dari kekuasaan. Di sinilah idealisme dan realitas bertarung. Mereka yang berada di lingkaran kekuasaan tak hanya harus tetap memegang teguh idealismenya, tetapi juga tetap harus melihat realita. Di sinilah kesulitan menemukan puncaknya. Benturan antara idealisme dan realitas kadang begitu keras seolah tak bisa dipadukan. Jelas yang dibutuhkan dari seorang ulama tak hanya fatwa fikih dakwah, tetapi juga fatwa fikih siyâsah (politik). Yang diperlukan tak hanya kemampuan berijtihad menemukan jawaban atas persoalan, tetapi juga kemampuan menyampaikan jawaban itu sesuai dengan kebutuhan, keadaan dan tempat.
Hendaknya ulama memiliki kesabaran, ketegaran dan keberanian dalam memegang teguh dan menyampaikan kebenaran. Akibatnya, pendiriannya tidak mudah tergerus oleh iming-iming duniawi. Sebabnya, ilmu adalah amanah. Dengan mengkhianati amanah ini seorang alim akan diazab terlebih dulu mendahului para penyembah berhala. Demikian sebagaimana perkataan Imam Ibn Ruslan, “Seorang alim yang tidak mengamalkan ilmunya kelak akan diazab mendahului para penyembah berhala.”
Apalagi di zaman yang penuh fitnah seperti saat ini. Peran ulama sangat diharap dan dinantikan, dalam menyampaikan kebenaran secara terang-terangan dan lantang. Al-Khathib al-Baghdadi meriwayatkan sabda Rasulullah saw. yang berbunyi, “Jika kelak terjadi banyak fitnah secara terang-terangan (dalam riwayat lain dikatakan: perbuatan-perbuatan bid’ah), dan para sahabatku dicaci-maki, maka hendaklah semua orang yang berilmu menunjukkan ilmunya (dalam rangka menjelaskan kesesatan yang sedang terjadi). Siapa yang tidak melakukan itu, maka atas dia laknat Allah, para malaikat, serta manusia seluruhnya. Allah pun tidak menerima amalan serta sikap adil mereka.”
Kita berlindung kepada Allah SWT dari bahaya ulama sû’, yang ilmunya tidak dijadikan penuntun. Ia tidak beramal sesuai dengan ilmu yang ia ketahui. Asy-Syathibi mengatakan, “Ulama sû’ adalah ulama yang tidak beramal sesuai dengan apa yang ia ketahui.”
Ibn Taimiyah, setelah mengutip QS al-A‘raf ayat 146, berkata, “Inilah kondisi orang yang tidak beramal sesuai dengan ilmunya, tetapi mengikuti hawa nafsunya. Itulah kesesatan, sebagaimana firman Allah dalam QS al-A‘raf ayat 175-176. Ini seperti ulama sû’.”
Di antara ulama sû’ itu adalah ulama salathîn, yaitu ulama yang menjadi stempel penguasa. Anas bin Malik ra. menuturkan sebuah hadis, “Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulama sû’. Mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu.” (HR al-Hakim).
Menurut adz-Dzhabi, ulama sû’ adalah ulama yang mempercantik kezaliman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa. Mereka memutarbalikan kebatilan menjadi kebenaran untuk penguasa. Mereka diam saja (di hadapan penguasa), padahal mampu menjelaskan kebenaran.
Khatimah
Ulama harus tetap berpegang tegung pada posisi keulamaannya yang sangat mulia. Para ulama adalah pewaris para nabi. Tugas utama para nabi, termasuk Rasulullah saw., adalah untuk menegakkan tauhid dan hukum-hukum Allah SWT (syariah Islam). Hal yang sama tentu menjadi tugas para ulama saat ini. Peran, tugas, fungsi dan tanggung jawab para ulama dalam upaya membangkitkan umat menuju tegaknya kembali ‘izzul Islam wal Muslimin sangatlah besar.
Untuk membangkitkan umat adalah penting bagi kita semua untuk menyadari bahwa seluruh problem yang dihadapi umat sekarang berpangkal pada ketiadaan kehidupan Islam, yang di dalamnya diterapkan syariah di bawah kepemimpinan seorang khalifah.
Walhasil, jika ulama didatangi penguasa, mereka tidak memilih untuk cari aman dan mengharapkan jabatan dunia dari penguasa. Yang terbaik adalah mereka tidak menunggu, tetapi proaktif secara lugas datang kepada penguasa untuk beramar makruf nahi mungkar dan mengoreksi penguasa.
Rusaknya ulama di antaranya karena sifat tamak terhadap dunia. ad-Darimi menuturkan, Umar bertanya kepada Kaab, “Apa yang mengeluarkan ilmu dari hati ulama?” Kaab menjawab, “Ketamakan.”