Siapakah yang disebut dengan negarawan? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), negarawan adalah seseorang yang ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan (https://kbbi.web.id/negarawan).
Dalam konteks Islam, boleh dikatakan, negarawan adalah seseorang yang ahli dalam kenegaraan Islam; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan) Islam; pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara (berdasarkan syariah Islam, red.) dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan.
Dalam Islam, negarawan sejati, ideal dan terbesar sepanjang sejarah tentu Rasulullah Muhammad saw. Hanya dalam waktu 23 tahun, beliau telah menghasilkan tiga karya besar yang belum pernah dicapai oleh pemimpin manapun di seluruh dunia.
Tiga karya besar tersebut adalah: Pertama, tawhidulLah (mengesakan Allah SWT). Nabi Muhammad saw. telah berhasil menjadikan bangsa Arab yang semula mempercayai banyak Tuhan (polytheisme) menjadi bangsa yang bertauhid. Hanya meyakini satu Tuhan, yakni Allah SWT. Kedua, tawhidul-ummah (menyatukan umat). Nabi Muhammad saw. telah berhasil menjadikan bangsa Arab yang semula terpecah-belah, sering bermusuhan dan banyak terlibat peperangan antarsuku dan antarkabilah menjadi bangsa yang bersatu-padu dalam satu ikatan akidah Islam. Ketiga, tawhidul-hukumah (menyatukan negara/pemerintahan). Nabi Muhammad saw. telah berhasil menyatukan kepemimpinan bangsa Arab yang sebelumnya terpecah-belah dalam banyak kepemimpinan suku/kabilah dan kerajaan-kerajaan kecil di dalam satu pemerintahan Islam (Daulah Islam) yang kekuasaannya meliputi seluruh Jazirah Arab dan sekitarnya.
Keberhasilan Rasulullah Muhammad saw. sebagai negarawan tentu tidak lepas dari peran yang dimainkan oleh beliau. Menurut Imam al-Qarrafi (684 H) dalam salah satu karyanya, Anwar al-Buruq fi Anwa’i al-Furuq, setidaknya ada tiga peranan yang dilakukan secara bersamaan oleh Nabi Muhammad saw. yaitu: (1) peran sebagai pengemban risalah Islam (pemimpin umat); (2) peran sebagai kepala negara (pemimpin rakyat); (3) peran sebagai qadhi (hakim) atas setiap sengketa yang terjadi di tengah-tengah warga negara.
Pertama: Sebagai pengemban risalah Islam, Nabi saw. berdakwah di tengah-tengah masyarakat dengan metode penyampaian dakwah yang khas: (1) Dengan hikmah (bil hikmah), yaitu dengan kata-kata yang tegas dan benar, yang dapat membedakan antara yang haq dan yang batil; (2) Dengan nasihat yang baik (al-maw’izhah al-hasanah); (3) Dengan membantah orang-orang yang menentang beliau dengan argumentasi yang jauh lebih baik (jadilhum billati hiya ahsan). Inilah yang Allah SWT gambarkan dalam al-Quran:
اُدْعُ اِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِى هِيَ اَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهَوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ
Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sungguh Tuhanmu, Dialah Yang lebih mengetahui tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (TQS an-Nahl [16]: 125).
Bahkan dengan dakwah yang baik, mereka yang memusuhi beliau bisa berubah menjadi teman setia. Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلاَ السَّيِّئَةُ اِدْفَعْ بِالَّتِى هِيَ اَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِى بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ
Tidak sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik. Lalu tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia (TQS Fushshilat [41]: 34).
Keberhasilan dakwah Nabi Muhammad saw. tentu ditunjang oleh kepribadian beliau yang sangat mulia antara lain: selalu bersikap lemah-lembut; senantiasa memaafkan kesalahan pihak lain selama kesalahan itu terkait pribadi beliau; biasa memintakan ampunan kepada Allah SWT atas dosa dan kesalahan orang lain; selalu mengajak bermusyawarah dengan para sahabat beliau dalam urusan dunia dan beliau selalu konsekuen memegang hasil keputusan musyawarah; jika beliau ingin melakukan sesuatu, beliau selalu bertawakal kepada Allah SWT (Lihat: TQS Ali Imran [3]: 159).
Kedua: Sebagai kepala negara (pemerintahan), tentu Rasulullah Muhammad saw. hanya memerintah dengan Islam; hanya dengan menerapkan syariah Islam; atau hanya merujuk pada wahyu Allah SWT. Dengan itu kepemimpinan Rasulullah saw. sangat jauh dari kezaliman. Sebab kezaliman hanya akan terjadi saat seseorang, khususnya pemimpin, tidak berhukum kepada hukum Allah SWT. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak memerintah/berhukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan, merekalah pelaku kezaliman (TQS al-Maidah [5]: 45).
Memimpin masyarakat dengan selalu merujuk pada al-Quran, itulah salah satu wujud kepemimpinan yang benar-benar tulus/loyal, bukan hanya kepada rakyat, tetapi terutama semata-mata kepada Allah SWT. Sebaliknya, pemimpin yang tidak benar-benar tulus/loyal memimpin rakyat adalah mereka yang dalam memimpin tidak dengan merujuk pada al-Quran. Pemimpin semacam ini diancam dengan sabda Rasulullah saw.:
مَنِ اسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً ثُمَّ لَمْ يُحِطْهَا بِنُصْحٍ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الجَنَّة
“Siapa saja yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu ia tidak memimpin rakyat dengan tulus/loyal, maka Allah mengharamkan surga bagi dirinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Ketiga: Sebagai qadhi (hakim), Rasulullah saw. selalu mengadili setiap perkara dengan seadil-adilnya. Tanpa pilih-kasih. Tanpa diskriminasi. Termasuk terhadap keluarga beliau sendiri. Inilah yang beliau tegaskan dalam sabdanya:
لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Andai Fathimah (putri Muhammad saw.) mencuri, aku pasti memotong tangannya.” (Syarh al-Bukhari li Ibn Bathal, 15/442).
Negarawan Sejati
Seorang negarawan sejati tentu adalah pemimpin yang senantiasa bertanggung jawab atas semua urusan rakyatnya. Ia selalu berupaya keras memenuhi semua kebutuhan rakyatnya. Ia tak mungkin membiarkan rakyatnya kelaparan, kesusahan, sakit, terlantar, terancam keselamatan jiwanya, dsb. Seorang negarawan benar-benar memahami dan mengamalkan sabda Rasulullah saw.:
الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (kepala negara) adalah pengurus rakyat. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR al-Bukhari).
Jika saja para pemimpin rakyat mengamalkan apa yang disabdakan dan diteladankan oleh Rasulullah saw. di atas, tentu mereka akan dicintai oleh rakyat. Pemimpin seperti inilah yang disebut sebagai pemimpin terbaik oleh Rasulullah saw., sebagaimana sabda beliau:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ
“Sebaik-baiknya pemimpin kalian ialah yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian, juga yang kalian doakan dan mereka pun mendoakan kalian. Seburuk-buruk pemimpin kalian ialah yang kalian benci dan mereka pun membenci kalian, juga yang kalian laknat dan mereka pun melaknat kalian.” (HR Muslim dan at-Tirmidzi).
Meneladani Khalifah Umar ra.
Setelah Rasulullah saw., juga Khalifah Abu Bakar ra., salah satu negarawan sejati adalah Khalifah Umar ra. Beliau adalah salah seorang khalifah yang benar-benar mencintai rakyatnya. Beliau, antara lain, terkenal dengan kata-katanya, “Kalau aku banyak istirahat pada siang hari, berarti aku menelantarkan rakyatku. Jika jika aku banyak tidur pada malam hari, berarti aku menyia-nyiakan diriku sendiri (tidak shalat malam).” (Ahmad bin Hanbal, Az-Zuhd, hlm. 152).
Dalam kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah disebutkan bahwa pada masa paceklik dan banyak rakyat kesulitan, Khalifah Umar ra. rela hanya makan roti kering yang dilumuri minyak hingga kulitnya berubah menjadi hitam. Saat itu beliau pernah berkata, “Akulah sejelek-jelek kepala negara jika aku kenyang, sementara rakyatku kelaparan.”
Begitu besar tanggung jawab Khalifah Umar ra. kepada rakyatnya, beliau pun pernah berkata, “Jika ada seekor unta mati karena disia-siakan, tidak terurus, aku takut Allah memintai pertangungjawabanku atas hal itu.” (Ibnu Saad, Ath-Thabaqat, 3/305; Ibnu Abi Syaibah, Al- Mushannaf, 7/99).
Kenegarawanan Khalifah Umar juga tampak nyata dalam kisah yang dituturkan oleh Abdullah bin Abbas ra. Kata Ibnu Abbas, “Setiap kali usai shalat, Khalifah Umar senantiasa duduk bersama rakyatnya. Siapa saja yang mengadukan suatu keperluan, ia segera meneliti keadaannya. Ia terbiasa duduk sehabis shalat subuh hingga matahari mulai naik, memperhatikan keperluan rakyatnya. Setelah itu baru ia kembali ke rumah.” (Ibnu Saad, Ath-Thabaqat, 3/288; Tarikh ath-Thabari, 2/565).
Selain itu, sebagai manusia biasa, tentu Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. menyadari bahwa ia sangat mungkin banyak berbuat salah. Karena itulah beliau adalah pemimpin yang tidak pernah anti kritik. Imam as-Suyuthi dalam kitab tafsirnya, Ad-Durrul Mantsûr fî Tafsîril Ma’tsûr, saat menjelaskan Surat an-Nisa' ayat 20 menyinggung kisah tentang bagaimana Khalifah Umar ra. berlapang dada saat dikritik oleh seorang perempuan Muslimah karena kebijakannya yang membatasi jumlah mahar dinilai keliru.
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُم: الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Ada tiga orang yang doanya tidak akan ditolak: Pemimpin yang adil, orang yang berpuasa sampai dia berbuka dan doa orang yang dizalimi.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Kaffah - Edisi 084