Secara fitrah, setiap manusia menyukai keadilan dan membenci kezaliman. Secara fitrah pula, manusia akan berpihak pada pelaku keadilan dan bersimpati kepada orang yang terzalimi.
Namun demikian, akibat hawa nafsu dan bujuk-rayu setan, sepanjang sejarah manusia kita menyaksikan ragam kezaliman dan eksisnya orang-orang zalim. Karena itu upaya mewujudkan keadilan di antara manusia terus menjadi “misi” kemanusiaan manusia.
Mewujudkan keadilan tentu juga menjadi bagian dari “misi” Islam dan kaum Muslim. Hal itu tampak dalam jawaban Rib’i bin Amir ketika ditanya oleh Rustum, Jenderal Persia, tentang misi Islam, “Allah mengutus kami untuk membebaskan umat manusia dari kegelapan jahiliah menuju cahaya Islam serta membebaskan manusia dari kezaliman agama-agama selain Islam menuju keadilan Islam dan kelapangannya.”
Islam memberikan serangkaian panduan dan petunjuk serta sistem untuk mewujudkan keadilan itu di tengah-tengah manusia.
Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang seharusnya. Dengan demikian keadilan akan terwujud ketika sesuatu ditempatkan pada tempat yang seharusnya. Namun, hal itu bergantung pada standar untuk menilai adil dan keadilan itu. Allah adalah Zat Yang Mahaadil sekaligus yang mengetahui keadilan hakiki. Karena itu standar keadilan hakiki tentu harus bersumber dari Allah SWT. Itulah syariah Islam yang telah Allah SWT turunkan kepada kita. Saat syariah tidak dijadikan rujukan, kezalimanlah—dan bukan keadilan—yang tercipta. Allah SWT berfirman:
وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak memutuskan perkara menurut wahyu yang telah Allah turunkan, mereka itulah kaum yang zalim (TQS al-Maidah [5]: 45).
Dengan demikian keadilan di tengah masyarakat hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan syariah Islam secara kâffah serta menghukumi segala perkara dan persengketaan dengan syariah Islam.
Keadilan dalam Peradilan Islam
Islam mensyariatkan untuk mewujudkan keadilan secara umum di tengah-tengah masyarakat. Secara lebih khusus Islam pun mensyariatkan agar keadilan diwujudkan dalam dunia peradilan dan pengadilan suatu perkara. Islam memberikan panduan yang jika dipenuhi dalam penyelesaian suatu perkara, maka vonis yang lebih dekat pada keadilan hakiki akan bisa diwujudkan.
Tentu perkara itu hendaknya diputuskan menurut hukum syariah yang telah Allah SWT turunkan. Sebab hukum Allah SWT adalah hukum yang paling baik. Tidak ada yang lebih baik dari hukum-Nya:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allah bagi kaum yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).
Secara lebih spesifik, Allah SWT memerintahkan ulil amri atau para penguasa, termasuk di dalamnya qâdhi atau hakim yang memutuskan perkara, untuk memutuskan perkara di antara manusia dengan adil. Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
Sungguh Allah telah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian berlaku adil… (TQS an-Nisa’ [4]: 58).
Imam ath-Thabari di dalam Tafsîr ath-Thabari menjelaskan, “…Allah telah memerintahkan kalian (wahai para ulil amri), jika memutuskan perkara di antara rakyat, agar kalian memutuskan dengan adil dan fair…”
Dalam memutuskan perkara itu, seorang qâdhi atau hakim hanya disyariatkan untuk memutuskan menurut yang tampak (al-hukmu bi azh-zhâhir), yakni yang terungkap dari bukti-bukti dan kesaksian. Dalam hal itu, Islam memerintahkan agar qâdhi (hakim) tidak tergesa-gesa memutuskan, tetapi harus mendengar dari kedua pihak secara mencukupi.
Dalam hal keputusan berdasarkan yang tampak itu boleh jadi salah satu pihak lebih jago dalam memaparkan dan mengemukakan argumentasi. Akibatnya, qâdhi atau hakim memutuskan untuk kemenangan dia. Padahal sebenarnya dia di pihak yang salah. Rasul saw. mengingatkan bahwa keputusan yang demikian jangan diambil sebab itu merupakan potongan dari neraka. Ummu Salamah ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي لَهُ عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ مِنْهُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِشَيْءٍ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ فَلاَ يَأْخُذَنَّهُ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ
Sungguh aku hanya seorang manusia, sementara kalian mengajukan persengketaan kalian kepadaku. Boleh jadi sebagian kalian lebih fasih dengan hujjahnya dari sebagian yang lain. Lalu aku memberikan keputusan yang memihak dia berdasarkan apa yang aku dengar dari dirinya. Karena itu siapa saja yang aku beri putusan dengan merampas hak saudaranya maka janganlah dia ambil. Sebab itu berarti aku memberi dia satu potongan dari api neraka.” (HR asy-Syafii, Muslim dan an-Nasa’i).
Dari dua nas di atas bisa dimaknai bahwa semua pihak yang terlibat dalam persengketaan harus senantiasa berpegang teguh pada keimanan. Mereka juga harus selalu ingat bahwa kalaupun bisa lolos di peradilan dunia, mereka tidak akan bisa lolos dari peradilan Allah SWT di akhirat. Dalam hal ini secara lebih khusus seorang qâdhi (hakim) harus senantiasa mengingat peringatan Rasul saw.:
الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ اثْنَانِ فِي النَّارِ، وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ رَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ، فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ، وَرَجُلٌ عَرَفَ الْحَقَّ، فَلَمْ يَقْضِ بِهِ، وَجَارَ فِي الْحُكْمِ، فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ لَمْ يَعْرِفِ الْحَقَّ، فَقَضَى لِلنَّاسِ عَنْ جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ
Qâdhi (hakim) itu ada tiga. Dua di neraka dan satu di surga. Seseorang yang mengetahui kebenaran dan memutuskan dengan kebenaran itu, dia di surga. Seseorang yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak memutuskan dengan kebenaran itu dan bertindak jahat dalam hukum (putusan), dia di neraka. Seseorang yang tidak mengetahui kebenaran lalu dia memutuskan untuk masyarakat tanpa ilmu, dia pun di neraka.” (HR al-Baihaqi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).
Hadis ini menunjukkan bahwa qâdhi (hakim) tidak hanya bertanggung jawab di dunia, tetapi juga di akhirat di hadapan Allah SWT. Dengan selalu mengingat itu, qâdhi atau hakim akan sanggup memutuskan perkara dengan adil, termasuk perkara yang melibatkan penguasa atau kepala negara sekalipun. Ia tidak akan silau dan tidak akan tunduk pada iming-iming atau tekanan kekuasaan. Ia akan lebih tunduk pada kebenaran karena berharap termasuk qâdhi (hakim) yang kelak masuk surga. Dia juga lebih takut terhadap ancaman Allah SWT di akhirat kelak jika dia tidak memutuskan perkara dengan adil.
Potret seperti itulah yang tergambar dalam diri Qâdhi Suraih ketika mengadili perkara antara Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. dan seorang Nasrani (atau seorang Yahudi) dalam persengketaan baju besi. Imam al-Baihaqi di dalam Sunan al-Kubrâ, Ibnu al-Atsir di dalam al-Kâmil fî at-Târîkh dan Ibnu Katsir di dalam al-Bidâyah wa an-Nihâyah menceritakan bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. suatu ketika menemukan baju besinya ada pada seorang Nasrani (dalam riwayat Abu Nu’aim di dalam Hilyah al-Awliyâ’ adalah seorang Yahudi). Lalu keduanya mengajukan perkaranya kepada Qâdhi Suraih. Saat itu Qâdhi Suraih menanyakan kepada Ali apakah ada bukti? Ali menjawab bahwa ia tidak punya bukti. Dalam riwayat Abu Nu’aim, Ali mengajukan dua orang saksi, Qanbar, mawla-nya dan Hasan bin Ali, putranya. Qâdhi Suraih menerima kesaksian mawla itu, namun menolak kesaksian al-Hasan. Akhirnya, Qâdhi Suraih memutuskan baju besi itu untuk orang Nasrani (atau Yahudi) itu. Menerima putusan demikian, orang itu berkomentar, bahwa sungguh itu merupakan hukum para nabi. Amirul Mukminin berperkara dengan dirinya di hadapan qâdhi-nya. Lalu qâdhi-nya memutuskan vonis yang mengalahkan Amirul Mukminin dan Amirul Mukminin ridha. Menyaksikan demikian, orang itu pun masuk Islam.
Pentingnya Syariah Islam
Keadilan dalam memutuskan perkara, apapun bentuknya dan siapapun yang terlibat, akan terwujud saat syariah Islam diterapkan. Sebab syariah Islam yang dijadikan dasar untuk memutuskan perkara berasal dari Zat Yang Mahaadil. Jika qâdhi (hakim) memutuskan perkara dengan syariah Islam dan dia memiliki integritas atas dasar iman dan rasa takut akan azab neraka di akhirat, pasti dia akan memutuskan perkara secara adil.
Di sisi lain, dengan penerapan syariah Islam secara kâffah, suasana keimanan terbangun dan melingkupi masyarakat. Dengan itu semua orang yang terlibat dalam perkara, baik yang menuntut, yang dituntut serta orang yang membantu keduanya, termasuk pengacara, tidak lepas dari suasana keimanan dan rasa takut kepada Allah SWT. Dengan demikian motivasi dalam berperkara bukan yang penting menang, meski dengan segala cara. Akan tetapi, semuanya karena mendambakan terwujudnya keadilan.
Karena itu siapapun yang merindukan terwujudnya keadilan, hendaknya saling bahu-membahu memperjuangkan penerapan syariah Islam secara kâffah.
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian para penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum mendorong kalian bersikap tidak adil. Bersikap adillah karena adil itu lebih mendekatkan pada ketakwaan. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah Mahatahu atas apa saja yang kalian kerjakan (TQS al-Maidah [5]: 8).
Kaffah - Edisi 094