Umar bin al-Khaththab ra. pernah berpesan, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab (di akhirat, red).”
Artinya, di dunia ini, sekaranglah waktu kita menghisab diri. Di mana posisi kita antara dosa dan pahala, antara kemaksiatan dan ketataan, antara neraka dan surga. Di mana posisi kita terhadap Islam dan syariahnya, juga di tengah umat Islam. Sejauh mana berbagai larangan Allah SWT telah ditinggalkan? Sejauh mana perintah-Nya telah dikerjakan?
Muhasabah atau introspeksi diri ini penting dilakukan terus-menerus. Tentu agar setiap dari kita bisa memperbaiki diri atau ber-“hijrah”.
Hijrah secara bahasa adalah berpindah dari sesuatu ke sesuatu yang lain atau meninggalkan sesuatu menuju sesuatu yang lain. Jadi hijrah itu identik dengan perubahan. Tentu perubahan ke arah yang baik. Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Fath al-Bârî menjelaskan, asal dari hijrah adalah meninggalkan dan menjauhi keburukan untuk mencari, mencintai dan mendapatkan kebaikan.
Hijrah itu terjadi karena adanya kesadaran tentang perlunya perubahan dari keadaan yang sedang eksis ke keadaan baru yang ingin diwujudkan. Kesadaran itu tentu muncul karena adanya muhasabah atau instrospeksi diri. Karena itu muhasabah atau introspeksi diri menjadi sangat penting.
Pertama-tama yang perlu dilakukan adalah meninggalkan apa yang wajib ditinggalkan, yakni apa saja yang dilarang oleh Allah SWT. Inilah hijrah yang bisa dilakukan kapan saja. Rasul saw. bersabda:
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Seorang Muslim adalah orang yang menjadikan kaum Muslim selamat dari lisan dan tangannya. Seorang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang Allah larang atas dirinya (HR al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasai, Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Humaidi).
Meninggalkan apa saja yang Allah larang tidak menuntut kemampuan. Ini berbeda dengan melakukan apa yang Allah perintahkan, yang menuntut kemampuan maksimal. Rasul saw. bersabda:
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنِ الشَّيْءِ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِالشَّيْءِ فَائْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Jika aku melarang kalian dari sesuatu maka tingggalkanlah dan jika aku memerintahkan sesuatu maka lakukanlah sesuai batas kemampuan kalian (HR Ahmad, al-Bukhari dan Muslim).
Selain dilakukan berdasarkan kemampuan secara maksimal, perintah Allah harus segera ditunaikan. Allah SWT berfirman:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Bersegeralah kembali kepada Allah. Sungguh aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untuk kalian (TQS adz-Dzariyat [51]: 50).
Abu Ishaq ats-Tsa’labi dalam tafsirnya, Al-Kasyfu wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, menjelaskan, frasa “Fafirrû ilâlLâh” bermakna: Larilah dari azab Allah menuju pahala-Nya dengan iman dan menjauhi kemaksiatan. Ibnu Abbas berkata: Larilah menuju Allah dan beramallah dengan menaati-Nya.”
Dengan demikian setiap Muslim harus segera berhenti dari apa yang Allah larang dan meninggalkannya, sekaligus segera menjalankan berbagai ketaatan kepada-Nya. Dengan dua spirit ini, setiap Muslim akan menjadi sosok yang makin taat. Ketaatannya juga makin total, makin menyeluruh, makin kâffah.
Orang yang “hijrah” itu tidak menyukai apa saja yang menyalahi Islam dan syariahnya. Sebaliknya, dia makin senang kepada Islam dan syariahnya. Dia pun makin merindukan kehidupan islami; kehidupan yang diatur sesuai dengan Islam dan syariahnya.
Alhasil, secara individual seorang Muslim tak boleh berhenti ber-“hijrah”. Tak boleh berhenti berubah ke arah yang lebih baik sesuai tuntutan syariah, menuju totalitas berislam dan melaksanakan syariahnya secara kâffah.
Hal yang sama juga perlu dilakukan oleh kaum Muslim secara keseluruhan. Kita perlu melakukan muhasabah/interospeksi atas keadaan umat Islam hari ini. Kita perlu merenungkan bagaimana keadaan umat Islam. Bagaimana pula keadaan seharusnya yang dikehendaki oleh Islam. Selanjutnya kita perlu menyiapkan tidak lanjut atas hasil muhasabah itu.
Allah SWT telah mensifati umat Islam sebagai khayru ummah (umat terbaik), sebagaimana firman-Nya:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; melakukan amar makruf nahi munkar dan mengimani Allah (TQS Ali Imran [3]: 110).
Sifat sebagai umat terbaik ini tidak hanya berlaku pada kaum Muslim masa Rasul saw. saja, melainkan berlaku untuk umat beliau sampai kapan pun. Ali bin Abi Thalib ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
أُعْطِيتُ مَا لَمْ يُعْطَ أَحَدٌ مِنْ الأنْبِيَاءِ. فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا هُوَ؟ قَالَ: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ وَأُعْطِيتُ مَفَاتِيحَ الأرْضِ، وَسُمِّيتُ أَحْمَدَ، وَجُعِلَ التُّرَابُ لِي طَهُورًا، وَجُعِلَتْ أُمَّتِي خَيْرَ الأمَمِ
“Aku diberi apa yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku.” Kami bertanya, “Apakah itu?” Beliau bersabda, “Aku ditolong dengan rasa takut, aku diberi kunci-kunci bumi, aku diberi nama Ahmad, tanah dijadikan suci untukku dan umatku dijadikan sebagai umat terbaik.” (HR Ahmad).
Hanya saja, sifat sebagai umat terbaik itu tidak datang begitu saja. Harus dipenuhi dulu karakteristiknya. Di dalam ayat ini, Allah SWT menyebut karakteristik umat terbaik itu, yaitu: melakukan amar makruf nahi munkar dan mengimani Allah.
Terkait itu ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasul saw. saat beliau sedang di atas minbar, “Siapakah manusia terbaik?” Rasul saw. menjawab:
خَيْرُ النَّاسِ أقْرَؤهُمْ وَأَتْقَاهُمْ للهِ، وآمَرُهُمْ بِالمعروفِ، وأنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَأَوْصَلُهُمْ لِلرَّحِمِ
Manusia terbaik adalah yang paling banyak membaca dan memahami (al-Quran), yang paling bertakwa kepada Allah, yang paling banyak melakukan amar makruf nahi mungkar dan yang paling sering menyambung silaturahim (HR Ahmad).
Imam ath-Thabari menjelaskan karakteristik umat terbaik (khayru ummah) dalam tafsirnya, Jâmi’u al-Bayân: Firman Allah “ta`murûna bi al-ma’rûf” itu bermakna: kalian memerintahkan manusia agar mengimani Allah dan Rasul-Nya serta mengamalkan syariahnya. Lalu “wa tanhawna ‘an al-munkar” bermakna: kalian melarang manusia untuk menyekutukan Allah, mendustakan Rasul-Nya dan mengamalkan apa yang Dia larang.”
Imam Ibnu Katsir, setelah menyebutkan hadis-hadis tentang khayru ummah, menyatakan, “Karena itu siapa saja dari umat ini yang memiliki sifat-sifat ini, dia masuk di dalam penghormatan dan pujian-Nya…Umar ra. berkata, ‘Siapa saja yang suka menjadi bagian dari umat (terbaik) itu maka hendaknya dia memenuhi syarat Allah yang dituntut atas dirinya.’ Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Siapa yang tidak mememiliki sifat demikian, dia serupa dengan Ahlul Kitab yang dicela oleh Allah SWT (yang artinya): “Mereka satu sama lain selalu tidak melarang kemungkaran yang mereka lakukan. Sungguh amat buruklah apa yang selalu mereka lakukan itu (TQS al-Maidah [5]: 79).”
Secara umum karakteristik umat terbaik itu adalah mengimani Allah, melakukan amar makruf nahi mungkar, mengikuti sunnah Rasul saw. dan melaksanakan syariah. Dengan demikian kesempurnaan sifat khayru ummah itu terwujud ketika umat Islam beriman dan bertakwa. Ketakwaan mereka harus tampak dalam kehidupan mereka, termasuk dalam pengelolaan kehidupan masyarakat dalam segala aspeknya, dengan syariah Islam.
Sayang, potret sebagai khayru ummah (umat terbaik) itu tidak tampak pada umat Islam hari ini. Umat Islam saat ini belum menjadi pemimpin bagi umat lain. Sebaliknya, umat Islam saat ini masih menjadi obyek dan eksploitasi pihak lain. Boleh jadi salah satu penyebabnya karena amar makruf nahi mungkar belum tampak menonjol menjadi budaya umat Islam. Terutama yang ditujukan kepada penguasa. Padahal kemungkaran penguasalah yang paling besar menimbulkan keterpurukan umat. Kemungkaran terbesar penguasaa tentu saja saat mereka tidak menerapkan syariah Islam secara kaffah.
Memang sebagian dari umat sudah dan terus melakukan amar makruf nahi mungkar. Namun, tak jarang masih ada seruan-seruan sebaliknya. Yang makruf justru dipersoalkan. Yang mungkar justru dipromosikan. Dakwah untuk menerapkan syariah secara kaffah dihadang. Seruan ke arah liberalisme justru difasilitasi. Terjadilah keanehan. Islam dan syariahnya secara kaffah justru terhijab dari sebagian umat Islam sendiri.
Kondisi umat yang terpuruk dan jauh dari predikat sebagai umat terbaik ini tentu tidak boleh dibiarkan. Kondisi ini harus diubah. Aktivitas perubahan harus gencar dilakukan di tengah umat ini. Sebab perubahan itu tidak akan datang dengan sendirinya, tetapi harus diusahakan. Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
Sungguh Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (TQS ar-Ra’du [13]: 11).
Imam al-Qurthubi dalam Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân menjelaskan, “Allah SWT memberitahukan dalam ayat ini bahwa Dia tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai terjadi perubahan dari mereka, baik dari mereka sendiri, atau dari orang yang mengurus mereka, atau dengan sebab dari sebagian orang di antara mereka.”
Karena itu perubahan atau “hijrah” harus dilakukan bukan hanya pada tataran individu, tetapi juga pada tataran masyarakat, yakni perubahan menuju ketaatan kepada Allah SWT secara total. Ketaatan total kepada Allah SWT diwujudkan dengan penerapan syariah Islam kaffah di dalam seluruh aspek kehidupan. Ini menjadi tanggung jawab seluruh komponen umat Islam.
Hikmah:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sungguh orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang benar-benar mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (TQS al-Baqarah [2]: 218).
Kaffah - Edisi 103