Ahad, 11 Agustus 2019, bertepatan dengan 10 Dzulhijjah 1440 H, umat Islam sedunia insya Allah akan merayakan Hari Raya Idul Adha secara bersama-sama.
Idealnya Hari Raya Idul Adha adalah hari sukacita. Hari Raya Idul Kurban sejatinya adalah hari kegembiraan. Namun sayang, bagi sebagian umat Islam, sukacita itu masih terkubur oleh dukacita. Kegembiraan masih tertutupi oleh kabut kesengsaraan. Perayaan Hari Raya Kurban mesih diselimuti oleh ragam penderitaan.
Palestina, misalnya, masih terus dirundung duka. Puluhan tahun dicengkeram Zionis sang durjana. Rohingnya masih amat menderita. Terus menjadi mangsa rezim Budha yang hina. Uighur masih tersungkur. Dipenjara dan terus disiksa. Oleh rezim kejam komunis Cina. Suriah masih terluka parah. Menjadi korban kebiadaban rezim haus darah. Sekaligus menjadi rebutan negara-negara kafir penjajah.
Di belahan bumi yang lain, termasuk di negeri ini, kaum Muslim masih tetap terpinggirkan. Masih menjadi korban ketidakadilan. Sekaligus tumbal kebencian para pembenci Islam. Isu radikalisme terus digaungkan. Sama dengan isu terorisme sebelumnya. Yang mulai terkuak kedoknya. Nyata penuh dusta. Penuh rekayasa. Hanya jadi alat untuk terus menistakan kaum Muslim di seluruh dunia. Termasuk di Bumi Nusantara.
Yang makin mengiris hati, ajaran Islam mulai banyak dipersoalkan. Simbol-simbolnya mulai sering dipermasalahkan. Justru oleh mereka yang mengaku Muslim toleran. Jilbab dan busana Muslimah, fenomena artis berhijrah, isu syariah dan khilafah, hingga pengibaran Liwa dan Rayah seolah makin membuat mereka gerah.
Di sisi lain, ragam krisis terus melanda negeri ini, khususnya krisis ekonomi. Kemiskinan tak pernah beranjak pergi. Angka pengangguran makin tinggi. PHK terjadi di sana-sini. Utang luar negeri makin menjadi-jadi. Banyak BUMN terus merugi. Negeri ini pun seolah tak pernah bisa lepas dari jeratan kasus korupsi. Terutama yang melibatkan para pejabat tinggi. Saat yang sama, perusahaan-perusahaan asing terus dibiarkan menjarah kekayaan alam negeri ini. Ironisnya, semua itu terjadi, justru saat penguasa dan para pejabatnya lantang berteriak, “NKRI Harga Mati”! Seraya tetap setia menerapkan sistem demokrasi. Yang sudah terbukti berkali-kali. Gagal memakmurkan dan mensejahterakan rakyat negeri ini.
Karena itu, di tengah nestapa dan derita bangsa ini, juga dalam momen Idul Adha tahun ini, kita layak merenung sejenak. Mentafakuri pesan-pesan-pesan Nabi saw. saat Khutbah Wada’, sekitar 14 abad yang lewat, di hadapan sekitar 140 ribu jamaah haji. Beliau antara lain berkhutbah sebagai berikut:
Wahai manusia, sungguh darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian sama sucinya dengan sucinya hari ini, negeri ini dan bulan ini… Siapa saja yang memiliki amanah, tunaikanlah amanah itu kepada orang yang berhak menerimanya. Ingatlah, semua perkara Jahiliah sudah aku campakkan di bawah kedua telapak kakiku… Urusan (pertumpahan) darah Jahiliah juga sudah dihapus. Sungguh riba Jahiliah pun sudah dilenyapkan…
Wahai manusia… Sungguh aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian suatu perkara yang amat jelas. Jika kalian berpegang padanya, kalian tidak akan pernah tersesat selama-lamanya. Itulah Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.
Wahai manusia… Sungguh setiap Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain…
Wahai manusia, ingatlah, Tuhan kalian satu. Bapak kalian juga satu. Setiap kalian berasal dari Adam. Adam berasal dari tanah. Yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa di antara kalian…
Ingatlah, hendaknya orang yang hadir dan menyaksikan menyampaikan pesan ini kepada yang tidak hadir…
Demikianlah sebagian isi khutbah Baginda Nabi saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Imam Ahmad.
Dari apa yang Baginda Nabi saw. sampaikan di atas, ada sejumlah hal yang beliau nasihatkan kepada kita, yang selayaknya kita renungkan dan sungguh-sungguh harus kita amalkan. Di antaranya:
Pertama, kita diperintahkan untuk menjaga darah, harta dan kehormatan sesama. Apalagi beliau juga bersabda:
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ
Mencela seorang Muslim adalah kefasikan. Membunuh dirinya adalah kekufuran (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kedua, kita diperintahkan untuk memberikan amanah kepada ahlinya. Termasuk amanah kepemimpinan. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا...
Sungguh Allah telah memerintahkan kalian agar menunaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya… (TQS an-Nisa’ [4]: 58).
Tentang amanah kepemimpinan, Rasulullah saw. pun mengingatkan:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sungguh kalian begitu berhasrat atas kepemimpinan (kekuasaan), padahal kepemimpinan (kekuasaan) itu bisa berubah menjadi penyesalan pada Hari Kiamat kelak (HR al-Bukhari).
Faktanya, hari ini kita menyaksikan tontonan yang amat menyedihkan. Antar partai politik gontok-gontokan. Antar koalisi saling berebut kursi kekuasaan. Mereka tak sungkan saling sikut demi jabatan. Bahkan tak segan saling menjatuhkan. Saat yang sama, nasib rakyat terlupakan. Bahkan seolah tak mereka pedulikan.
Ketiga, kita diperintahkan agar meninggalkan semua muamalah, tradisi, hukum dan sistem Jahiliah. Sebab semua itu bertentangan dengan Islam (Lihat juga: QS al-Maidah [5]: 50).
Di antara perkara Jahiliah yang telah dihapus oleh Rasulullah saw. sehingga wajib ditinggalkan adalah riba.
Namun sayang, hari ini riba bukan saja merajalela. Riba bahkan telah menjadi pilar utama ekonomi negara. Tidak aneh jika utang luar negeri ribawi, dengan bunga sangat tinggi, berpeluang membangkrutkan negeri ini. Anehnya, kita terus mengabaikan nasihat Baginda Nabi saw. yang mulia ini. Padahal jelas, nasihat beliau untuk menjauhi riba lebih layak ditujukan kepada kita hari ini, daripada ditujukan kepada para Sahabat, yang sejak awal telah mencampakkan riba.
Keempat, kita diingatkan untuk tidak merasa unggul dari bangsa dan umat lain. Sebab keunggulan manusia atas manusia lain di sisi Allah SWT hanya karena ketakwaannya (Lihat pula: QS al-Hujurat [49]: 13).
Kelima, kita diharuskan untuk senantiasa memelihara tali persaudaraan dengan sesama kaum Muslim. Beliau pun menegaskan:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ
Muslim itu saudara bagi Muslim yang lain. Seorang Muslim tidak boleh menzalimi, merendahkan dan menghina saudaranya (HR Muslim).
Namun sayang, hari ini tali persaudaraan Islam seolah lenyap. Bahkan antar kelompok umat Islam bisa saling berhadap-hadapan. Asal berbeda mazhab, bisa saling bertindak tak beradab. Asal beda paham, bisa saling melemparkan tudingan. Asal beda organisasi, bisa saling mem-bully. Bahkan tega mempersekusi. Asal beda kepentingan, bisa saling menggunting dalam lipatan. Asal teriak “Saya Pancasila”, bisa seenaknya menista pihak yang berbeda. Asal melempar tudingan “radikal”, bisa dengan mudah melakukan tindakan di luar akal.
Di luar negeri, hari ini kaum Muslim tampak lebih mementingkan ego kebangsaan masing-masing. Mareka tak peduli pada kondisi saudaranya. Bahkan yang lebih ironis, beberapa negara Muslim seperti Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab memberikan dukungan kepada Pemerintah Komunis Cina yang melakukan kezaliman terhadap umat Muslim di Xinjiang.
Padahal tegas Allah SWT telah berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ...
Kaum Mukmin itu sesungguhnya bersaudara... (TQS al-Hujurat [49]: 10).
Keenam, kita pun diharuskan untuk selalu menyampaikan nasihat kepada orang lain. Di antara nasihat yang paling utama adalah nasihat yang ditujukan kepada penguasa. Agar mereka tidak terus melakukan kezaliman. Kezaliman terbesar penguasa tidak lain saat mereka tidak menerapkan al-Quran. Saat mereka tidak menerapkan syariah Islam (Lihat: QS al-Maidah [5]: 45).
Karena itu tugas kitalah, segenap komponen umat Islam, apalagi para ulama dan para da’inya, untuk terus mendorong penguasa agar memerintah dengan al-Quran.
Ketujuh, kita diwajibkan untuk selalu berpegang teguh pada al-Quran dan as-Sunnah. Baginda Nabi saw. telah menjamin. Siapapun yang istiqamah berpegang teguh pada keduanya, tak akan pernah tersesat selama-lamanya.
Namun sayang, apa yang dipesankan Baginda Nabi saw. 14 abad lalu, tak banyak diindahkan oleh kita hari ini. Al-Quran dan as-Sunnah tak lagi kita pedulikan, kecuali sebatas bacaan. Fakta hari ini berbicara: Banyak keharaman dihalalkan. Banyak pula perkara halal diharamkan. Tak jarang, semua itu dilegalkan oleh undang-undang. Lewat mekanisme demokrasi yang dibangga-banggakan. Riba, misalnya, telah lama dihalalkan. Miras pun dilegalkan meski dibatasi peredarannya. Zina tak dipandang sebagai kejahatan. LGBT pun tak boleh dikriminalkan karena itu melanggar HAM.
Di sisi lain, syariah Islam seolah haram untuk diterapkan. Institusi penerap syariah, yakni Khilafah, juga terlarang diperjuangkan. Bahkan tak boleh meski sekadar diwacanakan. Para aktivisnya mereka kriminalisasikan. Organisasinya mereka bubarkan. Dengan tuduhan yang diada-adakan. Padahal jelas, Khilafah adalah bagian penting dari ajaran Islam, yang wajib ditegakkan. Bahkan Khilafah pernah punya kaitan sejarah, juga kontribusi nyata, dalam penyebaran Islam melalui Wali Songo di Bumi Nusantara tercinta ini.
Hikmah:
Abu Hurairah ra. bertutur:
سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ الْإِيمَانُ بِاللَّهِ قَالَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ ثُمَّ الْحَجُّ الْمَبْرُورُ
Seseorang pernah bertanya kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah.” Ia bertanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ia bertanya lagi, “Kemudian apa?” Beliau menjawab, “Haji mabrur.” (HR an-Nasa’i).
Kaffah - Edisi 101