Zina adalah tindak kejahatan (jarimah) menurut syariah. Dasarnya antara lain adalah firman Allah SWT:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
Janganlah kalian mendekati zina. Sungguh zina itu tindakan keji dan jalan yang buruk (TQS al-Isra’ [17]: 32).
Zina adalah dosa besar setelah syirik. Nabi saw. bersabda:
مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ الشِّرْكِ أعْظَمُ عِنْدَ اللهِ مِنْ نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِي رَحِمٍ لاَ يَحِلُّ لَهُ
Tidak ada dosa yang lebih besar di sisi Allah, setelah syirik, kecuali dosa seorang lelaki yang menumpahkan spermanya dalam rahim wanita yang tidak halal bagi dirinya (HR Ibnu Abi ad-Dunya’).
Karena itu keharaman zina telah disepakati oleh para ulama berdasarkan dalil-dalil yang qath’i (tegas). Tak ada khilafiyah di dalamnya.
Upaya Jahat Menghalalkan Zina
Meski demikian, ada saja orang yang menolak keharaman zina. Mereka adalah kaum sekular-liberal. Berkedok karya ilmiah, mereka berani menghalalkan zina.
Baru-baru ini Abdul Aziz, seorang mahasiswa pasca sarjana UIN Yogyakarta, dengan merujuk pada pemikiran tokoh liberal asal Suriah, Muhammad Syahrur, berupaya menghalalkan hubungan intim nonmarital (di luar nikah) alias zina di dalam disertasinya. Ironisnya, disertasinya lalu diganjar predikat ‘sangat memuaskan’ oleh para dosen pengujinya. Padahal isinya terang-terangan menyerukan legalisasi dan perlindungan terhadap perzinaan.
Sekurang-kurangnya ada dua alasan mengapa hubungan intim di luar nikah alias zina coba dilegalkan. Pertama, untuk mencegah kriminalisasi terhadap hubungan intim nonmarital (di luar nikah) konsensual. Pasalnya, menurut mereka, al-Quran tidak menjelaskan makna kata “zina”. Selain itu, kata mereka, banyak hubungan intim nonmarital yang dilakukan berdasarkan kesepakatan dan dilakukan di tempat tertutup, seperti samen laven (kumpul kebo/al-musakanah), atau di kamar hotel bersama pelacur. Yang demikian, kata mereka, tidak patut dikatakan sebagai bentuk zina dan dinyatakan sebagai kejahatan.
Kedua, di dalam Islam, kata mereka, sebenarnya telah ada payung hukum yang menghalalkan hubungan intim nonmarital, yakni hubungan intim antara majikan dan budak/sahaya perempuan (milkul yamin). Jika dulu status perempuan selain istri itu adalah hamba sahaya, dalam konteks kekinian ‘milkul yamin’ itu bisa diterapkan pada pasangan seksual di luar nikah, seperti teman kencan, PSK, pasangan kumpul kebo dan siapa saja yang dijadikan mitra hubungan seksual di luar nikah. Syaratnya: tidak ada unsur paksaan, tak ada penipuan, bukan dengan pasangan orang lain, serta dilakukan di tempat tertutup.
Dusta dan Sesat!
Jelas dusta besar jika dikatakan syariah Islam tidak memberikan penjelasan yang jernih mengenai pengertian zina. Meski al-Quran tidak merinci arti zina, para ulama menjelaskan makna zina dengan detil. Mazhab Syafii, misalnya, memberikan pengertian zina sebagai berikut:
إِيلاَجُ حَشَفَةٍ أَوْ قَدْرِهَا فِي فَرْجٍ مُحَرَّمٍ لِعَيْنِهِ مُشْتَهًى طَبْعًا بِلاَ شُبْهَةٍ
Masuknya ujung kemaluan laki-laki meskipun sebagiannya ke dalam kemaluan wanita yang haram dalam keadaan syahwat yang alami tanpa syubhat (Lihat: Hasyiah al-Jamal, kitab “Az-Zina”, 21/80, Maktabah Syamilah).
Secara umum zina adalah hubungan seks antara pria dan wanita yang tidak diikat oleh ikatan pernikahan. Perbuatan itu dilakukan dengan sukarela, bukan pemaksaan alias bukan tindak pemerkosaan.
Karena itu sesat lagi menyesatkan bila dikatakan hubungan seks yang dilakukan atas dasar kerelaan dan tidak dilakukan di tempat terbuka tidak masuk kategori perzinaan, seperti kumpul kebo maupun prostitusi. Jelas ini pernyataan yang melecehkan hukum Allah SWT.
Padahal jelas, Nabi saw. pernah menghukum Maiz Ibnu Malik yang mengaku berzina dengan seorang budak perempuan milik Hazzal. Beliau juga menghukum seorang perempuan bernama al-Ghamidiyah yang juga mengaku berbuat zina. Padahal perbuatan mereka itu dilakukan atas dasar suka sama suka dan bukan di tempat umum. Nabi saw. menjatuhkan had (sanksi) rajam baik kepada Maiz maupun kepada al-Ghamidiyah.
Keharaman zina telah nyata dijelaskan baik dalam Kitabullah maupun Sunnah Rasulullah saw. Di antaranya dalam QS al-Isra’ (17) ayat 32 sebagaimana dinukil di atas.
Keharaman zina juga dipertegas dengan adanya had/sanksi bagi pelakunya (Lihat: QS an-Nur [24]: 2).
Pandangan bahwa status milkul yamin dalam konteks kekinian terwujud sebagai mitra hubungan seksual adalah penipuan yang amat kotor. Fakta milkul yamin yang sahih sebagaimana penjelasan para fuqaha bukanlah demikian. Milkul yamin adalah hamba sahaya yang dikuasai majikannya dan berada dalam tanggung jawabnya sehingga wajib untuk dijaga dan dinafkahi layaknya keluarga. Nabi saw. bersabda:
لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ مَا لاَ يُطِيقُ
Hamba sahaya memiliki hak atas makanan dan pakaiannya secara makruf serta tidak dibebani dengan pekerjaan yang tak sanggup dia kerjakan (HR al-Baihaqi).
Jadi milkul yamin bukanlah pasangan kumpul kebo, apalagi disamakan dengan pelacur.
Saat Islam datang, perbudakan telah ada, termasuk pada sahaya perempuan yang disebut milkul yamin. Islam datang untuk menata hukum perbudakan sehingga menjadi lebih beradab. Selain diizinkan menggauli sahaya perempuan, syariah Islam mewajibkan para majikan untuk menanggung nafkah hamba sahaya mereka Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
Orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, sungguh mereka dalam hal ini tiada terceIa (TQS al-Mu’minun [23]: 5-6).
Syaikh As-Sa’di menjelaskan maksud “milkul yamin” dalam ayat di atas, yaitu budak perempuan yang dimiliki.
Karena itu tafsir hermeneutika yang digunakan Muhammad Syahrur dengan meluaskan makna milkul yamin sebagai mitra hubungan seksual, termasuk pelacur, sama sekali tidak berdasar dan merupakan penyimpangan. Kepada mereka patut disampaikan Hadis Nabi saw.:
مَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Siapa saja yang berkata tentang al-Quran tanpa ilmu maka siapkanlah tempat duduknya di neraka (HR at-Tirmidzi).
Juga sabda beliau:
مَنْ قَالَ فِى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
Siapa saja yang berkata tentang al-Quran sebatas dengan akalnya, lalu kebetulan ia benar, maka ia tetap salah (HR Abu Dawud).
Liberalisme Merusak Umat
Dalam masyarakat sekular-liberal kebebasan seksual (hurriyatul jinsiyyah) adalah salah satu prinsip hidup yang menurut mereka wajib untuk dipertahankan dan dikampanyekan di bawah payung hukum/undang-undang demokrasi. Mereka paham bahwa satu-satunya penghalang atas gagasan kebebasan seksual mereka hanyalah ajaran Islam yang mulia. Karena itu mereka berusaha memelintir makna banyak ayat al-Quran. Salah satunya tentang keharaman zina. Metode yang mereka gunakan dalam menafsirkan ayat adalah hermeneutika, yakni metode penafsiran teks ala filsafat Barat. Dengan hermeneutika, teks-teks al-Quran kemudian ditafsirkan semata-mata dengan akal dan hawa nafsu mereka. Melalui pendekatan ini, al-Quran, misalnya, harus ditafsirkan mengikuti perkembangan zaman. Ketika kini perselingkuhan meruyak, hubungan intim nonmarital (perzinaan) menjamur, pelacuran merebak, maka seharusnya ayat-ayat al-Quran tidak kaku mengikuti awal kemunculannya. Ia harus fleksibel. Harus ditafsirkan mengikuti konteks kekinian. Karena itu perzinaan harus diterima sebagai keniscayaan. Ayat-ayat al-Quran tentang hukum perzinaan harus ditafsir ulang agar cocok dengan zaman.
Inilah pemikiran sesat kaum liberal. Pemikiran sesat ini bisa menyeret pelakunya ke dalam dosa besar, bahkan murtad, jika tidak segera bertobat. Pasalnya, di antara perkara yang dapat membatalkan keimanan seseorang adalah menghalalkan yang haram atau sebaliknya (Lihat: QS an-Nahl [16]: 116).
Muhammad bin Ismail ar-Rasyid menyebutkan beberapa perbuatan penyebab kekufuran. Di antara yang beliau sebutkan: “Siapa yang mengingkari keharaman perbuatan yang disepakati haram, atau ragu mengharamkan sesuatu yang disepakati haram seperti khamr, zina, homo atau riba, atau dia meyakini bahwa dosa besar atau kecil itu halal maka dia kafir.” (Tahdzib Risalah al-Badr ar-Rasyid, hlm. 45).
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni juga menyatakan: “Siapa saja yang meyakini kehalalan sesuatu yang telah disepakati keharamannya, dan jelas hukumnya di tengah kaum Muslim, serta tidak ada syubhat di dalam nas yang tercantum di dalamnya seperti keharaman daging babi dan zina, dan yang semisal hal itu yang tak ada perselisihan di dalamnya, orang itu telah kufur.”
Alhasil, jelas Islam telah dirusak oleh kaum liberal dengan berkedok karya ilmiah, berstatus kaum intelektual, tetapi mati nuraninya, dan berniat busuk untuk merusak kehidupan masyarakat.
Ketiadaan syariah Islam yang melindungi umat membuat musuh-musuh Islam mudah melancarkan tikaman beracun dalam wujud pemikiran rusak untuk menjatuhkan umat. Karena itu kembali pada Islam sebagaimana yang diajarkan salafush-shalih akan melindungi umat Islam dan memuliakan umat manusia secara keseluruhan.
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
مَا ظَهَرَ فِي قَوْمٍ الزِّنَا وَالرِّبَا إِلا أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عِقَابَ اللَّهِ
Tidaklah merebak pada suatu kaum zina dan riba, melainkan mereka telah menghalalkan untuk diri mereka siksa Allah. (HR Abu Ya’la).
Kaffah - Edisi 106