Sekarang adalah era informasi. Termasuk informasi via media sosial. Setiap orang bisa menjadi sumber sekaligus penyebar informasi. Tentu akan bagus sekali kalau informasi yang beredar itu tentang kebaikan dan merupakan informasi yang benar.
Namun, sayangnya tidak selalu demikian. Begitu banyak informasi yang sering bertolak belakang satu sama lain. Banyak informasi yang tidak jelas, konten maupun sumbernya. Banyak informasi yang bombastis dan cenderung berlebihan. Banyak bertebaran informasi bohong. Banyak fakta yang diputarbalikkan. Banyak informasi yang direkayasa tanpa fakta nyata. Juga banyak informasi menyesatkan.
Ketika menghadapi bombardir informasi yang sedemikian rupa itu, terjadilah hal yang kebalik-balik. Orang jujur dicap pendusta. Pendusta dinilai jujur. Pengkhianat dipercaya dan diberi amanah. Orang yang amanah dicap pengkhianat/tidak dipercaya dan tidak diberi amanah. Amanah yang ada pada dirinya pun dicabut. Mungkin era inilah yang diperingatkan oleh Rasul saw.:
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتُ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ، قِيلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: الرَّجُلُ السَّفِيهُ (التَّافِهُ) يَتَكَلَّم فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Akan datang pada manusia tahun-tahun penuh tipuan. Di dalamnya pembohong dipercaya. Orang jujur justru dinilai pembohong. Pengkhianat diberi amanah. Orang amanah dinilai pengkhianat. Di situ ruwaibidhah berbicara.” Ditanyakan, “Apakah ruwaibidhah itu?” Beliau bersabda, “Orang bodoh yang berbicara tentang urusan publik.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, al-Hakim dan ath-Thabarani).
Peran Buzzer
Informasi bohong atau hoax yang berseliweran salah satunya adalah akibat ulah para buzzer (pendengung/penggonggong) durjana. Mereka membuat dan atau menyebarkan informasi bohong. Informasi bohong itu juga direproduksi dan dipermak sedemikian rupa. Akibatnya, satu kebohongan bisa beranak-pinak menjadi sekian banyak kebohongan.
Para buzzer itu tidak hanya bertindak sendirian. Mereka berkelompok bahkan terorganisir. Mereka bergerak dan digerakkan layaknya pasukan di dunia siber (pasukan siber). Penggunaan pasukan siber menjadi fenomena global. Hal itu diungkap dalam penelitian Samantha Bradshaw dan Philip N. Howard dari Universitas Oxford Inggris dengan judul, “The Global Disinformation Order, 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation”.
Penggunaan pasukan siber itu juga terjadi di Indonesia. Penggunanya bisa parpol, individu bahkan rezim. Tujuannya adalah menciptakan disinformasi, menekan hak dasar manusia, mendiskreditkan oposisi politik dan membenamkan pendapat yang berlawanan. Dalam laporan itu juga disebutkan, buzzer di Indonesia dikontrak dengan bayaran 1 juta-50 juta (Cnbcindonesia.com, 4/10).
Riset itu juga menemukan bukti buzzer di Indonesia menyebarkan pesan propaganda untuk mendukung pemerintah, menyerang oposisi dan menciptakan polarisasi publik (https://www.law-justice.co/…/terbongkar-tujuan-buzzer-di-i…/).
Hoax Haram!
Ahli Komunikasi dari Universitas Indonesia (UI), Profesor Muhammad Alwi Dahlan, menjelaskan bahwa hoax merupakan kabar bohong yang sudah direncanakan oleh penyebarnya. "Hoax merupakan manipulasi berita yang sengaja dilakukan dan bertujuan untuk memberikan pengakuan atau pemahaman yang salah," ujar Alwi.
Alwi menjelaskan, hoax berbeda dengan berita bohong biasa karena hoax direncanakan sebelumnya. "Berbeda antara hoax dan berita karena orang salah kutip. Pada hoax ada penyelewengan fakta sehingga menjadi menarik perhatian masyarakat," jelas Alwi. Ia juga menjelaskan bahwa hoax sengaja disebarkan untuk mengarahkan orang ke arah yang tidak benar (Antaranews.com, 11 Januari 2017).
Ash-Shan’ani di dalam Subul as-Salâm menjelaskan, ash-shidqu (kejujuran) adalah apa yang sesuai fakta (mâ thâbaq al-wâqi’a). Sebaliknya, al-kadzibu (kebohonan/hoax) adalah apa yang menyalahi fakta (mâ khâlafa al-wâqi’a). Inilah hakikat keduanya menurut jumhur.
Dalam Islam, kebohogan (al-kadzib) secara umum adalah haram. Berbohong, termasuk di dalamnya membuat berita bohong, adalah dosa dan haram hukumnya. Begitu pula menyebarkan berita bohong itu. Abdullah bin Mas’ud menuturkan bahwa Rasul saw. bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّهُ مَعَ الْفُجُورِ وَهُمَا فِى النَّارِ
Tinggalkanlah kebohongan karena sungguh kebohongan itu bersama kekejian dan kedua (pelaku)-nya di neraka (HR Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan ath-Thabarani).
Berbicara bohong juga dinyatakan sebagai salah satu karakter orang munafik. Hal itu menunjukkan bahwa berbohong merupakan dosa besar. Dalam hal ini, membuat tulisan bohong sama dengan berbicara bohong.
Semua bentuk berbohong dilarang untuk dilakukan oleh siapapun, kepada siapapun dan dengan maksud apapun. Termasuk berbohong untuk mendukung rezim penguasa. Rasul saw bersabda:
إِنَّهُ سَتَكُوْنُ بَعْدِي أُمَرَاءُ مَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَيَّ الْحَوْضَ
Sungguh akan ada sesudahku para pemimpin. Siapa saja yang membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka maka ia bukan golonganku dan aku pun bukan golongannya; ia pun tidak akan masuk menemaniku di telaga. Sebaliknya, siapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka maka ia termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya; ia pun akan masuk ke telaga bersamaku (HR an-Nasai, al-Baihaqi dan al-Hakim).
Membenarkan kebohongan penguasa adalah haram. Pelakunya bisa tidak masuk surga dan tidak diakui sebagai golongan Nabi saw. Apalagi berbohong untuk mendukung kebohongan penguasa atau membantu kezaliman penguasa. Tentu lebih besar lagi dosanya.
Berbohong hanya dibolehkan dalam tiga keadaan. Rasul saw. bersabda:
كُلُّ الْكَذِبِ يُكْتَبُ عَلَى ابْنِ آدَمَ إِلاَّ ثَلاَثَ خِصَالٍ رَجُلٌ كَذَبَ عَلَى امْرَأَتِهِ لِيُرْضِيَهَا أَوْ رَجُلٌ كَذَبَ فِى خَدِيعَةِ حَرْبٍ أَوْ رَجُلٌ كَذَبَ بَيْنَ امْرَأَيْنِ مُسْلِمَيْنِ لِيُصْلِحَ بَيْنَهُمَا
Semua kebohongan ditulis (sebagai dosa, red.) atas anak Adam kecuali tiga macam: seseorang yang berbohong kepada istrinya untuk menyenangkan dia; seseorang berbohong sebagai tipudaya dalam perang; atau seseorang berbohong kepada dua orang Muslim untuk mendamaikan keduanya (HR Ahmad).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani menyatakan dalam Fath al-Bârî, “Mereka sepakat bahwa yang dimaksud kebohongan (yang dibolehkan) atas perempuan dan laki-laki itu tidak lain dalam apa yang tidak menggugurkan hak yang mesti ditunaikan atas dirinya atau tidak mengambil apa yang menjadi haknya.”
Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim menyatakan, “Yang dimaksud kebohongannya kepada istrinya atau sebaliknya adalah dalam menampakkan kecintaan dan janji dengan apa yang tidak mengikat dan semacamnya. Adapun tipudaya dalam menghalangi apa yang menjadi kewajibannya atau mengambil apa yang menjadi haknya adalah haram menurut ijmak kaum Muslim.”
Hentikan dan Jauhi Hoax
Imam al-Ghazali menilai, kebohongan merupakan dosa yang sangat tercela. Kebohongan juga dinilai sebagai dosa besar. Ar-Ruwiyani dari kalangan Syafiiyah menilai kebohongan merupakan al-kabîrah (dosa besar).
Kebohongan, membuat berita bohong (hoax) dan menyebarkan kebohongan adalah dosa besar yang termasuk tindakan jarîmah (kriminal) dalam pandangan Islam. Namun demikian, Islam tidak menetapkan sanksinya secara spesifik. Jadi hal itu masuk dalam ta’zir. Artinya, jenis dan kadar hukumannya diserahkan kepada Khalifah atau qâdhi. Jika kebohongan atau hoax itu menyebabkan dharar atau kerugian maka sanksi hukumnya tentu sebanding dengan besarnya dharar atau kerugian yang ditimbulkan itu.
Islam memerintahkan untuk menjauhi kebohongan atau hoax dan tidak menyebarkannya. Untuk itu, Islam mensyariatkan tabayyun. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, klarilifikasilah, agar kalian tidak menimpakan bencana atas suatu kaum karena suatu kebodohan sehingga kalian menyesali apa yang telah kalian lakukan (TQS al-Hujurat [49]: 6).
Kata tabayyun bermakna klarifikasi. Itu menjadi kata kunci dalam menghadapi berita hoax. Imam ath-Thabari memaknai kata tabayyun dengan menyatakan, “Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui kebenarannya. Jangan terburu-buru menerimanya.” (Ath-Thabari, Tafsîr ath-Thabarî, 22/268).
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi mengartikan tabayyun dengan menyatakan, “Telitilah kembali sebelum kalian berkata, bertindak atau memvonis.” (Al-Jazairi, Aysar at-Tafâsir, 4/119).
Karena itu dalam berbicara dan bermedia sosial, hendaknya seorang Muslim tidak gampang menge-share apa saja yang diterima. Rasul saw. mengingatkan:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Cukuplah orang dinilai pendusta jika dia biasa menceritakan semua yang dia dengar (HR Muslim).
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kalian senantiasa bersama orang-orang yang benar/jujur. (TQS at-Taubah [9]: 119).
Kaffah - Edisi 110