Rasulullah saw. pernah berpesan agar kaum Muslim senantiasa berpegang teguh pada sunnah beliau dan sunnah Khulafaur Rasyidin. Tentu termasuk sunnah yang berkaitan dengan pemerintahan.
Di antara teladan Khulafaur Rasyidin yang mungkin segera terlintas sekarang ini adalah pidato yang disampaikan oleh Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq ra. selepas pelantikan beliau sebagai khalifah. Sebagaimana dituturkan oleh Anas bin Malik, selepas dibaiat dengan baiat umum, Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq ra. berpidato. Pertama-tama, beliau melantunkan pujian kepada Allah SWT, lalu berkata: “Aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian, sementara aku bukanlah orang terbaik dari kalian. Jika aku berbuat baik maka tolonglah aku. Jika aku berbuat buruk maka luruskan aku. Kejujuran adalah amanah, sedangkan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah di tengah kalian adalah kuat di sisiku sampai aku mengembalikan haknya, insya’a Allah…Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban taat bagi kalian kepadaku. Berdirilah kalian untuk shalat. Semoga Allah merahmati kalian.” (Imam ath-Thabari, Târîkh ath-Thabarî).
Dalam pidato singkat ini terkandung ibrah (pelajaran) yang sangat dalam. Di dalamnya tampak sekali kesadaran dan ketawadhuan seorang Abu Bakar ash-Shidiq ra. Meski tidak ada seorang pun yang tidak mengakui keutamaan dan keistimewaan beliau di sisi Rasul saw., tetap beliau mengucap, “Padahal aku bukanlah orang terbaik dari kalian.”
Kesadaran ini mesti dimiliki oleh penguasa dan pemimpin. Ini merupakan kesadaran bahwa meski secara faktual diakui sebagai sosok terbaik, seorang penguasa atau pemimpin tetaplah manusia biasa, bukan seperti seorang rasul yang maksum/bebas dari kesalahan. Sebagai manusia biasa, dia tetaplah punya potensi untuk berbuat salah. Apalagi kekuasaan termasuk godaan besar bagi manusia, yang bisa mendorong pemegangnya untuk berlaku korup bahkan lalim dan diktator.
Pemimpin dan penguasa dengan kesadaran seperti itu tidak akan memposisikan diri sebagai junjungan rakyat. Sebaliknya, akan mudah bagi dirinya untuk memposisikan diri sebagaimana yang dinyatakan di dalam riwayat Abu Nu’aim, yakni bahwa pemimpin satu kaum adalah pelayan mereka.
Dengan kesadaran itu pula, pemimpin dan penguasa itu tidak akan menganggap dirinya selalu benar. Sebaliknya, dia sadar betul mungkin saja berbuat buruk dan salah. Kesadaran demikian nsicaya melahirkan sikap yang tampak dalam ucapan Abu Bakar ash-Shidiq selanjutnya, “Jika aku berbuat baik maka tolonglah aku. Jika aku berbuat buruk maka luruskan aku.”
Kesadaran dan pernyataan demikian akan menjauhkan dukungan yang membabi buta dari para pendukung. Pemimpin dengan kesadaran ini justru akan mendorong para pendukungnya untuk tetap bersikap kritis kepada dirinya. Dengan kesadaran itu, tidak akan muncul sikap menikmati, membenarkan apalagi memfasilitasi bahkan membuat pasukan buzzers untuk membela dan mendukung apapun kebijakan dan tindakannya sekalipun dengan membuat dan menyebarkan hoax.
Pemimpin dan penguasa dengan kesadaran ini tidak menjadi sosok yang anti kritik. Sebaliknya, dia akan membuka diri terhadap nasihat, kritik dan koreksi hingga yang pedas dan keras sekalipun. Pasalnya, dia sadar bahwa nasihat, kritik dan koreksi itulah yang justru menjadi kebaikan bagi dirinya di dunia dan akhirat kelak. Sebaiknya, puja-puji dan dukungan serta pembelaan buta dari para pendukungnya sebenarnya merupakan keburukan bagi dirinya dan akan mendatangkan kebinasaan khususnya di akhirat kelak.
Pemimpin dan penguasa yang memiliki kesadaran itu akan benar-benar merasa gembira, bukan pura-pura, ketika ada di antara rakyat yang mau menyampaikan nasihat, kritik dan koreksi kepada dirinya. Dia akan merasa sedih dengan kondisi sebaliknya. Seperti itulah sikap Khalifah Umar bin al-Khaththab ra.
Diriwayatkan dari Musa bin Abi Isa: “Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah datang ke tempat minum Bani Haritsah. Lalu dia melihat Muhammad bin Maslamah. Khalifah Umar berkata kepada dia, “Bagaimana engkau melihatku?” Dia berkata, “Aku melihatmu seperti yang aku sukai dan seperti yang wajib bagimu, yakni kebaikan. Aku melihatmu kuat atas pengumpulan harta, bersih darinya dan adil dalam pembagiannya. Andai engkau menyimpang, niscaya aku akan meluruskan engkau seperti anak panah diluruskan di ats-tsaqaf.”
Khalifah Umar lalu berkata, “Segala pujian hanya milik Allah yang telah menjadikan aku berada di tengah kaum yang jika aku melenceng, mereka akan meluruskan aku.” (Adz-Dzahabi, Târîkh al-Islâm wa Wafiyâtu al-Masyâhir wa al-A’lâm, IV/114).
Rasulullah saw. telah memberitakan bahwa akan ada para pemimpin hingga imam/khalifah yang di antara mereka melakukan kemakrufan dan yang melakukan kemungkaran. Bahkan mereka berpotensi melakukan kemakrufan maupun kemungkaran. Rasul saw. sekaligus memberikan tuntunan bagaimana rakyat mesti bersikap kepada pemimpin/penguasa seperti itu:
إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ
Sungguh akan diangkat atas kalian para pemimpin, sementara kalian mengetahui (kemakrufannya) dan mengingkari (kemungkarannya). Siapa yang membenci (kemungkarannya), dia bebas. Siapa yang mengingkari (kemungkarannya), dia selamat. Akan tetapi, siapa yang ridha dan mengikuti (kemungkarannya) (tidak selamat)...” (HR Muslim, Abu Dawud dan Ahmad).
Mengomentari hadis di atas, Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim menjelaskan: yakni siapa yang membenci kemungkaran itu maka dia terbebas dari dosa dan sanksinya. Ini bagi orang yang tidak mampu mengingkari kemungkaran penguasa dengan tangannya dan tidak pula dengan lisannya… Wa lakin man radhiya wa tâba’a bermakna: Akan tetapi, dosa dan sanksi itu atas orang yang ridha dan mengikuti (kemungkarannya). Di sini ada dalil bahwa orang yang tidak mampu menghilangkan kemungkaran, ia tidak berdosa semata karena diam, melainkan dia berdosa karena ridha terhadap kemungkarannya atau tidak membenci kemungkarannya dengan hatinya, atau dengan mengikutinya.
Ketika kemungkaran tampak dari pemimpin atau penguasa maka rakyat wajib mengingkari penguasa tersebut sekaligus menasihati dan mengoreksi dirinya. Tentu hal itu tidak dilakukan berdasarkan suka dan tidak suka, like and dislike, tetapi berdasarkan standar bahwa itu merupakan kemungkaran/menyalahi hukum-hukum syariah.
Nasihat/kritik (muhasabah) kepada penguasa itu juga bukan karena atau demi kepentingan dunia, melainkan karena kepentingan akhirat, yakni melaksanakan kewajiban dari Allah SWT. Sekalipun demikian, muhasabah kepada penguasa itu akan memberikan kebaikan di dunia. Sebab dengan itu, masyarakat bisa terhindar dari keburukan akibat kemungkaran penguasanya.
Ketika pemimpin atau penguasa itu melakukan kemungkaran, artinya dia melakukan kezaliman. Dalam hal yang demikian, haram mendukung kezaliman itu. Jangankan mendukung, bahkan sekadar cenderung kepada pelaku kezaliman saja haram dan konsekuensinya sangat berat. Allah SWT berfirman:
وَلاَ تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لاَ تُنصَرُونَ
Janganlah kalian cenderung kepada orang-orang zalim yang menyebabkan kalian disentuh api neraka. Sekali-kali kalian tidak mempunyai seorang penolong pun selain Allah. Kemudian kalian tidak akan diberi pertolongan (TQS Hud [11]: 113).
Pemimpin yang memiliki kesadaran seperti itu tentu akan mendorong rakyatnya untuk bersikap kritis kepada dirinya. Dia akan mendorong rakyat untuk mengoreksi dirinya ketika menyimpang dari syariah. Dia pun akan mendorong rakyat untuk menaati dirinya hanya dalam kemakrufan, tidak dalam hal yang sebaliknya. Rasul saw. bersabda:
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Mendengar dan taat itu wajib bagi seorang Muslim dalam apa yang ia sukai atau tidak dia sukai selama dia tidak diperintahkan dengan kemaksiatan. Jika diperintahkan dengan kemaksiatan maka tidak ada kewajiban mendengar maupun taat (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ahmad).
Dengan semua itu, akan ada pemimpin dan penguasa yang paling baik, yang mencintai dan dicintai oleh rakyat, serta yang mendoakan dan didoakan oleh rakyat. Pemimpin demikian hanya akan ada ketika dia seorang Muslim yang bertakwa dan menjalankan syariah Islam secara kaffah dalam sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Semoga segera terwujud di tengah umat. Amin.
Hikmah:
Rasul saw. bersabda:
إِنَّهُ سَتَكُوْنُ بَعْدِي أُمَرَاءُ مَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَيَّ الْحَوْضَ
Sungguh akan ada sesudahku para pemimpin. Siapa saja yang membenarkan kebohongan mereka dan membantu mereka atas kezaliman mereka maka ia bukan golonganku dan aku pun bukan golongannya dan ia tidak akan masuk menemaniku di telaga. Sebaliknya, siapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu mereka atas kezaliman mereka maka ia termasuk golonganku dan aku pun termasuk golongannya dan ia akan masuk ke telaga bersamaku.” (HR an-Nasai, al-Baihaqi dan al-Hakim).
Kaffah - Edisi 112