Telaah Kitab kali ini mengkaji hubungan suami-istri serta distribusi tugas keduanya dalam kehidupan rumah tangga. Di dalam Pasal 121 Muqaddimah ad-Dustur ditetapkan: Pasangan suami-istri tolong-menolong dalam melaksanakan tugas-tugas rumah secara sempurna. Seorang suami wajib mengerjakan semua tugas yang dilakukan di luar rumah. Adapun istri wajib mengerjakan semua tugas yang dikerjakan di dalam rumah, sesuai dengan kemampuannya. Seorang suami wajib menyediakan pembantu bagi istri dengan kadar yang bisa menyelesaikan urusan-urusan yang tidak bisa ditunaikan oleh seorang istri.
Di dalam pasal ini dijelaskan bahwa hubungan suami-istri dalam konteks kewajiban mereka mengurus kehidupan rumah tangga adalah relasi yang bersifat ta’awwuniyyah (hubungan saling menolong dan membantu). Seorang suami bertugas mengerjakan tugas-tugas yang ada di luar rumah. Adapun istri berkewajiban mengerjakan tugas-tugas di dalam rumah. Seorang suami berkewajiban menyediakan pembantu untuk membantu tugas-tugas yang tidak bisa ditunaikan istri.
Dalil yang melandasi pasal ini adalah Sunnah Nabi saw. Imam Ibnu Abiy Syaibah menuturkan sebuah riwayat dari Dhamrah bin Habib yang berkata:
قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَلَى اِبْنَتِهِ فَاطِمَةَ بِخِدْمَةِ الْبَيْتِ وَ قَضَى عَلَى عَلِيٍّ بِمَا كَانَ خَارِجًا مِنَ الْبَيْتِ
Rasulullah saw. telah menetapkan atas putrinya, Fathimah ra. untuk mengerjakan tugas-tugas (di dalam rumah) dan telah menetapkan atas ‘Ali ra, mengerjakan tugas-tugas di luar rumah (HR Ibnu Abiy Syaibah dalam Mushannif Ibnu Abiy Syaibah).
Di dalam hadis ini adalah seorang perawi bernama Abu Bakar bin Maryam al-Ghassaaniy yang dianggap lemah. Hanya saja, hadis di atas dijadikan hujjah oleh Imam Abu Hanifah. Al-Hafidh Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy di dalam Kitab Fath al-Bari berkata tentang hadits tersebut, “Ketentuan ini di-istinbath dari hadis Ali bin Abi Thalib ra. bahwa Fathimah pernah menemui Nabi saw. meminta kepada beliau seorang pembantu. Lalu beliau memberitahu kepada Fathimah apa yang mesti dia ucapkan saat hendak menuju tempat tidur.”
Pasal di atas juga disandarkan pada hadis riwayat Imam al-Bukhari dari Ali bin Abi Thalib ra. Redaksinya adalah sebagai berikut:
أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلاَمُ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْأَلُهُ خَادِمًا فَقَالَ أَلاَ أُخْبِرُكِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكِ مِنْهُ تُسَبِّحِينَ اللهَ عِنْدَ مَنَامِكِ ثَلَاً وَثَلَاثِينَ وَتَحْمَدِينَ الله ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَتُكَبِّرِيْنَ اللهَ أَرْبَعًا وَثَلَاثِيْنَ ثُمَّ قَالَ سُفْيَانُ إِحْدَاهُنَّ أَرْبَعٌ وَثَلاَثُوْنَ فَمَا تَرَكْتُهَا بَعْدُ قِيْلَ وَلاَ لَيْلَةً صِفِّيْنَ قَالَ وَلاَ لَيْلَةَ صِفِّيْنَ
Fathimah menemui Nabi saw. untuk meminta seorang pembantu. Nabi saw. bersabda, “Perhatikan, aku akan memberitahumu sesuatu yang lebih baik bagimu. Bertasbihlah untuk mensucikan Allah sebanyak 33 kali (membaca subhanallah 33 kali), memujilah kepada Allah sebanyak 33 kali (membaca al-hamdulillah 33 kali) dan bertakbirlah membesarkan Allah sebanyak 34 kali, saat engkau hendak tidur.” Kemudian Sufyan berkata, “Salah satunya adalah 34 kali. Aku tidak pernah meninggalkan bacaan ini.” Ditanyakan, “Tidak juga malam Perang Shiffin?” Sofyan berkata, “Tidak juga malam Perang Shiffin.” (HR al-Bukhari).
Hadis ini menunjukkan kewajiban seorang istri memberikan bantuan pada urusan-urusan di dalam rumah. Sebab, permintaan pembantu oleh seorang istri menunjukkan begitu berat tugasnya melaksanakan urusan-urusan di dalam rumah. Sekiranya melaksanakan tugas dan pekerjaan di dalam rumah tidak wajib bagi istri, niscaya tidak akan ditunjukkan kesulitan dan beratnya tugas seorang istri di dalam rumah di dalam riwayat-riwayat di atas.
Setelah menengahi hadis Fathimah dan Asma’ bin Abu Bakar, Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqh as-Sunnah menyatakan:
Di dalam dua hadis ini terdapat faedah bahwa seorang istri wajib melaksanakan tugas-tugasnya di dalam rumah, sebagaimana halnya seorang laki-laki wajib memberikan nafkah kepada seorang istri. Sayyidah Fathimah ra. mengadu kepada Nabi saw. atas tugas-tugasnya. Rasulullah saw. tidak mengatakan kepada ‘Ali ra. (suami Fathimah) bahwa tidak ada tugas bagi dirinya, tetapi tugas itu bagimu (Ali ra). Demikian juga, pada saat beliau menyaksikan tugas yang dikerjakan Asma’ untuk suaminya, beliau tidak mengatakan tidak ada tugas untuk dia (Asma`), tetapi beliau justru menetapkan wajib ia melaksanakan tugas-tugasnya. Seluruh sahabat Nabi saw. telah menetapkan wajib istri-istri mereka melaksanakan tugas-tugasnya. Padahal beliau saw mengetahui ada di antara mereka (para istri) yang tidak suka dan ada pula yang ridha. Ibnu Qayyim berkata, “Perkara ini tidak ada keraguan di dalamnya. Tidak boleh ada pembedaan antara wanita yang mulia dengan wanita rendahan, antara yang miskin maupun yang kaya. Beliau ini adalah semulia-mulia dari wanita yang ada di dunia ini. Beliau membantu suaminya, lalu mendatangi Rasulullah saw. mengeluhkan tugas-tugasnya. Namun, Rasulullah saw. tidak mendengarkan keluhannya.” (Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 2/202. Maktabah Syamilah).
Di dalam al-Quran telah ditetapkan hak dan kewajiban suami-istri. Allah SWT berfirman:
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
Istri-istri itu mempunyai hak (dari suami mereka) sebagaimana pada diri mereka terdapat kewajiban (terhadap suaminya) dengan cara yang baik (QS al-Baqarah [2]: 228).
Ulama fikih telah menjelaskan secara rinci hak dan kewajiban suami dan istri. Di antaranya adalah sebagai berikut:
Suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya baik makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal dengan cara yang baik. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw.:
تُطْعِمُهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلا تَضْرِب الْوَجْهَ، وَلاَ تُقَبِّحْ، وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ
Engkau harus memberi dia makan jika engkau makan, juga memberi dia pakaian jika engkau berpakaian. Janganlah engkau menempeleng wajah, jangan pula engkau menghina dia, dan jangan mendiamkan dia kecuali di dalam rumah (HR Ahmad, ath-Thabarani dan an-Nasai. Syuaib al-Arnauth mengatakan isnad hadis ini hasan).
Berlaku adil dalam pembagian jika suami mempunyai istri lebih dari satu orang. Rasulullah saw bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ اِمْرَأَتَانَ يَمِيلُ لإحْدَاهُمَا عَلَى اْلأُخْرَى جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَدُ شِقَّيْهِ مَائِلٌ
Siapa saja yang mempunyai dua orang istri kemudian dia lebih condong kepada salah satunya atas yang lain (hingga menelantarkan yang lain), maka kelak ia akan datang pada Hari Kiamat dalam keadaan setengah badannya doyong (HR an-Nasai).
Istri wajib menaati suaminya dalam hal kebaikan, bukan dalam kemaksiatan kepada Allah SWT. Hanya saja seorang suami hendaknya tidak memberatkan ataupun menyusahkan istrinya. Ketentuan semacam ini didasarkan pada Firman Allah SWT:
أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ ٣٤
Bila istri-istri menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusah-kan mereka… (QS an-Nisa’ [4]: 34).
Masih banyak lagi ketentuan-ketentuan syariat yang mengatur hak dan kewajiban suami-istri.
Syariah Islam mengatur distribusi tugas dan kewajiban suami-istri dalam kehidupan rumah tangga, hingga terwujud di dalamnya kehidupan yang dipenuhi dengan tolong-menolong, persahabatan dan saling memberikan ketenangan satu dengan yang lain.
Oleh : Gus Syams