Mengimani kenabian Muhamamad saw. harus diikuti dengan mencintai dan memuliakan sosoknya. Mencintai Baginda Nabi saw. bukanlah sebagaimana mencintai sesama insan. Kecintaan seorang Muslim kepada beliau harus di atas kecintaan kepada yang lain, baik itu harta, kedudukan, jabatan, keluarga bahkan dirinya sendiri. Belum sempurna keimanan seseorang bila masih ada kecintaan yang melebihi kecintaan kepada Baginda Nabi saw.:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Belum sempurna iman salah seorang di antara kalian sampai ia menjadikan aku lebih dicintai daripada orangtuanya, anaknya dan segenap manusia (HR al-Bukhari).
Wajib Mencintai Nabi saw.
Mencintai Nabi saw. hukumnya fardhu. Pada suatu hari Umar bin al-Khaththab berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.” Beliau menjawab, “Tidak. Demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Berkatalah Umar, “Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR al-Bukhari).
Allah SWT memberikan ancaman keras kepada siapa saja yang cintanya kepada Rasul saw. terpalingkan oleh kecintaan kepada yang lain:
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Katakanlah, "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kalian, kaum keluarga kalian, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya dan tempat tinggal yang kalian sukai adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (azab)-Nya. Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang fasik (TQS at-Taubah [9]: 24).
Banyak keutamaan yang kelak Allah berikan untuk siapa saja yang mempertahankan mahabbah (kecintaan) kepada Allah dan Nabi saw. di atas segalanya. Di antaranya, mereka kelak akan dikumpulkan bersama Nabi saw. di surga-Nya kelak.
Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw. tentang Hari Kiamat, “Kapan Hari Kiamat itu?” Nabi bertanya, “Apa yang sudah engkau siapkan untuk menghadapinya?” Dia menjawab, “Tidak ada, kecuali aku sungguh sangat mencinati Allah dan Rasul-Nya.” Lalu beliau bersabda:
أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ
“Engkau akan bersama dengan yang engkau cintai.” (HR al-Bukhari).
Orang yang mencintai Allah dan Nabi-Nya saw. juga akan merasakan manisnya iman, sebagaimana sabdanya:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا
Ada tiga perkara yang jika terdapat pada seseorang maka ia akan merasakan manisnya iman (di antaranya): Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya… (HR al-Bukhari dan Muslim).
Hukuman Mati bagi Penista Nabi saw.
Jika mencintai Rasulullah saw. merupakan kewajiban dan kebaikan yang amat luhur, maka menista (istihza’) terhadap kemuliaan beliau adalah dosa besar. Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih (TQS at-Taubah [9]: 61).
Allah SWT juga berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا
Sungguh orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknati mereka di dunia dan di akhirat serta menyediakan bagi mereka siksaan yang menghinakan (TQS al-Ahzab [33]: 57).
Lalu apa saja yang terkategori menistakan Nabi saw.? Apakah menyamakan beliau dengan manusia biasa, apalagi merendahkan beliau dibandingkan orang lain, semisal ayah kandung, termasuk ke dalamnya?
Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah telah menjelaskan batasan tindakan orang yang menghujat Nabi Muhammad saw. yaitu: kata-kata yang bertujuan meremehkan dan merendahkan martabat beliau, sebagaimana dipahami kebanyakan orang, terlepas perbedaan akidah mereka, termasuk melaknat dan menjelek-jelekkan (Lihat: Ibn Taimiyyah, Ash-Sharim al-Maslul ala Syatimi ar-Rasul, I/563).
Al-Qadhi Iyadh juga menjelaskan bentuk-bentuk hujatan kepada Nabi saw. Orang yang menghujat Rasululah saw. adalah orang yang mencela, mencari-cari kesalahan, menganggap pada diri Rasul saw. ada kekurangan; mencela nasab (keturunan) dan pelaksanaan agamanya; juga menjelek-jelekkan salah satu sifatnya yang mulia; menentang atau mensejajarkan Rasululah saw. dengan orang lain dengan niat untuk mencela, menghina, mengkerdilkan, menjelek-jelekkan dan mencari-cari kesalahannya. Orang seperti ini termasuk orang yang telah menghujat Rasul saw. (Lihat: Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifa bi Tarif Huquq al-Musthafa, hlm. 428).
Hal senada juga dinyatakan oleh Khalil Ibn Ishaq al-Jundiy, ulama besar mazhab Maliki, Siapa saja yang mencela Nabi saw., melaknat, mengejek, menuduh, merendahkan, melabeli dengan sifat yang bukan sifat beliau, menyebutkan kekurangan pada diri dan karakter beliau, merasa iri karena ketinggian martabat, ilmu dan kezuhudannya, menisbatkan hal-hal yang tidak pantas kepada beliau, mencela, dll maka hukumannya adalah dibunuh (Lihat: Khalil Ibn Ishaq al-Jundiy, Mukhtashar al-Khalil, I/251).
Masih menurut al-Qadhi Iyadh, ketika seseorang menyebut Nabi saw. dengan sifatnya, seperti anak yatim atau buta huruf, meski ini merupakan sifat beliau, tetapi jika labelisasi tersebut bertujuan untuk menghina beliau atau menunjukkan kekurangan beliau, maka orang tersebut sudah layak disebut menghina beliau. Inilah yang menyebabkan seorang ulama sekaliber Abu Hatim at-Thailathali difatwakan oleh fuqaha Andalusia untuk dihukum mati. Hal yang sama dialami oleh Ibrahim al-Fazari, yang difatwakan oleh fuqaha Qairuwan dan murid Sahnun untuk dihukum mati (Lihat: Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifa bi Tarif Huquq al-Musthafa, hlm. 430).
Bagi orang Islam, hukum menghina Rasul jelas haram. Pelakunya dinyatakan kafir. Hukumannya adalah hukuman mati. Al-Qadhi Iyadh menuturkan, ini telah menjadi kesepakatan di kalangan ulama dan para imam ahli fatwa, mulai dari generasi sahabat dan seterusnya. Ibn Mundzir menyatakan, mayoritas ahli ilmu sepakat tentang sanksi bagi orang yang menghina Nabi saw. adalah hukuman mati. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Imam al-Laits, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq bin Rahawih dan Imam as-Syafii (Lihat: Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifa bi Tarif Huquq al-Musthafa, hlm. 428).
Al-Qadhi Iyadh kembali menegaskan, tidak ada perbedaan di kalangan ulama kaum Muslim tentang halalnya darah orang yang menghina Nabi saw. Meski sebagian ada yang memvonis pelakunya sebagai orang murtad, kebanyakan ulama menyatakan pelakunya kafir. Bisa langsung dibunuh. Tidak perlu diminta bertobat. Juga tidak perlu diberi tenggat waktu tiga hari untuk kembali ke pangkuan Islam. Ini merupakan pendapat al-Qadhi Abu Fadhal, Abu Hanifah, as-Tsauri, al-Auzai, Malik bin Anas, Abu Musab dan Ibn Uwais, Ashba dan Abdullah bin al-Hakam. Bahkan al-Qadhi Iyadh menyatakan, ini merupakan kesepakatan para ulama (Lihat: Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifa bi Tarif Huquq al-Musthafa, hlm. 428-430).
Karena itu jika membandingkan Nabi saw. dengan orang lain—dengan maksud merendahkan beliau—sudah termasuk penistaan, apalagi mempertanyakan kontribusi beliau bagi negeri ini, jelas merupakan penistaan luar biasa.
Tak Boleh Diam!
Penistaan terhadap marwah Nabi saw. terus berulang karena banyak Muslim dan tokoh-tokohnya memilih diam. Mereka berpikir bahwa diam dan bersabar ketika Nabi saw. dinista adalah sebuah kebaikan. Padahal bungkamnya mereka membuat penistaan ini kian menjadi-jadi. Mereka pun sebenarnya telah berdosa karena mendiamkan kemungkaran. Mereka seperti lupa dengan sindiran Imam asy-Syafii kepada orang yang diam saat agamanya dihina:
مَنِ اسْتُغْضِبَ فَلَمْ يَغْضَبْ فَهُوَ حِمَارٌ
Siapa yang dibuat marah namun tidak marah maka ia adalah keledai (HR al-Baihaqi).
Ulama besar Buya Hamka rahimahulLah juga mempertanyakan orang yang tidak muncul ghirahnya ketika agamanya dihina. Beliau menyamakan orang-orang seperti itu seperti orang yang sudah mati. “Jika kamu diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan.”
Pada zaman Nabi saw. ada seorang pria yang amat marah kepada istrinya karena terus-menerus menghina Nabi saw.. Akhirnya, sang suami membunuh istrinya tersebut. Ketika kabar ini sampai kepada Baginda Nabi saw. dan pria ini mengakui perbuatannya, beliau bersabda:
أَلاَ اشْهَدُوا أَنَّ دَمَهَا هَدَرٌ
Saksikanlah bahwa darah perempuan yang tertumpah itu sia-sia (tidak ada tuntutan)! (HR Abu Dawud).
Karena itu, wahai kaum Muslim, marilah bela agama kita! Belalah Nabi kita yang mulia! Sungguh Nabi kita yang mulia telah berjuang membela nasib kita agar menjadi hamba-hamba Allah SWT yang layak mendapatkan Jannah-Nya kelak. Penistaan kepada beliau terus terjadi karena diamnya sebagian besar dari kita terhadap hal ini.
Penistaan terhadap Nabi saw. juga terjadi karena prinsip kebebasan berbicara yang diberikan sekularisme-liberalisme yang memberikan panggung kepada orang-orang yang mendengki dan terus menyerang Islam. Mereka dilindungi oleh berbagai peraturan dan orang-orang yang bersekongkol dengan mereka. Ketahuilah mereka tak akan pernah berhenti melakukan penyerangan terhadap agama ini. Kedengkian yang tersimpan dalam hati mereka jauh lebih besar lagi (QS Ali Imran [3]: 118).
Agama ini sungguh tak akan dapat terlindungi jika umat tak memiliki pelindung yang kuat. Dulu Khilafah Utsmaniyah sanggup menghentikan rencana pementasan drama karya Voltaire yang akan menista kemuliaan Nabi saw. Saat itu Sultan Abdul Hamid II langsung mengultimatum Kerajaan Inggris yang bersikukuh tetap akan mengizinkan pementasan drama murahan tersebut. Sultan berkata, “Kalau begitu, saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengatakan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasul kita! Saya akan mengobarkan jihad akbar!” Kerajaan Inggris pun ketakutan. Pementasan itu dibatalkan. Sungguh, saat ini umat membutuhkan pelindung yang agung itu. Itulah Khilafah!
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri. Berat terasa oleh dia penderitaan kalian. Dia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian. Dia amat belas kasihan lagi penyayang kepada kaum Mukmin. (TQS at-Taubah [9]: 128).