Sekularisme, yang dipraktikkan dan diterapkan oleh negara, sebagaimana di negeri Muslim ini, terbukti melahirkan banyak kaum fasik dan munafik. Mereka tak hanya menolak sebagian—bahkan sebagian besar—ajaran agamanya (Islam). Bahkan mereka tak segan-segan bekerjasama dengan kaum kafir untuk menghancurkan agamanya. Orang kafir melakukan konspirasi untuk merusak Islam dari luar. Orang munafik melakukan pendangkalan ideologi kaum Muslim dari dalam.
Salah satu upaya mereka menghancurkan Islam adalah dengan saling membisikkan kalimat indah untuk menipu kaum Mukmin. Di antaranya dengan pernyataan: “Allah tak perlu dibela”, atau “Islam tak perlu dibela, atau “Kemuliaan Allah, Rasul-Nya dan al-Quran tak akan berkurang meski dinista”, dsb. Kata-kata mereka ini persis sebagaimana yang Allah SWT isyaratkan dalam firman-Nya:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ اْلإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا
Demikianlah Kami telah menjadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia (TQS al-An’am [6]: 112).
Dengan dalih “Islam tak perlu dibela”, mereka memprovokasi kaum Mukmin untuk meninggalkan amar makruf nahi mungkar. Inilah juga yang Allah SWT isyaratkan dalam firman-Nya:
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ
Kaum munafik laki-laki maupun perempuan, satu sama lain saling memerintahkan yang mungkar dan melarang yang makruf (TQS at-Taubah [9]: 67).
Mereka bahkan melabeli “radikal” orang Muslim yang berusaha berpegang teguh pada agamanya, sekaligus berupaya membela agamanya saat dinista. Pada akhirnya, mereka ini sebenarnya berniat menghancurkan Islam. Allah SWT berfirman:
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya (TQS ash-Shaff [61]: 8).
Islam Wajib Dibela
Benarkah Allah SWT, al-Quran dan Rasul-Nya tak perlu dibela?
Pertama: Pandangan seperti ini bukanlah pemikiran. Siapapun yang mengatakan demikian. Apakah profesor, doktor, kiai, apalagi orang awam. Lebih tepat pandangan seperti ini disebut fantasi intelektual. Fantasi seperti ini tampak seperti logis dan masuk akal, padahal tidak. Mengapa? Pasalnya, mereka menggabungkan dua hal yang seharusnya dipisahkan karena memang berbeda konteksnya.
Allah SWT, Rasul-Nya dan al-Quran memang mulia. Tak akan berkurang kemuliaannya meski dinista atau direndahkan. Ini adalah ranah akidah. Ranah keyakinan dan keimanan. Sebaliknya, membela dan menjaga kesucian Allah SWT, Rasul-Nya dan al-Quran adalah ranah amal kita sebagai Muslim. Karena itu tentu keliru jika keyakinan akan kemuliaan Allah SWT, Rasul-Nya dan al-Quran malah menghalangi kita untuk menjaga kemuliaan ketiganya. Justru sebaliknya, keyakinan kita demikian sejatinya mengharuskan kita berusaha untuk menjaga kemuliaan Allah SWT, Rasul-Nya dan al-Quran.
Karena itu pandangan bahwa “Islam tak perlu dibela” hanyalah fantasi intelektual, bukan pemikiran karena bertentangan dengan fakta. Cara berpikir seperti ini juga merupakan cara berpikir kaum Fatalis (Jabariyah). Cara berpikir Fatalis ini dalam sejarah sering digunakan oleh rezim yang berkuasa untuk meninabobokkan rakyat agar mereka menerima saja penindasan yang dilakukan oleh rezim dengan alasan takdir.
Kedua: Andai saja Allah SWT, al-Quran dan Rasul-Nya tidak perlu dibela, Allah SWT tentu tidak memerintahkan kita menjadi pembela-Nya. Padahal Allah SWT tegas menyatakan:
ياَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُوْنُوْا أَنْصَارَ اللهِ
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian para penolong (agama) Allah (TQS as-Shaf [61]: 14).
Allah SWT pun memerintahkan kaum Mukmin untuk membela Rasulullah saw.:
إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا. لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ
Sungguh Kami telah mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan; supaya kalian mengimani Allah dan Rasul-Nya, sekaligus mendukung dan memuliakannya... (TQS al-Fath [48]: 8-9).
Ketiga: Membela dan menolong agama Allah adalah “wasilah” agar kita mendapatkan pertolongan-nya. Dengan kata lain, ketika kita membela agama-Nya, membela kalam-Nya, membela Rasul-Nya, memperjuangkan syariah-Nya serta membantu para pejuang yang memperjuangkan agama-Nya, maka Allah akan menolong kita. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan mengokohkan kedudukan kalian (TQS Muhammad [47]: 7).
Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan tentang ayat ini dengan ungkapan, “Al-Jaza’ jinsu al-‘amal (Balasan itu sesuai dengan jenis amal yang dilakukan).” Artinya, ketika kita menolong Allah, Dia pasti akan menolong kita.
Imam ar-Razi menjelaskan, frasa “In tanshurulLah (jika kalian menolong Allah)” dalam ayat di atas bermakna menolong agama-Nya, memperjuangkan tegaknya syariah-Nya dan membantu para pejuang yang memperjuangkan agama-Nya.
Lebih jauh Imam as-Sa’di menjelaskan makna ayat di atas: “Ini merupakan perintah dari Allah kepada kaum Mukmin agar membela Allah dengan menjalankan agamanya, mendakwahkannya dan berjihad melawan musuhnya. Semua itu bertujuan untuk mengharap ridha Allah. Jika mereka melakukan semua itu, Allah akan menolong mereka dan mengokohkan kedudukan mereka.” (Tafsir as-Sa’di, hlm. 785)
Keempat: Andai Allah tidak perlu dibela, tidak akan pernah ada “Awliya’ AlLah” (para wali/kekasih Allah). Adanya “Awliya’ AlLah” merupakan konsekuensi dari adanya para penolong agama Allah. Di dalam al-Quran mereka disebut “Awliya’ AlLah” (wali/kekasih Allah) karena mereka membela agama Allah. Ketika mereka menjadi “Awliya’ AlLah” maka Allah pun menjadi Wali (Penolong/Kekasih) mereka. Ketika Allah menjadi Wali mereka (QS al-Baqarah [2]: 257 dan QS an-Nisa’ [4]: 45], karena mereka telah menjadi “Awliya’ AlLah”, maka mereka pun tidak lagi mempunyai rasa takut dan sedih sedikitpun. Inilah yang Allah SWT tegaskan:
أَلآ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ
Ingatlah, sungguh para wali/kekasih Allah itu tidak ada rasa takut sedikit pun pada diri mereka dan mereka pun tidak bersedih hati (TQS Yunus [10]: 62).
Karena itu para ulama, sebut saja Imam Abu Nu’aim, dalam kitabnya, Hilyah al-Awliya’ dan al-Hafidz Ibn al-Jauzi, dalam kitabnya, Shifah as-Shafwah, memaparkan para penolong dan pembela Allah itu, mulai dari Nabi Muhammad saw., para sahabat, tabi’in, atba’ tabiin dan generasi setelah mereka yang berjuang membela agama-Nya. Mereka yang membela agama Allah itulah para “Awliya’ AlLah”.
Kelima: Andai saja Allah dan agama-Nya tidak perlu dibela, maka Nabi Muhammad saw. tidak perlu bersusah payah berdakwah di Makkah hingga berdarah-darah. Beliau pun tidak perlu berperang bersama para sahabatnya melawan kaum kafir lebih dari 79 kali, 27 kali di antaranya langsung dipimpin oleh beliau.
Begitu juga sejarah dakwah, perjuangan dan jihad yang dilakukan oleh generasi berikutnya, baik yang di bawah kepemimpinan Khalifah, maupun bukan. Semua itu adalah bukti bahwa para “Awliya’ AlLah” itu selalu ada. Mereka berjuang untuk membela Allah SWT, agama dan kehormatannya.
Karena itulah ketika seorang wanita Muslimah, kehormatannya dinista oleh Yahudi Bani Qainuqa’, Nabi saw. yang mulia mengumumkan perang kepada mereka. Ketika kehormatan seorang wanita Muslimah dinistakan oleh kaum Kristen Romawi, dia menjerit, “Wa Mu’tashimah (Wahai Mu’tashim, tolonglah!)”, pasukan Khalifah al-Mu’tashim pun segera meluluhlantakkan mereka, hingga Amuriah, kota mereka, berhasil ditaklukkan. Ketika kehormatan Nabi Muhammad saw. dinista, Sultan ‘Abdul Hamid II, segera memperingatkan Inggris untuk menghentikan pementasan drama yang menista kemuliaan beliau. Jika tidak, Khilafah ‘Ustmani akan melumat Inggris.
Semuanya itu bukti, bahwa “Awliya’ AlLah” selalu ada untuk membela, menjaga dan memperjuangkan kemuliaan agama-Nya.
Namun demikian, al-Quran juga mencatat bahwa selain “Awliya’ AlLah”, juga adalah “Awliya’ asy-Syaithan (wali/kekasih/pembela setan)”. Mereka inilah orang yang menghalangi, merusak dan menghancurkan agama-Nya. Mereka menghalangi dan memerangi orang yang berjuang menegakkan agama-Nya. Mereka inilah wali setan dan setan menjadi wali mereka. Mereka inilah yang bakal merugi. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
Siapa saja yang menjadikan setan sebagai wali (kekasih) selain Allah, dia benar-benar menderita kerugian yang nyata (TQS an-Nisa’ [4]: 119).
Jadi, jelas sudah. Allah SWT, kalam-Nya, agama dan kesuciannya harus dibela, dijaga dan dilindungi. Ini merupakan kewajiban kita. Karena itu ketika kita menunaikan kewajiban ini, kita pun layak mendapatkan gelar dari Allah sebagai “Awliya’ AlLah”. Sebaliknya, siapapun yang membiarkan agama ini dinista, bahkan membela penistanya, maka mau atau tidak, sesungguhnya dia telah menjadi “Awliya’ asy-Syaithan”.
Tinggal kita memilih yang mana, menjadi “Awliya’ AlLah” atau “Awliya’ as-Syaithan”?!
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
وَمَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِهِ وَنَحْشُرُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى وُجُوهِهِمْ عُمْيًا وَبُكْمًا وَصُمًّا مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ كُلَّمَا خَبَتْ زِدْنَاهُمْ سَعِيرًا
Siapa saja yang Allah beri hidayah, dia mendapatkan hidayah. Siapa saja yang Allah sesatkan, dia tidak akan pernah mendapatkan para penolong selain Allah. Kami akan membangkitkan mereka pada Hari Kiamat dengan wajah mereka tersungkur dalam keadaan buta, bisu dan tuli. Tempat tinggal mereka adalah neraka Jahanam. Setiap kali api neraka itu padam, Kami nyalakan lagi untuk mereka. (TQS al-Isra’ [17]: 97).
Kaffah - Edisi 117