Bencana kembali melanda. Musibah kembali menyapa. Kali ini dalam wujud banjir yang kembali hadir. Di Jakarta, Bekasi, Tangerang, Bogor dan beberapa daerah sekitar. Sebagian memicu tanah longsor. Seperti terjadi di beberapa titik di Kecamatan Sukajaya Bogor.
Bagian dari Ujian
Bencana di negeri ini, termasuk banjir dan longsor, tentu bukan sekali-dua kali terjadi. Bahkan sepanjang 2019 saja, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 3.768 kejadian bencana alam terjadi di Indonesia. Di antaranya berupa gempa bumi, gunung meletus, tsunami, banjir, longsor, kebakaran hutan, dll. Menurut BNPB, akibat bencana sepanjang 2019, sebanyak 478 orang meninggal dunia, 109 hilang, 6,1 juta jiwa mengungsi dan 3.419 luka-luka. Bencana juga mengakibatkan 73.427 rumah rusak. Termasuk merusak 2.017 fasilitas meliputi 1.121 sekolah, 684 rumah ibadah, 212 fasilitas kesehatan, 274 kantor dan 442 jembatan (Katadata.co.id, 31/12/2019).
Semua bencana ini tentu harus disikapi secara tepat oleh setiap Muslim. Dalam hal bencana karena faktor alam gempa bumi, gunung meletus dan tsunami, misalnya sikap kita jelas. Semua itu merupakan bagian dari sunatullah atau merupakan qadha’ (ketentuan) dari Allah SWT. Tak mungkin ditolak atau dicegah. Di antara adab dalam menyikapi qadha’ ini adalah sikap ridha. Juga sabar. Baik bagi korban ataupun keluarga korban. Bagi kaum Mukmin, qadha’ ini merupakan ujian dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut dan kelaparan. Juga dengan berkurangnya harta, jiwa dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (TQS al-Baqarah [2]: 155).
Orang berakal akan menjadikan sikap sabar sebagai pilihannya dalam menyikapi bencana/musibah. Ia meyakini bahwa sebagai manusia ia tak mampu menolak qadha’. Semua ini sudah merupakan ketentuan Allah SWT. Karena itu ia wajib menerima qadha’ dan takdir Allah SWT (Al-Jazairi, Mawsu’ah al-Akhlaq, 1/137).
Penghapus Dosa
Selain sebagai ujian, bencana apapun yang menimpa seorang Mukmin, besar atau kecil, sesungguhnya bisa menjadi wasilah bagi penghapusan sebagian dosa-dosanya. Rasulullah saw. bersabda:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
Tidaklah seorang Muslim tertimpa musibah (bencana) berupa kesulitan, rasa sakit, kesedihan, kegalauan, kesusahan hingga tertusuk duri kecuali Allah pasti menghapus sebagian dosa-dosanya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Tentu, dosa-dosa terhapus dari orang yang tertimpa musibah jika ia menyikapi musibah itu dengan keridhaan dan kesabaran (Lihat: Ibn Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, 1/272; As-Samarqandi, Tanbih al-Ghafilin, 1/255).
Akibat Dosa dan Kemaksiatan
Selain karena faktor alam, banyak kejadian bencana justru sebagai akibat dari ulah manusia sendiri. Contohnya kasus bencana asap beberapa waktu lalu. Selain karena adanya kebakaran hutan (yang tidak disengaja), juga karena adanya upaya pembakaran hutan (secara sengaja) oleh beberapa korporasi/perusahaan. Sepanjang tahun 2019 saja BNPB mencatat setidaknya 747 kasus kebakaran/pembakaran hutan. Pemerintah, melalui, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun telah memenangkan gugatan perdata atas kasus kejahatan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) dengan total ganti rugi senilai Rp 315 triliun. Menurut Direktur Jenderal (Dirjen) Penegakan Hukum (Gakkum), selain memenangkan gugatan atas sejumlah korporasi, Ditjen Gakkum juga sudah menyegel 84 korporasi yang terlibat dalam kasus kejahatan Karhutla (kebakaran hutan dan lahan) (Katadata.co.id, 18/11/2019).
Lalu dalam hal bencana berupa banjir dan longsor, misalnya, selain curah hujan yang tinggi, juga ada faktor penyebab lain. Dalam kasus banjir bandang dan tanah longsor di Lebak, Banten, misalnya, penyebabnya antara lain perambahan hutan dan penambangan liar (Kompas.tv, 7/1/2020).
Adapun banjir dan longsor di Bogor, antara lain di Kecamatan Sukajaya, menurut Menteri Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), selain akibat curah hujan dalam kurun cukup lama, di atas perbukitan di sepanjang jalan maupun aliran sungai di daerah tersebut yang berupa batuan lempung dengan kemiringan 90 derajat sudah banyak dijadikan pemukiman (Liputan6.com, 5/1/2020).
Sementara itu banjir yang melanda Kawasan Jakarta, khususnya di sebagian area Tol Jakarta-Cikampek, menurut Kemenhub, adalah akibat Proyek Kereta Cepat. Proyek tersebut telah menutupi sejumlah saluran air. Akibatnya, air meluap dan menimbulkan banjir (Detik.com, 6/1/2020).
Semua bencana yang terakhir ini jelas akibat dari sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh manusia. Di antaranya dalam wujud tindakan merusak hutan, melakukan penambangan liar, mengabaikan Amdal, dll. Sudah begitu, Pemerintah cenderung lalai bahkan abai terhadap pelaku pelanggaran tersebut. Bahkan yang ironis, Pemerintah sendiri malah seolah “memfasilitasi” para pelaku pelanggaran tersebut. Misal, hanya demi menggenjot investasi, Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) atau Badan Pertanahan Nasional (BPN) berencana menghapuskan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan juga Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) (Okezone.com, 8/11/2019).
Semua bencana ini, dalam bahasa al-Quran, merupakan akibat dari dosa dan kemaksiatan manusia. Allah SWT berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan tangan (kemaksiatan) manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan (kemaksiatan) mereka itu agar mereka kembali (ke jalan-Nya) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Teladan Khalifah Umar ra. dalam Mengatasi Bencana
Imam al-Haramain (w. 478 H) menceritakan bahwa pada masa Umar ra. pernah terjadi gempa bumi. Khalifah Umar ra. segera mengucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Saat itu bumi sedang berguncang keras. Khalifah Umar ra. lalu memukul bumi dengan cambuk sambil berkata, “Tenanglah engkau, bumi. Bukankah aku telah berlaku adil kepadamu.” Seketika bumi pun behenti berguncang.
Imam al-Haramain menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi. Sebabnya, Khalifah Umar ra. adalah Amirul Mukminin secara lahir dan batin. Beliau adalah khalifah Allah bagi bumi dan penduduknya (Yusuf al-Nabhani, Jami’ Karamat al-Awliya’, 1/157—158).
Demikianlah, ketakwaan Khalifah Umar ra. sebagai pemimpin sanggup menjadikan bumi “bersahabat” dengan manusia.
Sebaliknya, dosa dan kemaksiatan yang terjadi hari ini, khususnya yang dilakukan oleh penguasa, bisa menyebabkan bumi terus berguncang. Saat menafsirkan QS ar-Rum ayat 41 di atas, Imam Ibnu katsir mengutip pernyataan Abu al-Aliyah terkait perusakan bumi. Kata Abu al-Aliyah:
مَنْ عَصَى اللَّهَ فِي الْأَرْضِ فَقَدْ أَفْسَدَ فِي الْأَرْضِ لِأَنَّ صَلَاحَ الْأَرْضِ وَالسَّمَاءِ بِالطَّاعَةِ
Siapa saja yang bermaksiat kepada Allah di bumi maka sungguh ia telah merusak bumi. Sungguh kebaikan bumi dan langit adalah dengan ketaatan (kepada Allah SWT) (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 6/320).
Segera Bertobat!
Karena itu satu-satunya cara untuk mengakhiri ragam bencana ini tidak lain dengan bersegera bertobat kepada Allah SWT. Tobat harus dilakukan oleh segenap komponen bangsa. Khususnya para penguasa dan pejabat negara. Mereka harus segera bertobat dari dosa dan maksiat. Juga ragam kezaliman. Kezaliman terbesar adalah saat manusia, terutama penguasa, tidak berhukum dengan hukum Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak memerintah/berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan, mereka adalah para pelaku kezaliman (TQS al-Maidah [5]: 5).
Karena itu pula tobat terutama harus dibuktikan dengan kesediaan mereka untuk mengamalkan dan memberlakukan syariah-Nya secara kâffah dalam semua aspek kehidupan (pemerintahan, politik, hukum, ekonomi, pendidikan, sosial, dsb). Jika syariah Islam diterapkan secara kâffah, tentu keberkahan akan berlimpah-ruah memenuhi bumi. Mengapa? Karena penerapan hukum Islam atau syariah Islam secara kâffah adalah wujud hakiki dari ketakwaan. Ketakwaan pasti akan mendatangkan keberkahan dari langit dan bumi, sebagaimana firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Andai penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan membukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) sehingga Kami menyiksa mereka sebagai akibat dari apa yang mereka perbuat (TQS al-Araf [7]: 96).
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
ءَأَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَآءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِىَ تَمُورُ - أَمْ أَمِنْتُمْ مَّنْ فِى السَّمَآءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا ۖ فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ - وَلَقَدْ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَكَيْفَ كَانَ نَكِيرِ
Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang? Ataukah kalian merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu? Kelak kalian akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? Sungguh orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Alangkah hebatnya kemurkaan-Ku. (TQS al-Mulk [67]: 16-18).
Kaffah - Edisi 123