Peristiwa Isra’ Mi’raj menjadi salah satu peristiwa penting dalam perjalanan hidup Nabi Muhammad saw. Sebagian besar orang berpendapat bahwa kisah yang menakjubkan ini terjadi pada Bulan Rajab. Ini sekaligus merupakan pendapat Imam ath-Thabari rahimahulLah. Karena itu banyak kaum Muslim yang memperingati Isra’ Mi’raj pada bulan tersebut.
Pengertian Isra’ dan Mi’raj
Isra` secara bahasa berasal dari kata ‘sara’. Maknanya, perjalanan pada malam hari. Adapun secara istilah, Isra` adalah perjalanan Rasulullah saw. bersama Malaikat Jibril dari Makkah ke Baitul Maqdis (Palestina). Ini berdasarkan firman Allah SWT:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى
Mahasuci Allah Yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid al-Haram ke Masjid al-Aqsha (QS al Isra’ [17]: 1).
Mi’raj secara bahasa berarti suatu alat yang digunakan untuk naik. Adapun secara istilah, Mi’raj bermakna tangga khusus yang digunakan oleh Nabi saw. untuk naik dari bumi menuju tujuh lapis langit hingga ke Sidratul Muntaha. Ini berdasarkan firman Allah SWT:
وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى. عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى. عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى. إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى. مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى. لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
Sungguh Muhammad telah melihat Jibril (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatan dia (Muhammad) tidak berpaling dari yang dia lihat itu dan tidak (pula) melampauinya. Sungguh dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar (QS an-Najm [53]: 13-18).
Adapun rincian dan urutan kejadian Isra’ Mi’raj banyak terdapat dalam hadis sahih dengan berbagai riwayat.
Menyikapi Kisah Isra’ Mi’raj
Banyak berita terkait kisah Isra’ Miraj. Di antaranya bahwa Rasulullah saw. sampai ke Baitul Maqdis, kemudian beliau berjumpa dengan para nabi dan shalat mengimami mereka, serta berita-berita lain yang merupakan perkara gaib yang terdapat dalam hadis-hadis sahih. Sikap Ahlussunnah wal Jama’ah terhadap kisah-kisah seperti ini harus mencakup kaidah berikut: menerima berita tersebut, mengimani kebenarannya dan tidak mengubah berita tersebut sesuai dengan kenyataannya.
Hendaknya kita meneladani sifat para Sahabat ra. terhadap berita dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, kaum musyrik datang menemui Abu Bakar ash-Shiddiq ra. Mereka mengatakan, “Lihatlah apa yang telah diucapkan temanmu (Muhammad saw.)!” Abu Bakar berkata, “Apa yang beliau ucapkan?” Kaum musyrik berkata, “Dia mengklaim telah pergi ke Baitul Maqdis, kemudian dinaikkan ke langit, dan peristiwa tersebut hanya berlangsung satu malam.” Abu Bakar berkata, “Jika memang demikian yang beliau ucapkan, maka sungguh berita tersebut benar sesuai yang beliau ucapkan karena beliau adalah orang yang jujur.” Kaum musyrik kembali bertanya, “Mengapa demikian?” Abu Bakar menjawab, “Aku membenarkan beliau seandainya berita tersebut lebih dari yang kalian kabarkan. Aku membenarkan berita langit yang turun kepada beliau, bagaimana mungkin aku tidak membenarkan beliau tentang perjalanan ke Baitul Maqdis ini?” (Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, hadis nomor 4407, dari ‘Aisyah ra).
Perhatikan bagaimana sikap Abu Bakar ra. terhadap berita yang datang dari Nabi Muhammad saw. Beliau langsung membenarkan dan mempercayai berita tersebut. Beliau tidak banyak bertanya meskipun peristiwa tersebut mustahil dilakukan dengan teknologi pada saat itu. Demikianlah seharusnya sikap seorang Muslim terhadap setiap berita yang shahih dari Allah SWT dan Rasul-Nya.
Mengimani Semua yang Disampaikan oleh Allah dan Rasul-Nya
Seorang Muslim sudah sepatutnya mengimani semua yang disampaikan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, seperti peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. Selain Isra’ Mi’raj, tentu masih banyak khabar yang disampaikan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya yang wajib kita imani. Di antaranya kabar tentang akan tegaknya kembali Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah di muka bumi, pasca keruntuhannya, 3 Maret 1924 M/27 Rajab, 99 tahun yang lalu. Allah SWT berfirman:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الأرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal shalih di antara kalian, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai (Islam); dan akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Siapa saja yang (tetap) kafir setelah (janji) itu, mereka itulah kaum yang fasik (QS an-Nur [24]: 55).
Imam As-Sam’ani asy-Syafi’i rahimahulLâh mengatakan, “Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa para Sahabat Rasulullah saw. berangan-angan untuk menguasai Makkah (yang saat itu tengah dikuasai oleh kaum musyrik). Lalu Allah menurunkan ayat ini.” (Tafsir as-Sam’ani, 3/544).
Melalui ayat ini Allah memberikan kabar gembira kepada orang-orang menaati syariah-Nya, bahwa Dia berjanji akan menjadikan mereka berkuasa di atas dunia. Para ulama ahli tafsir seperti al-Qurthubi rahimahulLâh berpendapat bahwa janji Allah SWT dalam ayat tersebut berlaku umum untuk seluruh umat Nabi Muhammad saw. Tak hanya generasi para Sahabat. Dalam tafsirnya, ketika menjelaskan ayat tersebut, beliau mengatakan:
هَذِهِ الْحَالُ لَمْ تَخْتَصَّ بِالْخُلَفَاءِ الْأَرْبَعَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ حَتَّى يُخَصُّوا بِهَا مِنْ عُمُومِ الْآيَةِ، بَلْ شَارَكَهُمْ فِي ذَلِكَ جَمِيعُ الْمُهَاجِرِينَ بَلْ وَغَيْرُهُم… فَصَحَّ أَنَّ الْآيَةَ عَامَّةٌ لِأُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرُ مَخْصُوصَةٍ
Janji Allah ini tidak terbatas hanya untuk Khulafaur Rasyidin ra. saja sehingga harus dikhususkan dari keumuman ayat. Bahkan segenap Muhajirin dan kaum Muslim yang lain juga masuk dalam janji-janji ayat ini (tentu jika mereka memenuhi syarat-syaratnya, Karena itu pendapat yang shahih adalah bahwa ayat ini berlaku umum untuk umat Muhammad saw. , tidak bersifat khusus (Tafsir al-Qurthubi, 12/299).
Sebagaimana janji Allah SWT tersebut diberikan kepada Rasulullah saw. dan para sahabat serta generasi setelah mereka ketika sistem Kekhilafahan masih ada di tengah-tengah mereka, maka demikian pula janji itu berlaku bagi umat Muhammad saat ini, yakni dengan tegaknya kembali Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Tentu saat mereka menunjukan kualitas ketaatan mereka kepada Allah SWT dan Rasul-Nya sebagaimana generasi sebelumnya.
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “wa’amilu ash-shâlihât” dalam ayat ini adalah:
وَأَطَاعُوْا اللهَ وَرَسُوْلًهُ فِيْمَا أَمْرَاهُ وَنًهْيَاهُ
Mereka menaati Allah dan Rasul-Nya pada perkara yang diperintahkan dan perkara yang dilarang oleh keduanya (Tafsîr ath-Thabari, 19/209).
Janji Allah SWT melalui ayat tersebut tentu wajib kita imani sebagaimana kita mengimani peristiwa Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. Karena itu menentang kewajiban penerapan syariah Islam secara kaffah, serta menghalang-halangi tegaknya kembali Kekhilafahan Islam di dunia, berarti sama saja dengan mengingkari janji Allah SWT dan Rasul-Nya.
Bagi kebanyakan orang, akan tegaknya kembali sistem Kekhilafahan Islam memang merupakan sesuatu yang tidak masuk akal. Namun, karena itu merupakan sesuatu yang sudah dikabarkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka kita wajib untuk meyakininya. Ini sebagaimana tidak masuk akalnya peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. Namun, semua itu wajib diimani. Siapa saja yang mengingkarinya, sama saja ia telah terjerumus dalam kubangan dosa. Na’udzubilLah.
Karena itu jadilah seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, yang tidak berpikir panjang untuk mengimani semua yang disampaikan oleh Nabi saw. Termasuk tentang akan kembalinya Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Beliau bersabda:
ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
Kemudian akan tegak kembali Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian (HR Ahmad).
Tentu kabar yang disampaikan oleh Rasulullah saw. harus diwujudkan oleh seluruh kaum Muslim dengan penuh perjuangan dan kesungguhan. Dalam hal ini kita harus meneladani Muhammad al-Fatih yang berjuang dan bersungguh-sungguh menaklukkan Konstantinopel yang sebelumnya telah dikabarkan oleh Rasulullah saw. bakal ditaklukkan oleh kaum Muslim.
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
قُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا
Katakanlah (Muhammad), “Tuhanku, masukkanlah aku dengan cara masuk yang benar dan keluarkanlah aku dengan cara keluar yang benar serta berikanlah kepada diriku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong (agama ini).” (QS al-Isra’ [17]: 80).
Kaffah - Edisi 132