Hari Raya Idul Fitri merupakan salah satu syiar dalam Islam, dan simbol persatuan umat Islam. Oleh karenanya, memulai awal dan akhir Ramadhan bukan hanya masalah ibadah, tetapi ia adalah syiar Islam. Di satu sisi, penetapan jatuhnya Hari Raya Idul Fitri merupakan masalah cabang dalam masalah fikih, namun di sisi lain karena ia adalah syiar, maka kesatuan umat Islam di seluruh penjuru dunia menjadi sangat penting. Dalam konteks inilah, seluruh umat Islam hendaknya serentak dalam ber-hari raya. Dalam sistem khilafah, semua harus tunduk pada putusan khalifah. “Putusan Imam akan menghapuskan segala bentuk perbedaan pendapat.”, begitulah kaidah fiqihnya. Adapun dalil terkuat dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan adalah dengan rukyatul hilal (pemantauan hilal) secara global (‘alamiyyah)
Penentuan Awal dan Akhir Ramadhan Berdasarkan Rukyatul Hilal
Kami memandang bahwa penentuan awal bulan Qamariyyah (kalender Hijriyah) hanya dilakukan dengan rukyatul hilal (melihat bulan baru) dari suatu tempat di muka bumi secara langsung. Dengan perkataan lain, penentuan awal bulan Qamariyyah tidak dapat didasarkan pada hisab (al-hisab al-falaki). Dalam hal ini memang ada ikhtilaf di kalangan ulama, antara metode rukyatul hilal dengan metode hisab. Di kalangan yang mengadopsi rukyatul hilal sendiri ada perbedaan apakah memperhatikan perbedaan mathla’ (rukyat lokal) atau tidak memperhatikan perbedaan mathla’ (rukyat global). Ikhtilaf dalam perkara ini merupakan ikhtilaf yang muktabar (diakui/otoritatif).
Mengapa kami berpegang pada rukyatul hilal, dan bukan hisab? Karena, sebab syar’i (al-sabab al-syar’i) untuk berpuasa dan berhari raya tiada lain adalah rukyatul hilal bil ‘ain (melihat bulan sabit dengan mata), sesuai hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah kamu karena melihat dia (hilal) dan berbukalah kamu karena melihat dia (hilal).” (HR. al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i).
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إذا رأيتموه فصوموا، وإذا رأيتموه فأفطروا، فإن غُمَّ عليكم فاقدروا له
“Jika kamu melihat dia (hilal) maka berpuasalah kamu, dan jika kamu melihat dia (hilal) maka berbukalah, jika pandangan kamu terhalang mendung maka perkirakanlah (genapkanlah).” (HR al-Bukhari, Muslim, al-Nasa`i, dan Ahmad).
Hadits-hadits di atas mempunyai pengertian yang jelas, bahwa sebab syar’i untuk puasa Ramadhan dan Idul Fitri tiada lain adalah rukyatul hilal. (Muhammad Husain Abdullah, Mafahim al-Islamiyyah, Juz II, hlm. 157).
Dan rukyatul hilal yang dimaksud, dalam pandangan kami, bukanlah rukyat lokal yang berlaku untuk satu mathla’ (seperti dalam madzhab Syafi’i), melainkan rukyat yang berlaku secara global, dalam arti rukyatul hilal di salah satu negeri muslim berlaku untuk kaum muslim di negeri-negeri lain di seluruh penjuru dunia (seperti dalam madzhab jumhur, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, dan Hambali). (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz II, hlm. 605).
Pandangan ini sejalan dengan Imam al-Syaukani dalam persoalan ikhtilaful mathali’ (perbedaan mathla’), di mana Imam Syaukani menguatkan pendapat jumhur dengan berkata:
والأمر الوارد في حديث ابن عمر، لا يختص بأهل ناحية على جهة الانفراد، بل هو خطاب لكل من يصلح له من المسلمين، فالاستدلال به على لزوم رؤية أهل بلد لغيرهم من أهل البلاد، أظهر من الاستدلال به على عدم اللزوم؛ لأنه إذا رآه أهل بلد، فقد رآه المسلمون، فيلزم غيرهم ما لزمهم.
“Perintah yang terdapat dalam hadits Ibnu Umar [idza ra`iytumuuhu…] tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah secara terpisah, melainkan merupakan khithab (perintah/seruan) bagi siapa saja yang layak menerima khithab itu dari kaum muslim. Maka beristidlal dengan hadits ini untuk mengharuskan pemberlakuan rukyat kepada penduduk negeri yang lain, adalah lebih kuat daripada beristidlal dengan hadits ini untuk tidak mengharuskannya. Sebabnya adalah jika penduduk suatu negeri telah melihat hilal, berarti kaum muslim telah melihatnya, maka berlakulah rukyat bagi kaum muslim apa yang berlaku bagi penduduk suatu negeri itu.” (Imam al-Syaukani, Nail al-Authar, 4/195, dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz II hlm. 609).
Setelah mengutip tarjih Imam al-Syaukani di atas, Wahbah Al-Zuhaili pun menguatkan pemberlakuan rukyat global (pendapat jumhur) sebagai berikut:
وهذا الرأي (رأي الجمهور) هو الراجح لدي توحيداً للعبادة بين المسلمين، ومنعاً من الاختلاف غير المقبول في عصرنا، ولأن إيجاب الصوم معلق بالرؤية، دون تفرقة بين الأقطار.
“Pendapat ini (yaitu pendapat jumhur) adalah lebih kuat (rajih) menurut saya, karena akan dapat menyatukan ibadah di antara kaum muslim, dan akan dapat mencegah adanya perbedaan yang tidak dapat diterima lagi pada zaman kita sekarang. Dan juga dikarenakan kewajiban shaum terkait dengan rukyat, tanpa membeda-bedakan lagi negeri-negeri yang ada.” (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, juz II hlm. 609)
Inilah pendapat yang dipegang dari kalangan Hanafiyyah, Imam Malik, al-Laits bin Sa’ad, Imam al-Syafi’i, sebagian kecil kalangan Syafi’yyah seperti Abu Thayyib, Imam Ahmad, juga pendapat Ibnu Taymiyah dan Imam al-Syaukany dari kalangan ahli tahqiq.
Selain Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah, di Mesir tahun 1966 M, Majelis Fatwa al-A’la di Palestina juga mengeluarkan keputusan yang menguatkan diadopsinya pandangan tentang kesatuan mathla’ tersebut. (Mahmud ‘Abd al-Lathif ‘Uwaidhah, al-Jami’ li Ahkam al-Shiyam, hlm. 40).
Adapun pendapat muktamad dalam madzhab Syafi’i, jika terbukti ada rukyat di suatu negeri, rukyat ini hanya berlaku untuk daerah-daerah yang dekat, yaitu yang masih satu mathla`, dengan kriteria satu mathla` adalah jarak 24 farsakh atau daerah sejauh 133 km. Sedangkan negeri-negeri yang jauh (di atas 133 km), tidak terikat dengan rukyat yang terbukti di negeri tersebut. (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz II hlm. 605).
Pendapat madzhab Syafi’i tersebut didasarkan pada hadits Kuraib, yang menjelaskan bahwa Ibnu Abbas di Madinah tidak berpegang dengan rukyat Muawiyah di Syam. Haditsnya sebagai berikut:
أن أم الفضل بعثته إلى معاوية بالشام، فقال: فقدمتُ الشام، فقضيت حاجتها، واستُهلَّ علي رمضان ُ وأنا بالشام، فرأيت الهلال ليلة الجمعة، ثم قدمتُ المدينة في آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس، ثم ذكر الهلال، فقال: متى رأيتم الهلال؟ فقلت: رأيناه ليلة الجمعة، فقال: أنت رأيتَه؟ فقلت: نعم، ورآه الناس وصاموا، وصام معاوية، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نُكْمِل ثلاثين أو نراه، فقلت: ألا نكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا، هكذا أمَرَنا رسول الله صلّى الله عليه وسلم
“Bahwa Ummu Fadhl telah mengutus dia (Kuraib) kepada Muawiyah di Syam. Dia berkata,’Maka aku tiba di Syam dan menyesaikan kebutuhan Ummu Fadhl. Ramadhan tiba dan saya ada di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat. Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan Ramadhan, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadaku, lalu dia menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, ‘Kapan kamu melihat hilal?’ Saya jawab, ‘Kami melihatnya malam Jumat.’ Dia bertanya,’Kamu melihatnya sendiri?’. Saya jawab,’Ya. Orang-orang juga melihatnya lalu mereka berpuasa dan berpuasa juga Muawiyah.’ Ibnu Abbas berkata,’Tapi kami melihatnya malam Sabtu. Maka kami tetap berpuasa hingga kami sempurnakan 30 hari atau hingga kami melihat hilal.’ Saya berkata,’Tidakkah kita mencukupkan diri dengan rukyat dan puasanya Muawiyah?’ Ibnu Abbas menjawab,’Tidak, demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita.” (HR. Muslim).
Menurut madzhab Syafi’i, Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang mengikuti rukyat Madinah dan tidak mengikuti rukyat Syam, yaitu dengan perkataannya “‘Tidak, demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita” menjadi dalil bahwa setiap negeri mempunyai rukyat sendiri-sendiri, dan rukyat suatu negeri tidak berlaku untuk negeri yang lain, li ikhtilaf mathali (karena ada perbedaan mathla’).
Jika ditelaah, perkataan Ibnu Abbas tersebut (“Tidak, demikianlah Rasulullah memerintahkan kita”), bukanlah hadits marfu’ (dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), melainkan ijtihad pribadi dari Ibnu Abbas, radhiyallahu ‘anhu. (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz II hlm. 608-609, ketika mengutip pendapat imam al-Syaukani). Itulah yang bisa kita pahami dari penjelasan kitab Nail al-Authar, ‘Aun al-Ma’bud dan al-Minhaj Syarah Shahih Muslim. Sedangkan ijtihad shahabat Nabi dalam bukanlah dalil syar’i yang mu’tabar (sumber hukum yang bisa diterima), karena dalil syar’i yang mu’tabar hanyalah al-Qur`an, al-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas. Jadi, kesimpulannya, pendapat terpilih dalam penentuan awal bulan qamariah adalah berpegang dengan rukyatul hilal global, bukan hisab, dan bukan rukyatul hilal lokal.
Kedudukan Hadits Kuraib dan Uji Konsistensi Ukuran Mathla’
Sebenarnya bagaimana kedudukan Hadits Kuraib, dan apakah hadits Kuraib bisa dihukumi marfu’ hukman, karena mengandung shigat marfu’?
Hadits yang dimaksud adalah sebagai berikut:
أن أم الفضل بعثته إلى معاوية بالشام، فقال: فقدمتُ الشام، فقضيت حاجتها، واستُهلَّ علي رمضان ُ وأنا بالشام، فرأيت الهلال ليلة الجمعة، ثم قدمتُ المدينة في آخر الشهر، فسألني عبد الله بن عباس، ثم ذكر الهلال، فقال: متى رأيتم الهلال؟ فقلت: رأيناه ليلة الجمعة، فقال: أنت رأيتَه؟ فقلت: نعم، ورآه الناس وصاموا، وصام معاوية، فقال: لكنا رأيناه ليلة السبت، فلا نزال نصوم حتى نُكْمِل ثلاثين أو نراه، فقلت: ألا نكتفي برؤية معاوية وصيامه؟ فقال: لا، هكذا أمَرَنا رسول الله صلّى الله عليه وسلم
Para ulama berbeda pendapat apakah mauquf atau marfu’ hukman. Benar sighat:
هكذا أمَرَنا رسول الله صلّى الله عليه وسلم
adalah indikasi itu marfu’ hukman. Tapi itu bukan satu-satunya indikasi. Perbedaannya dengan dalil-dalil umum terkait perintah rukyat mengantarkan pada kesimpulan dari sebagian ulama bahwa itu adalah ijtihad Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu.
Lantas bagaimana jika ada keraguan antara mauquf dan marfu’ hukman? Maka menurut pendapat yang lebih kuat, yang dimenangkan adalah mauquf. Itulah manhaj Imam Malik yang diikuti Imam Syafi’i. Berikut penjelasan dalam kitab Ma’rifatus Sunan wal Atsar, Jilid 1, hlm. 287:
قال محمد بن إسحاق في غير هذه الرواية : ويشبه أن يكون مالك قد كان يحدث به مرفوعا ثم شك في رفعه ، يعني فيقفه ، كما قال الشافعي : كان مالك إذا شك في الشيئ انخفض ، والناس إذا شكوا في الشيئ ارتفعوا
Itu jika marfu’ kemudian ragu akan kemarfua’annya, apalagi yang secara zhahir mauquf yang kemudian ragu apakah marfu’ hukman atau tidak. Itulah diantara alasan mengapa kami menguatkan pendapat bahwa hadits Kuraib adalah mauquf dan tidak bisa dihukumi marfu’.
Menurut Imam al-Baihaqi dalam Ma’rifah aa-Sunan wa al-Atsar (juz 6, hlm. 303-304), hadits Kuraib dapat di-jama’ dengan Hadits Amir Mekkah bahwa penolakan Ibn Abbas radhiyallahu anhuma terjadi karena bersifat tafarrud (menyendiri), sedangkan hilal al-fithr disyaratkan 2 (dua) orang saksi yang adil, bersandar pada Hadits Amir Mekkah. Jadi yang dimaksud Imam al-Baihaqi (وقد روينا عن النبي صلى الله عليه وسلم: أنه عهد إليهم إذا لم يروا الهلال وشهد شاهدا عدل أن ينسكوا) ialah hadits Amir Mekkah yang disebutkan sebelum pembahasan Hadits Kuraib.
Demikian juga imam al-Khaththabi, seperti dikutip dalam Ma’alim as-Sunan (juz II, hlm.101), beliau menjelaskan hadits Kuraib dengan mengutip penukilan Imam Ibn Mundzir, rujukan mengenai Ijma’ dan Ikhtilaf, kemudian melanjutkannya dengan pembahasan hadits yaum al-syakk dan hadits Amir Mekkah yang fokus pada mekanisme penerimaan hilal al-fithr. Pada intinya Imam al-Khaththabi setuju dengan disyaratkannya 2 (dua) orang saksi untuk diterimanya hilal al-fithr, yang berarti berdasarkan alur berpikir tersebut, Imam al-Khaththabi sependapat dengan pemahaman Imam Abu al-Thayyib terhadap Hadits Kuraib. Dengan menukil pendapat Imam Ibn Mundzir, seakan mengisyaratkan bahwa beliau “setuju” bahwa Imam al-Syafi’i sepakat dengan pendapat sebagian besar ulama, yakni (إذا ثبت بخبر الناس أن أهل بلد من البلدان قد رأوه قبلهم فعليهم قضاء ما أفطروه).
Ukuran jarak mathla’ adalah 24 farsakh atau sekitar 133 KM. Ukuran yang ditetapkan oleh ulama fiqih ini tidak konsisten dijalankan pada masa sekarang ini. Perbedaan mathla’ di hadits Kuraib itu konteksnya adalah dalam satu negara (internal negara khilafah antara Madinah dan Syam kala itu). Tapi kenapa sekarang diterapkan dalam bentuk bahwa satu negara adalah satu mathla’? Misalnya Aceh dan Papua dianggap satu mathla’, padahal jaraknya lebih jauh dari jarak antara Madinah dan Syam. Kala itu, status sahabat Muawiyah adalah sebagai pemerintah. Hari ini, pasca konsep nation-state yang “diresmikan” di dunia Islam dengan Syikes-Picot Agreement, ukuran jarak mathla’ sudah jauh melenceng dari ukuran yang dibahas oleh ulama-ulama fiqih dalam madzhab Syafi’i.
Sebenarnya para fuqaha al-Syafi’iyyah sendiri berbeda pendapat dalam penentuan awal penanggalan bulan Qamariyyah, terutama Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, sebagai berikut:
- Ditentukan berdasarkan hisab al-manazil (hitungan astronomis) bagi yang memiliki keahlian mengenainya, dinukil dari Imam al-Qadhi Abu al-‘Abbas Ahmad ibn Umar ibn Suraij al-Baghdadi murid Imam Abu al-Qasim al-Anmathi (murid dari Imam al-Muzanni dan Imam al-Rabi’), sebagaiman disebutkan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu dan Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Barî;
- Ditentukan berdasarkan ru’yatul hilal al-mahaliyyah (pengamatan hilal secara lokal), dinukil dari jumhur al-Syafi’iyyah dan merupakan pilihan Imam al-Rafi’i dan Imam an-Nawawi sehingga menjadi qaul mu’tamad, namun terdapat perbedaan pendapat mengenai ukuran jauh-dekat yang berkaitan dengan terikat atau tidaknya sebuah negeri dengan negeri lainnya, sebagai berikut:
- Menurut fuqaha ‘Iraqiyyun (diantaranya Imam Abu Ishaq al-Syairazi), Imam ash-Shaidalani, dan yang lainnya, disesuaikan dengan mathla’, yakni tempat munculnya hilal, sehingga Hijaz dan Irak dianggap berbeda sedangkan Kufah dan Baghdad dianggap sama; pendapat ini dipilih oleh Imam Yahya ibn Syaraf an-Nawawi;
- Menurut fuqaha Khurasaniyyun, diantaranya Imam al-Faurani, Imam al-Haramain, Imam al-Ghazzali, dan Imam al-Baghawi, disesuaikan dengan ukuran jarak dibolehkannya qashar. Pendapat ini dipilih oleh Imam Abdul Karim ibn Muhammad al-Rafi’i;
- Menurut Imam ash-Shaimari, disesuaikan dengan ukuran kesatuan iqlim (pulau),
- Ditentukan berdasarkan ru’yatul hilal al-‘alamiyyah (pengamatan hilal secara global), dinukil dari Imam al-Qadhi Abu al-Thayyib Thahir ibn Abdullah al-Thabari (guru dari Imam Abu Ishaq al-Syairazi), Imam Abu ‘Ali al-Sinji, dan yang lainnya,
- Perbedaan pendapat mengenai hasil pengamatan hilal apakah berlaku secara lokal ataukah global, merupakan ikhtilaf yang mu’tabar di kalangan ulama al-Syafi’iyyah sebagaimana disebutkan Imam al-Haramain dalam Nihayah al-Mathlab, Imam al-Mawardi dalam al-Hawi al-Kabir, Imam al-Rafi’i dalam Fath al-‘Aziz syarh al-Wajiz, Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab, dan Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari syarh Shahih al-Bukhari.
- Saya katakan: bahwa perbedaan pendapat dalam masalah ini di internal madzhab Syafi’i adalah perkara yang faktual terjadi. Sebagian ulama yang tidak berpijak pada pendapat mu’tamad bukan tanpa alasan, mereka melihat ada fakta yang berkembang atau dalil yang lebih kuat. Sebagaimana ukuran/jarak mathla’ juga perkara yang diperselisihkan.
Tanggapan Terhadap Metode Hisab
Kami memandang bahwa hisab tidaklah dapat digunakan untuk menetapkan awal bulan Qamariyyah, khususnya dalam masalah ibadah shaum Ramadhan, hari raya Idul Fitri, dan Idul Adha.
Allah telah menuntut kita untuk berpuasa dan berbuka (berhari raya) berdasarkan rukyatul hilal, dan Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan rukyatul hilal sebagai sebab syar’i bagi pelaksanaan shaum dan hari raya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
“Berpuasalah kamu karena melihat dia (hilal) dan berbukalah kamu karena melihat dia (hilal).” (HR Bukhari; Muslim; al-Tirmidzi dan al-Nasa`i).
Jika misalnya kita tidak dapat melihat hilal Syawwal karena tertutup awan, maka kita menyempurnakan puasa sampai 30 hari, meski pun andaikata hilal sebenarnya sudah wujud secara faktual. Pendapat bahwa hisab tidak dapat dijadikan patokan penentuan awal bulan Qamariyyah ini adalah pendapat jumhur ulama, yakni jumhur ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah. Lihat pandangan ulama madzhab Hanafi dalam al-Mabsuth, 3/85; Hasyiyah Ibnu Abidin, 3/316-7; pandangan ulama madzhab Maliki dalam Al-Isyraf, 1/425; Al-Istidzkar, 3/287, Mawahib Al-Jalil, 3/289; pandangan ulama madzhab Syafi’i dalam al-Majmu’, 6/289-290; Raudhah al-Thalibin, 2/210-211; pandangan ulama madzhab Hanbali dalam al-Mughni, 4/338. (Dikutip dari Abdul Majid bin Abdullah bin Ibrahim Al-Yahya, Atsar al-Qamarain fi al-Ahkam al-Syar’iyyah, hlm. 154).
Memang ada pendapat sebagian ulama yang membolehkan hisab sebagai penentu awal bulan Qamariyyah, seperti pendapat Muthrif bin Abdullah al-Syakhir (tabi’in), juga pendapat Ibnu Suraij (ulama madzhab Syafi’i), Ibnu Qutaibah, Syaikh Muhyiddin Ibnul Arabiy, dan lain-lain. (Lihat al-Baghdadi, Abdurrahman, Umatku Saatnya Bersatu Kembali: Telaah Kritis Perbedaan Awal dan Akhir Ramadhan, (Jakarta: Insan Citra Media Utama), 2007, hlm. 60-61).
Dalil pendapat ini antara lain sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “faqduru lahu” (perkirakanlah hilal ketika tidak terlihat), artinya adalah “perkirakanlah dengan ilmu hisab.” Sebab menurut Ibnu Suraij sebagaimana dinukil oleh IbnuAal-rabi, khithab tersebut adalah khusus untuk orang yang menguasai ilmu ini (hisab). Sedang sabda Nabi “fa-akmilu al-iddah” (sempurnakanlah bilangan) adalah khithab umum bagi orang awam. (Lihat Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh Ash-Shiyam, (Kairo : Dar Ash-Shahwah), 1992, hlm. 26.)
Pendapat tersebut menurut kami tidak tepat. Alasannya, sabda Nabi “perkirakanlah” (faqdurulah), artinya yang tepat bukanlah “hitunglah dengan ilmu hisab”, melainkan “sempurnakanlah bilangannya hingga 30 hari”. Memang hadits ini mujmal (bermakna global), sehingga dapat ditafsirkan seperti itu. Namun terdapat hadits lain yang mubayyan (mufassar), yakni bermakna terang/gamblang sehingga dapat menjelaskan maksud hadits yang mujmal. Maka yang mujmal (faqdurulah), hendaknya diartikan berdasarkan hadits yang mubayyan. Walhasil, hadits faqdurulah artinya adalah fa-akmilu al-iddah (sempurnakanlah bilangan bulan), bukan fahsubuu (hisablah).
Meskipun tidak menggunakan hisab untuk penentuan awal bulan Qamariyyah, namun kami berpendapat bahwa hisab dapat dipergunakan untuk keperluan ibadah lainnya, seperti penentuan waktu shalat. Hal ini dikarenakan ada perbedaan antara shaum dengan shalat. Jika shaum dikaitkan dengan rukyatul hilal sebagai sebabnya, maka shalat dikaitkan dengan “masuknya waktu” sebagai sebabnya, di mana “masuknya waktu” itu dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, seperti melihat bayangan benda atau dengan jalan hisab.
Perlu ditambahkan pula, bahwa kami tidak sepakat dengan paham yang menyatakan bahwa hisab dapat dipakai secara terbatas, yakni hanya untuk menafikan kesaksian adanya rukyatul hilal. Maksudnya, menurut paham ini, jika ada laporan kesaksian rukyatul hilal yang bertentangan perhitungan hisab, maka yang dipakai adalah hisab, bukan laporan rukyat. Sebab, menurut paham ini, hisab adalah qath’i (pasti) sedangkan kesaksian adalah zhanni (dugaan). Inilah pendapat al-Qaradhawi, yang berasal dari al-Subki dalam Fatawa al-Subki, 1/219/220.
Pendapat ini tidak diterima dengan beberapa argument: Pertama, kesaksian rukyatul hilal memang dapat ditolak, namun bukan ditolak karena bertentangan dengan hisab, melainkan karena saksinya tidak memenuhi syarat-syarat saksi, misalnya saksi itu orang kafir, atau saksi itu tidak mempunyai sifat ‘adalah (alias orang fasik). Jadi, penetapan (itsbat) kefasikan saksi dilakukan hanya berdasarkan bukti-bukti syar’i (al-bayyinat al-syar’iyyah), bukan berdasarkan perhitungan hisab.
Kedua, syara’ telah menetapkan bahwa penentuan awal bulan Qamariyyah adalah dengan rukyatul hilal (dilihatnya hilal oleh manusia di muka bumi), bukan dengan wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit). Pandangan di atas, yakni penggunaan hisab untuk menafikan kesaksian laporan rukyatul hilal, berpangkal pada satu kesalahpahaman, yakni menganggap wiladatul hilal (lahirnya hilal di langit) sebagai patokan bulan baru (al-syahr al-jadid). Padahal, bulan baru secara syar’i (bukan secara waqi’i/faktual) hanya ditetapkan berdasarkan rukyatul hilal saja, bukan berdasarkan wiladatul hilal.
Kebutuhan Umat atas Institusi Pemersatu
Kami berpendapat bahwa perbedaan dalam penentuan awal bulan Qamariyyah, seperti dalam mengawali puasa dan berhari raya, tiada lain hanya salah satu masalah dari sekian banyak tumpukan masalah yang dihadapi umat Islam akibat tiadanya negara Khilafah, sebagai institusi pemersatu umat Islam. Dengan absennya Khilafah, umat Islam terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara bangsa (nation-state) yang masing-masing merasa berhak menentukan kapan puasa dan kapan berhari raya.
Jika Khilafah eksis kembali (dalam waktu dekat Insya Allah), maka Khalifah yang diberi amanat untuk menjalankan hukum-hukum Allah akan dapat mengatasi perbedaan umat dalam menentukan awal bulan Qamariah. Sebab jika Khalifah mengadopsi satu ijtihad dari sekian ijtihad syar’i yang ada, maka hanya pendapat itulah yang wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslim. Dengan demikian akan hilanglah perbedaan pendapat dan terwujud persatuan. Kaidah fiqih menyebutkan:
أمر الإمام يرفع الخلاف في المسائل الإجتهادية
“Perintah Imam (Khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah (khilafiyah).” (Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital fi al-Siyasah al-Syar`iyyah, 1/105 dan 2/904)
Kesimpulan
Persoalan khilafiyah penentuan hari raya Idul Fitri memang cukup kompleks, karena di dalamnya terlibat setidaknya 3 masalah, yaitu: (1) masalah fiqih, seperti penentuan dengan rukyat atau hisab, jika menggunakan rukyat apakah rukyat lokal atau rukyat global, dan seterusnya; (2) masalah ilmiah (scientific), seperti ilmu astronomi yang terkait rukyatul hilal; dan (3) masalah politik, yaitu berkaitan dengan siapa pihak yang patut dita’ati oleh umat dalam hal penentuan awal bulan qamariah.
Pinsip kita dalam beramal adalah memilih dalil yang paling kuat dan tetap berlapang dada dalam perbedaan yang masih memiliki pijakan dalil syariah, karena hakikatnya itu adalah ikhtilaf yang muktabar. Namun demikian, sekompleks apa pun persoalan yang ada, hendaknya usaha-usaha untuk menyatukan umat Islam dalam penentuan awal bulan qamariah tidak pernah berhenti dan harus dilakukan secara berkesinambungan. Berbagai solusi yang ditawarkan demi persatuan umat, baik solusi jangka pendek maupun jangka panjang, hendaknya dipertimbangkan dan dikaji dengan penuh kebijaksanaan, keinsyafan, dan sikap lapang dada. Semoga Allah Azza wa Jalla memudahkan urusan ini bagi kaum muslim.
Raudhah Tsaqafiyyah IndonesiaPusat Kajian Pemikiran Islam dan TuratsTim Penyusun:M. Shiddiq Al Jawi, Yuana Ryan Tresna dan Abdurrahman al-Khaddami