Pandemi telah berjalan hampir setahun. Ia telah menciptakan problem kesehatan. Pandemi juga memukul perekonomian masyarakat, baik global maupun di Tanah Air. Sektor perekonomian terpuruk. Banyak usaha gulung tikar. PHK meluas. Menteri Tenaga Kerja RI menyebut ada sekitar 3,5 juta warga terkena PHK. Jumlah ini menambah angka pengangguran terbuka di Tanah Air hingga mencapai 10,3 juta jiwa.
Jika keadaan ini berlangsung terus, kehidupan sosial masyarakat makin tertekan. Sebagian berkurang drastis penghasilannya. Sebagian lainnya kehilangan mata pencaharian. Banyak saudara kita yang membutuhkan jaminan kebutuhan hidup dari pihak lain sambil menunggu kesempatan mencari nafkah.
Kewajiban Nafkah
Mencari nafkah adalah salah satu kewajiban yang memiliki banyak keutamaan dalam pandangan Islam. Nabi saw. menyebutkan bahwa harta yang terbaik adalah yang didapat dari jerih payah sendiri, bukan dari pemberian orang lain. Sabda beliau:
لأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا ، فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ
Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya daripada dia meminta-minta (mengemis) kepada orang lain, lalu ada yang memberi dia dan ada yang menolak (HR al-Bukhari).
Kewajiban mencari nafkah ini memiliki rincian dan ketentuan tersendiri dalam Islam. Pertama: Kaum perempuan yaitu ibu, istri, saudara perempuan dan anak perempuan tidak dibebani kewajiban mencari nafkah. Kedua: Kaum lelakilah yang diperintahkan untuk menjamin kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan tempat tinggal bagi tanggungan mereka secara makruf. Allah SWT berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Kewajiban ayah memberikan makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik (TQS al-Baqarah [2]: 233).
Allah SWT juga berfirman:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
Tempatkanlah mereka (para istri) di tempat kalian tinggal menurut kemampuan kalian. Janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka (TQS ath-Thalaq [65]: 6).
Nafkah seorang lelaki untuk keluarganya adalah dengan kadar yang makruf, sesuai kelayakan masyarakat, namun juga sesuai kemampuannya dalam memberi nafkah. Tidaklah Allah SWT membebani seseorang di luar batas kemampuannya (Lihat: TQS ath-Thalaq [65]: 7).
Para ayah dan suami, juga anak lelaki wajib, memelihara kebutuhan mereka. Mereka haram menelantarkan anggota keluarga yang menjadi tanggungan mereka. Nabi saw. bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ، عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ
Cukuplah seseorang dinilai berdosa saat dia tidak memenuhi kebutuhan orang-orang yang berada di bawah tanggungannya (HR Muslim).
Kewajiban Sosial
Selain kewajiban nafkah individu, Islam juga menekankan kewajiban sosial. Islam mendorong sesama Muslim untuk mengembangkan sikap peduli dan tolong-menolong terhadap saudaranya yang berada dalam kesulitan. Orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah SWT dan Hari Akhir diingatkan oleh Nabi saw. untuk berjiwa pemurah dan gemar memberikan bantuan kepada sesama Muslim. Bagi mereka ada ganjaran yang besar di sisi Allah SWT. Sabda Nabi saw.:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
Siapa saja yang melepaskan kesusahan seorang Muslim di dunia, Allah akan melepaskan kesusahan dari dia pada Hari Kiamat. Siapa yang memudahkan seorang Muslim yang sedang kesulitan maka Allah akan memudahkan kesulitannya di dunia dan akhirat (HR Muslim).
Setiap Muslim harus selalu ingat bahwa di dalam harta mereka terdapat hak orang lain, yakni orang yang meminta-minta karena kebutuhan, dan mereka yang terhalang mendapatkan harta. Karena itulah sudah semestinya seorang Muslim tidak ragu mengeluarkan sebagian hartanya untuk menolong sesama. Allah SWT berfirman:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta-minta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian (TQS adz-Dzariyat [51]: 19).
Dalam ayat di atas tercantum kata “al-mahrum”. Menurut Qatadah dan az-Zuhri, ia adalah orang miskin yang tidak meminta-minta (lantaran sifat ‘iffah atau menjaga kemuliaan diri).
Menjadi pengemis haram hukumnya. Meminta-minta hanya bisa dibenarkan karena tiga alasan, yakni karena menanggung utang orang lain, kehabisan harta sehingga butuh sandaran hidup dan tertimpa kesengsaraan (HR Muslim).
Mengabaikan kefakiran dan kemiskinan sesama Muslim, terutama tetangganya, merupakan kemaksiatan. Nabi saw. bersabda:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائْعٌ إِلٰى جَنْبِهِ
Bukanlah Mukmin orang yang kenyang, sementara tetangganya kelaparan sampai menekan lambungnya (HR al-Bukhari).
Kewajiban Negara
Sekuat apapun individu atau masyarakat tetap tidak akan sanggup menangani krisis yang menimpa suatu negeri tanpa peran negara. Karena itulah Islam mewajibkan negara bertanggung jawab penuh menjamin kehidupan sosial rakyatnya. Bukan sekadar menyediakan stok pangan atau obat-obatan. Negara juga wajib memastikan bahwa semua rakyat dapat memenuhi kebutuhan pokoknya, baik dengan harga yang terjangkau, dan atau memberi mereka secara cuma-cuma, terutama warga yang tidak mampu.
Pada masa Nabi saw. jaminan atas kebutuhan hidup rakyat telah berjalan dengan sempurna. Nabi saw. bersabda:
وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَلْيَأْتِنِى فَأَنَا مَوْلاَهُ
Siapa (yang mati) dan meninggalkan utang atau tanggungan, hendaklah ia mendatangi aku karena aku adalah penanggung jawabnya (HR al-Bukhari).
Imam asy-Syaukani berkata, “Ketika Allah SWT memberikan kemenangan (kepada kaum Muslim) pada suatu negeri dan berlimpah harta, maka siapa saja yang meninggal dalam keadaan memiliki utang, ia berhak dilunasi utang-utangnya dari Baitul Mal kaum Muslim.” (Tuhfah al-Ahwadziy, 3/142).
Pada masa Khulafaur Rasyidin pelaksanaan jaminan sosial ini juga terlaksana dengan sempurna. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., misalnya, pernah terjadi masa paceklik yang berkepanjangan pada tahun 18 Hijrah, usai pelaksanaan ibadah haji. Hampir sepanjang tahun itu hujan tidak turun. Saat itu tanah berwarna kelabu akibat debu. Para ahli sejarah menyebut masa itu sebagai ‘Am Ramadhah (Tahun Abu).
Kelaparan terjadi di mana-mana akibat gagal panen. Ribuan orang berbondong-bondong datang ke Ibukota Khilafah, Madinah. Mereka meminta bantuan negara. Khalifah Umar ra. bergerak cepat dengan menyediakan dapur massal. Beliau meminta bantuan pasokan pangan dari para gubernurnya di luar Madinah.
Abu Ubaidah bin al-Jarrah ra. datang dengan membawa 4.000 hewan tunggangan yang dipenuhi makanan. Abu Musa al-‘Asy’ari, Gubernur Basrah (Irak), juga mengirimkan bantuan. Gubernur Mesir, Amr bin al-‘Ash ra., mengirim bantuan makanan dan pakaian yang dikirim lewat darat dan laut. Lewat laut, dia mengirim 20 kapal yang memuat gandum dan lemak. Lewat jalur darat disiapkan 1.000 unta yang mengangkut gandum dan ribuan helai pakaian.
Gubernur Syam, Muawiyah, mengirim 3.000 unta yang membawa gandum, dan 3.000 unta lainnya untuk mengangkut pakaian. Dari Kufah (Irak), datang bantuan 2.000 unta yang membawa gandum. Negara terus melayani dan mencukupi kebutuhan rakyat. Akhirnya, Allah SWT memberikan pertolongan kepada kaum Muslim dan masa kekeringan itu pun berakhir.
Jika Kas Negara atau Baitul Mal tidak mencukupi kebutuhan darurat, Khilafah diizinkan memungut pajak (dharibah) untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Namun, pungutan pajak ini bersifat temporer. Hanya saat mendesak/darurat. Dalam Islam, tidak semua warga dipungut pajak. Hanya kaum Muslim yang kaya yang dikenakan pajak. Muslim yang bukan kalangan kaya (aghniya’) tidak dipungut pajak. Hebatnya lagi, warga non-Muslim sama sekali tidak dipungut pajak, sekalipun ia kaya. Sabda Nabi saw.:
خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنَى
Sedekah yang paling baik adalah yang berasal dari orang kaya (HR al-Bukhari).
Khatimah
Demikianlah cara sistem Islam menjamin kebutuhan rakyatnya. Bukan dengan aksi pencitraan demi mendapatkan simpati dari rakyat, atau dengan memberi mereka bantuan ala kadarnya. Pada saat yang sama dana untuk kebutuhan rakyat dikorupsi!
Pada masa wabah, para pemimpin Islam seperti Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. bekerja keras menjamin kebutuhan rakyatnya. Bahkan sejarah mencatat Khalifah Umar menjadi kurus dan kulitnya menghitam karena lebih sering berada di luar melayani rakyat ketimbang di dalam ruangan atau rumahnya.
Jangankan melakukan korupsi, Khalifah Umar ra. tak sudi memakan makanan yang lebih enak dibandingkan makanan yang disantap rakyatnya pada masa sulit. Pada masa paceklik, beliau hanya makan pakai minyak biasa. Dia mengharamkan atas dirinya menggunakan minyak Samin. Dia pun menekan perutnya dengan jari-jari seraya berkata, "Berbunyilah, engkau tidak akan mendapatkan selain minyak ini sampai semua orang bisa hidup dengan layak."
Jaminan sosial yang sempurna ini tak akan dapat dijumpai melainkan hanya dengan penerapan syariah Islam secara kaffah. Sejarah panjang Kekhilafahan Islam selama ratusan tahun telah membuktikan hal itu.
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Pemimpin rakyat adalah pengurus (mereka). Dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. (HR Muslim). []
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah - Edisi 176