Lenyapnya satu hukum Islam dari kehidupan umat acapkali membuat hukum tersebut dianggap tidak wajib, bahkan dianggap tidak ada. Itulah yang terjadi pada kewajiban menegakkan Khilafah.
Setelah 100 tahun institusi Khilafah diruntuhkan oleh tokoh sekular Turki, antek Inggris keturunan Yahudi, Mustafa Kemal Attaturk, kewajiban menegakkan Khilafah seolah asing. Padahal kewajiban menegakkan Khilafah telah banyak dibahas oleh para ulama salaf.
Mahkota Kewajiban
Mirisnya, setelah berpaling dari syariah dan Khilafah, hari ini umat seolah lebih percaya diri dan bersemangat mempraktikkan ideologi dan sistem sekular, baik Kapitalisme atau Sosialisme. Padahal kedua ideologi dan sistem selain Islam itu tidak pernah disinggung sedikitpun dalam pembahasan para ulama salaf. Hanya karena mendominasi pemikiran umat saat ini, keduanya dipandang agung. Keduanya bahkan dianggap lebih agung ketimbang ideologi dan sistem Islam. Padahal Nabi saw. bersabda:
الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى
Islam itu tinggi dan tidak ada yang setinggi Islam (HR al-Bukhari).
Kewajiban menegakkan Khilafah bukan saja telah lama dibahas oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, tetapi juga menempati pembahasan sangat penting. Khilafah disebut sebagai taj al-furudh (mahkota kewajiban) atau kewajiban yang paling agung (a’zham al-fardh) dalam Islam.
Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir Surah al-Baqarah ayat 30, menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil paling mendasar mengenai kewajiban mengangkat seorang imam atau khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Asham.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).
Al-Asham adalah salah satu tokoh Muktazilah yang bernama asli Abu Bakar al-Asham. Dialah tokoh yang menentang kewajiban mendirikan Khilafah.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Imam Ibnu Hazm. Bahkan beliau menegaskan ketidakbolehan ada dua imam (apalagi lebih) bagi kaum Muslim pada satu waktu di seluruh dunia. “Para ulama sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu dan keberadaan seorang imam itu merupakan suatu keharusan, kecuali an-Najdat. Pendapat mereka benar-benar telah menyalahi Ijmak dan pembahasan mengenai mereka telah dijelaskan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa tidak boleh ada dua imam (khalifah) bagi kaum Muslim pada satu waktu di seluruh dunia; baik mereka sepakat atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat.” (Imam Ibn Hazm, Marâtib al-Ijmâ’, 1/124).
Imam al-Jurjani dari mazhab Hanafi menyebutkan bahwa mengangkat imam/khalifah merupakan kemaslahatan kaum Muslim yang paling utama dan maqashid ad-din yang paling agung. Hukumnya adalah wajib berdasarkan dalil as-sam’i (Al-Jurjani al-Hanafi, Syarh al-Muwaqif, 8/326-327).
Imam Alauddin al-Kasani juga menyatakan, “Mengangkat imam (khalifah) merupakan kewajiban yang paling agung (a’zham al-fardh) tanpa perselisihan di antara ahlul haq—dan tidak ada nilainya perbedaan sebagian pengikut Qadariyah—berdasarkan Ijmak Sahabat ra.” (Alauddin Al-Kasani, Badâ’i’ Ash-Shanâ’i’, 7/2).
Ada sejumlah alasan mengapa kewajiban menegakkan Khilafah disebut sebagai mahkota kewajiban dan amal fardhu yang paling agung, juga mengapa umat punya tanggung jawab besar untuk menegakkan kembali Khilafah.
Pertama: Kaum Muslim telah diberi syariah Islam yang mulia dan sempurna untuk menata kehidupan mereka (lihat: QS al-Maidah [5]: 3). Syariah Islam telah dijamin oleh Allah SWT akan memberikan ketenangan, ketertiban dan keberkahan (lihat: QS al-A’raf [7]: 96 dan al-Maidah [5]: 50). Sebaliknya, aturan hidup yang dibuat manusia telah banyak menimbulkan mafsadat (lihat: QS al-Mu’minun [23]: 71).
Kemuliaan syariah Islam ini tak mungkin bisa tegak dan terlaksana tanpa institusi penerapnya, yakni Khilafah. Tanpa Khilafah, banyak hukum Islam semisal muamalah, ‘uqubat (pidana), sosial, bahkan hukum ibadah yang tak bisa ditegakkan dan dijaga. Jangankan membela nyawa seorang Muslim, menindak orang-orang mengabaikan kewajiban shalat saja tidak bisa. Padahal sudah masyhur dalam kitab-kitab fikih adanya sanksi bagi orang yang mengabaikan kewajiban beribadah.
Kedua: Umat membutuhkan pelindung baik untuk menjamin kehidupan mereka maupun menjaga mereka dari serangan musuh-musuh Allah SWT. Hari ini umat seperti hewan yang disembelih tanpa ada perlindungan dan pembelaan. Penderitaan umat di Palestina, Suriah, Myanmar dan Uyghur hanyalah sedikit contoh. Mereka tak memiliki seorang pelindung dan penjaga pun.
Negeri-negeri Islam justru dibelenggu nation state dan nasionalisme yang sempit. Mereka membatasi diri dari menolong sesama Muslim di luar batas negara dan nasionalismenya. Para pemimpin Dunia Islam juga tunduk pada aturan internasional buatan Barat. Mereka merasa puas dengan sekadar menampung pengungsi atau memberikan bantuan pangan dan obat-obatan. Namun, mereka seperti patung. Terdiam saat melihat negeri-negeri kaum Muslim dibumihanguskan dan rakyat ditumpahkan darahnya. Padahal Nabi saw. bersabda:
إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sungguh Imam/Khalifah adalah perisai; orang-orang berperang di belakang dia dan berlindung kepada dirinya (HR Muslim).
Ketiga: Umat juga membutuhkan pembelaan dari para penista dan perusak agama. Saat ini beragam penistaan dan cacian begitu gencar ditujukan pada ajaran Islam. Kasus penistaan agama oleh majalah Charlie Hebdo di Prancis, misalnya, juga beragam penghinaan terhadap Islam di Tanah Air seperti menyebut Islam agama arogan, tak ada yang memperkarakan. Hukum buatan manusia bungkam ketika Islam dinista. Penistaan tersebut bahkan dipandang sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dan dijamin dalam demokrasi.
Bandingkan dengan sikap Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. terhadap kaum pembangkang zakat dan para nabi palsu. Setelah mereka menolak ajakan kembali pada Islam, Khalifah Abu Bakar ra. mengirim pasukan untuk menghentikan kemungkaran mereka. Kaum Muslim pun selamat dari fitnah besar kala itu.
Keempat: Allah SWT telah memberikan amanah pada umat ini, selain menerapkan ajaran Islam, juga kewajiban menyebarkan Islam ke segenap bangsa di dunia sampai mereka memeluk ajaran Islam atau tunduk di bawah kekuasaan Islam. Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا
Kami tidak mengutus engkau melainkan kepada seluruh umat manusia, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan (TQS Saba’ [34]: 28).
Nabi saw. juga bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi (Allah) yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya. Tidaklah seorang pun di kalangan umat ini, Yahudi atau Nashrani, mendengar tentang aku, kemudian dia mati, sementara dia tidak mengimani risalah yang dengan itulah aku diutus, kecuali dia termasuk para penghuni neraka (HR Muslim).
Amal penyebaran Islam telah dilakukan sejak Negara Islam pertama di Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi saw. Beliau mengutus para sahabat sebagai duta Negara Islam kepada para raja saat itu seperti Raja Muqauqis di Mesir, Kisra di Persia dan Heraklius di Roma, juga para pemimpin kabilah-kabilah di luar Madinah. Hingga saat beliau wafat, seluruh Jazirah Arab telah berada dalam naungan Islam.
Pada era Khulafaur Rasyidin, penyebaran Islam terus berlanjut dengan dakwah dan jihad. Pada masa Kekhilafahan Umar bin Khattab ra. wilayah Islam telah melebihi empat kali luas Prancis dan Jerman. Amal agung ini juga terus dilakukan oleh para khalifah berikutnya hingga mereka berhasil menaklukkan Konstantinopel di bawah komando Muhammad al-Fatih dari Khilafah Utsmaniyah.
Umat Bertanggung Jawab
Melihat begitu banyak dan begitu jelas pendapat para ulama tentang kewajiban menegakkan Khilafah, bahkan mereka menyebut Khilafah sebagai kewajiban yang paling agung dan mahkota kewajiban, semestinya tak ada alasan bagi umat menghindar dari kewajiban tersebut. Para ulama yang menyampaikan penjelasan ini adalah para ulama mu’tabar Ahlus Sunnah wal Jamaah. Apalagi argumen yang bisa disampaikan untuk membatalkan kewajiban yang telah jelas dalam syariah? Apakah bisa kesepakatan sejumlah orang mengalahkan hukum syariah yang telah dipahami dan dijelaskan sedemikian terang oleh para ulama salafush-shalih?
Demikian pula terabaikannya hukum-hukum Islam, maraknya penistaan agama dan kezaliman yang terus-menerus ditimpakan pada umat. Semestinya semua itu menumbuhkan kesadaran bahwa hari ini tak ada yang melindungi umat dan menegakkan Islam. Para pemimpin Dunia Islam sibuk dengan urusan dalam negeri mereka masing-masing. Sibuk mempertahankan kekuasaan mereka. Mereka malah menjadi kaki tangan imperialisme Barat.
Kerusakan umat ini telah diingatkan dan dinasihati oleh Imam Malik ra., “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan sesuatu yang memperbaiki generasi awalnya.”
Kerusakan umat hari ini hanya bisa diobati dengan apa yang dulu pernah menyelamatkan umat manusia, yakni syariah Islam yang diterapkan oleh institusi Khilafah. Bukan dengan aturan dan sistem kehidupan lain yang bukan berasal dari Islam.
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Jika kamu menuruti kebanyakan manusia di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka. Mereka tidak lain hanyalah mengira-ngira saja. (TQS al-An’am [6]: 116). []
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah - Edisi 182