Hari-hari ini, khususnya di negeri ini, kepada kita dipertontonkan ‘drama ketidakadilan’ yang makin memuakkan. Di dalam sistem demokrasi sekular yang menerapkan hukum-hukum buatan manusia, keadilan menjadi semacam barang mewah. Sulit dinikmati oleh rakyat kecil dan lemah. Keadilan seolah hanya milik para pejabat dan mereka yang hidup mewah.
Di negeri ini rakyat kecil yang terpaksa mencuri barang tak seberapa karena lapar bisa dijerat hukuman beberapa bulan. Sebaliknya, para pejabat yang punya kuasa atau mereka yang punya banyak harta bisa bebas melenggang dari jeratan hukuman. Padahal mereka telah menilep miliaran hingga triliunan uang negara. Hari ini mereka yang pro rezim tetap aman. Tak tersentuh hukum. Padahal mereka berkali-kali melakukan tindakan kriminal: menghina Islam, menista ulama dan santri, dsb. Sebaliknya, hanya karena kesalahan kecil, asal dari pihak yang sering kritis terhadap rezim, mereka dijerat dengan hukuman yang berat. Contohnya apa yang dialami oleh HRS, Gus Nur, Ali Baharsyah, dll.
Itulah pengadilan di dunia. Sebuah pengadilan semu. Bahkan palsu. Pengadilan dunia sering menjadi alat untuk sekadar menghukum rakyat. Adapun penguasa dan pejabat seolah mendapatkan hak-hak imunitas sehingga sering tak tersentuh hukum. Padahal banyak dari mereka telah melakukan kejahatan luar biasa, misalnya korupsi miliaran hingga triliunan rupiah uang negara.
Di sisi lain, para penegak hukumnya banyak yang bermental bobrok. Tidak memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Mudah dibeli. Gampang tergoda oleh rayuan uang, harta, wanita dan kenikmatan dunia lainnya. Mereka seolah lupa bahwa meski mereka lihai mempermainkan hukum di dunia, juga meski mereka sering lepas dari pengadilan manusia di dunia, mereka tak akan pernah bisa melepaskan diri dari hukuman Allah SWT di Pengadilan Akhirat.
Keadilan Hanya dalam Sistem Islam
Salah satu puncak peradaban emas Khilafah adalah penerapan syariah Islam di bidang hukum dan peradilan. Keberhasilan yang gemilang di bidang ini membentang sejak sampainya Rasulullah saw. di Madinah tahun 622 M hingga tahun 1918 M (1336 H) ketika Khilafah Utsmaniyah jatuh ke tangan kafir penjajah (Inggris) (An-Nabhani, Nizham al-Islam, hlm. 44).
Kunci utama keberhasilan tersebut karena hukum yang diterapkan adalah hukum terbaik di segala zaman dan masa. Itulah hukum Allah SWT (syariah Islam). Allah SWT berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُون
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).
Syaikh Wahbah az-Zuhaili menerangkan, ayat ini bermakna bahwa tak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allah SWT, juga tak ada satu hukum pun yang lebih baik daripada hukum-Nya (Az-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, 6/224).
Dengan demikian keadilan merupakan sifat yang melekat pada Islam itu. Allah SWT berfirman:
وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا
Telah sempurnalah Kalimat Tuhanmu (al-Quran) sebagai kalimat yang benar dan adil (TQS al-An'am [6]: 115).
Sebaliknya, saat Islam dijauhkan, dan al-Quran tidak dijadikan rujukan dalam hukum, yang bakal terjadi adalah kezaliman. Allah SWT berfirman:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan (al-Quran) maka merekalah para pelaku kezaliman (TQS al-Maidah [5]: 45).
Dengan demikian keadilan dan Islam adalah satu-kesatuan. Tidak aneh jika para ulama mendefinisikan keadilan (al-'adl) sebagai sesuatu yang tak mungkin terpisah dari Islam. Menurut Imam Ibnu Taimiyah, keadilan adalah apa saja yang ditunjukkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah (kullu ma dalla 'alayhi al-Kitab wa as-Sunnah), baik dalam hukum-hukum hudud maupun hukum-hukum yang lainnya (Ibnu Taimiyah, As-Siyasah as-Syar'iyyah, hlm. 15).
Fakta Historis Keadilan Hukum
Tak sedikit tinta emas menggoreskan catatan sejarah yang membuktikan adanya keadilan di tengah masyarakat Islam. Di antaranya adalah kisah sengketa baju besi Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. dengan seorang laki-laki Yahudi. Diriwayatkan oleh Imam al-Hakim, bahwa baju besi Ali ra. hilang pada Perang Jamal. Ali ra. ternyata mendapati baju besinya di tangan seorang laki-laki Yahudi. Khalifah Ali ra. dan orang Yahudi lalu mengajukan perkara itu kepada hakim bernama Syuraih. Ali ra. mengajukan saksi seorang bekas budaknya dan Hasan, anaknya. Hakim Syuraih berkata, “Kesaksian bekas budakmu saya terima, tetapi kesaksian Hasan saya tolak.” Ali ra. berkata, “Apakah kamu tidak pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda bahwa Hasan dan Husain adalah penghulu para pemuda penghuni surga?” Hakim Syuraih tetap menolak kesaksian Hasan. Ia lalu memenangkan si Yahudi. Syuraih kemudian berkata kepada orang Yahudi itu, “Ambillah baju besi itu.” Namun, Yahudi itu berkata, “Amirul Mukminin bersengketa denganku. Lalu ia datang kepada hakim kaum Muslim. Kemudian hakim memenangkan aku dan Amirul Mukminin menerima keputusan itu. Demi Allah, Andalah yang benar, Amirul Mukminin. Ini memang baju besi Anda. Baju besi itu jatuh dari unta Anda, lalu aku ambil. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah rasul Allah.” Ali ra. berkata, “Karena Anda sudah masuk Islam, kuberikan baju besi itu untukmu.” (Al-Kandahlawi, Hayah ash-Shahabah, 1/146).
Kisah ini menunjukkan bahwa keadilan telah ditegakkan walau yang bersengketa adalah seorang kepala Negara Islam dengan rakyat biasa yang non-Muslim. Hukum syariah memang tidak membenarkan kesaksian seorang anak untuk bapaknya. Inilah prinsip syariah yang dipegang teguh oleh Hakim Syuraih ketika mengadili perkara tersebut (Ahmad Da’ur, Ahkam al-Bayyinat, hlm. 23).
Keadilan Islam yang mengagumkan juga pernah tercatat saat peristiwa penaklukan Kota Samarqand, di negeri Khurasan, Asia Tengah, sebagaimana dikisahkan oleh Imam ath-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa al-Muluk (VIII/138). Syahdan, setelah kota ditaklukkan pasukan kaum Muslim, penduduk Samarqand yang non-Muslim itu mengadu kepada hakim bahwa para pasukan telah menyalahi hukum Islam. Sebabnya, menurut pengetahuan mereka, Islam mengajarkan bahwa penaklukan harus diawali dulu dengan dakwah kepada penduduk untuk masuk Islam. Lalu jika mereka tak mau masuk Islam, mereka diminta membayar jizyah. Jika mereka tetap tak mau membayar jizyah, barulah pasukan Islam boleh memerangi mereka.
Hakim pun memutuskan bahwa penaklukan Samarqand tidak sah. Hakim lalu memerintahkan pasukan Islam keluar dari Kota Samarqand dan mengulangi lagi proses penaklukan dengan menyampaikan dakwah dan tawaran jizyah lebih dulu. Demi mendengar vonis hakim yang adil ini, penduduk Samarqand berkata, “Kalau begitu, silakan pasukan Islam tetap di dalam kota dan kami masuk Islam” (Hamad Fahmi Thabib, Hatmiyah Inhidam ar-Ra’sumaliyah Al-Gharbiyah, hlm. 226).
Kisah ini juga menunjukkan keadilan Islam yang luar biasa. Hakim tetap berpegang teguh dengan hukum Islam walaupun yang mengadukan perkara adalah non-Muslim. Hakim tidak lantas memenangkan pasukan Islam yang sudah telanjur menaklukkan Kota Samarqand. Itu tak lain karena hakim memang berpegang teguh dengan sabda Rasulullah saw., bahwa pasukan Islam hanya boleh memerangi setelah melakukan lebih dulu aktivitas dakwah untuk masuk Islam dan memberi tawaran membayar jizyah.
Penaklukan yang adil semacam itulah yang sebelumnya pernah terjadi di Wadi Urdun saat pasukan Islam pimpinan Abu Ubaidah ra. menaklukkan daerah tersebut. Daerah itu dulunya bekas wilayah Kerajaan Romawi. Ketika Abu Ubaidah sampai ke daerah Fahl, penduduknya yang Nasrani menulis surat, “Wahai kaum Muslim, kalian lebih kami cintai daripada Romawi meski agama mereka sama dengan kami. Kalian lebih menepati janji kepada kami, lebih lembut kepada kami, dan menghentikan kezaliman atas kami. Kalian lebih baik dalam mengurusi kami. Romawi hanya ingin mendominasi segala urusan kami dan menguasai rumah-rumah kami.” (Hamad Fahmi Thabib, Hatmiyah Inhidam ar-Ra'sumaliyah al-Gharbiyah, hlm. 228).
Inilah keadilan hakiki yang berhasil diwujudkan Islam. Keadilan seperti inilah yang dulu benar-benar diwujudkan oleh Khilafah tatkala menerapkan syariah Islam secara kaffah di tengah masyarakat. Keadilan dirasakan tak hanya oleh umat Islam, namun juga oleh kaum non-Muslim.
Bertolak Belakang
Fakta di atas sangat bertolak belakang dengan situasi umat Islam sekarang. Terutama setelah Khilafah Islam di Turki dihancurkan pada 3 Maret 1924. Sejak itu syariah Islam pun dicampakkan. Hukum yang diterapkan bukan lagi syariah Islam, melainkan hukum yang dibuat oleh manusia. Akibatnya, mereka jauh dari hukum Allah SWT. Dengan sendirinya, mereka jauh dari keadilan. Sebaliknya, mereka terus-menerus ditimpa berbagai kezaliman yang dipaksakan dan dilegitimasi atas nama sistem demokrasi yang kufur. Sampai kapan semua ini berakhir? Tentu sampai umat Islam kembali menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
Wahai manusia! Sungguh orang-orang sebelum kalian hancur karena saat orang terhormat mencuri, mereka biarkan. Namun, jika orang lemah (rakyat jelata) mencuri, mereka menerapkan hukuman. Demi Allah, andai Fathimah putri Muhammad mencuri, pasti aku akan memotong tangannya. (HR Muslim).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah - Edisi 186