Oleh: Dwi Indah Lestari
Sobat, pernahkah membaca sebuah hadits bahwa Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak? Rasulullah Saw bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Bukhari).
Dalam sistem Islam, akhlak merupakan bagian dari syariat yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Akhlak sendiri sebenarnya adalah sifat-sifat yang diperintahkan oleh Islam agar setiap muslim memilikinya ketika melakukan suatu perbuatan. Jadi akhlak merupakan sifat yang senantiasa melekat pada suatu perbuatan apakah hal itu harus dijalankan ataukah ditinggalkan.
Sifat perbuatan sendiri adakalanya baik dan adakalanya buruk. Juga kadang terpuji kadang juga tercela. Namun dalam Islam baik buruk, terpuji tercelanya segala sesuatu tidak diserahkan pada kacamata manusia, namun pada pandangan Allah saja. Termasuk dalam menentukan suatu sifat perbuatan, juga harus didasarkan pada ketetapan syariat semata.
Sebab bila hak menilai sifat perbuatan diberikan pada manusia, maka akan ada kecenderungan pada dirinya untuk melihat dari sudut untung rugi. Jika sifat itu dianggap menguntungkan maka sifat tersebut dinilai baik. Namun jika merugikan, maka sifat itu dipandang buruk. Dan sudah menjadi kebiasaan manusia, akan menilai segala sesuatu berdasarkan standar benda dalam memandang terpuji dan tercelanya suatu sifat. Seperti putih itu terpuji sementara hitam itu tercela.
Padahal benda apapun sebenarnya kedudukannya netral. Dia tak bisa dianggap baik buruk atau terpuji tercela. Jadi sama saja antara api dengan air, antara pisau dengan penggaris. Hanya saja nantinya, saat benda itu digunakan ketika melakukan suatu perbuatan, disitulah akan bisa ditentukan apakah ia menghasilkan suatu yang buruk atau baik. Misalnya, api digunakan untuk memasak, maka itu adalah hal yang baik dan terpuji. Sementara bila api dipakai untuk membakar hutan lindung, maka itu adalah sesuatu yang buruk dan tercela.
Itulah sebabnya dalam menentukan baik buruk, terpuji tercelanya sifat-sifat akhlak, haruslah datang dari Allah Swt. Karena Allah lah yang lebih mengetahui kebaikan dan keburukan segala sesuatu. Allah tak akan salah dalam menilai sifat mana yang baik dan sifat mana yang harus ditinggalkan oleh seorang muslim.
Seperti dijelaskan sebelumnya, akhlak senantiasa melekat pada suatu perbuatan. Sementara itu, Islam telah memerintahkan pada setiap muslim untuk memperhatikan dalam setiap perbuatannya agar dapat mencapai kesempurnaan, dengan menjadikan sifat tertentu sebagai sifat perbuatannya. Sebagai contoh adalah sholat. Seorang muslim diharuskan untuk menegakkan sholat dengan sempurna. Menjalankan syarat sahnya dan rukun sholat dengan sempurna. Termasuk di dalamnya adalah mewujudkan sifat khusyu' dalam dirinya.
Khusyu' sendiri adalah perasaan bahwa seakan-akan dirinya senantiasa diawasi oleh Allah Swt. Sifat ini menjadikan muslim tersebut akan selalu berhati-hati dalam menjalankan aktivitas kehidupannya. Karena ia memahami tak ada satu pun, perbuatannya di dunia yang luput dari pandangan Allah Swt. Meski ia dalam lorong yang gelap sekalipun, Allah Maha Tahu. Maka jika sifat khusyu'ini benar-benar terwujud dalam diri seorang muslim, akan dapat mencegahnya untuk berbuat sesuatu yang melanggar syariatNya.
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ
"Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (TQS. Al Ankabut: 45)
Sobat, dari sini bisa kita pahami, bahwa akhlak bukan semata-mata sifat yang universal. Akhlak tidak bisa dipisahkan dari hukum-hukum syara' yang mengatur perbuatan seorang muslim, baik yang berupa perintah untuk mengerjakan atau perintah untuk meninggalkan. Sebagai contoh adalah sifat jujur. Bila jujur diserahkan sebagai sifat yang universal maka ia akan dianggap baik. Padahal tidak selalu demikian di dalam Islam.
Jujur saat memberikan persaksian di persidangan adalah baik. Begitu pula jujur pada saat bertransaksi jual beli. Namun kejujuran ini dipandang baik karena syariat memerintahkan kita jujur pada perbuatan-perbuatan tersebut. Bukan karena semata-mata jujur adalah sifat yang baik. Sebaliknya, jujur menyampaikan informasi rahasia negara saat tertawan musuh adalah sesuatu yang buruk menurut syariat. Bahkan syariat juga membolehkan tidak jujur saat ingin mendamaikan saudara kita yang sedang berselisih.
Dari Ummu Kultsum bin 'Uqbah bin Abu Mu'aith RA bahwasanya ia mendengar Rasulullah SAW bersabda:
لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِي خَيْرًا
"Bukanlah termasuk pendusta: orang yang mendamaikan pihak-pihak yang sedang bertikai, orang yang berkata demi kebaikan, dan orang yang membangkitkan (mengingatkan) kebaikan." (HR. Muslim)
Seorang muslim juga diperintahkan untuk mewujudkan sifat akhlak dalam dirinya bukan karena adanya sebab atau manfaat di dalamnya. Tetapi ia menghiasi dirinya dengan sifat tersebut karena syariat mewajibkan itu. Seperti misalnya jujur, amanah dan menepati janji, itu dikerjakan karena syariat yang menghendaki muslim untuk memiliki sifat-sifat itu. Bukan karena akan memperoleh pujian, manfaat dan lain sebagainya.
Kadang-kadang ketika kita mewujudkan akhlak tersebut, bisa jadi malah mendapat kerugian. Misalnya saja berani melakukan amar ma'ruf nahiy munkar di hadapan penguasa yang zalim, mungkin malah akan mendapatkan bahaya bagi dirinya. Seperti ancaman ditangkap, dipenjara, bahkan mungkin dibunuh. Namun sifat ini harus dimiliki seorang muslim sebab Allah Swt memerintahkan hal itu.
سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ
“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zhalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zhalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dan al-Thabrani)
Maka saat akhlak kita kerjakan karena tuntutan syara' yang telah memerintahkannya, akan terbentuk sosok-sosok muslim yang unik. Saat ia berinteraksi dengan lingkungannya, masyarakat dapat melihat dirinya sebagai pribadi yang istimewa yang memiliki keteguhan dalam prinsip keislamannya. Masyarakat juga akan mempercayai bahwa dirinya adalah termasuk orang-orang yang selalu taat kepada Robbnya. Selain itu akhlak ini juga akan mendatangkan pahala bagi setiap muslim yang mewujudkannya.
Maka sobat, akhlak itu akan nampak dalam diri seorang muslim apabila ia bersungguh-sungguh menjalankan ketaatan, baik berupa mengerjakan perintah atau meninggalkan larangan Allah Swt. Untuk itu saat kita memiliki cita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang berakhlakul karimah, maka jalan yang harus ditempuh adalah dengan menerapkan seluruh syariat Allah Swt untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Dengan begitu, kita bisa berharap kelak di akhirat dapat berdekatan dengan Rasulullah Saw.
إِنَّ مِنْ أَحِبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحْسَنُكُمْ أَخْلَاقًا
“Sesungguhnya di antara orang-orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat denganku yaitu orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi)
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Bangkalan, 25 Juli 2021 (23.18)