Tak terasa, Hari Raya Idul Adha tahun ini akan segera tiba. Namun, Idul Adha kali ini kita rayakan dalam kondisi pandemi Covid-19 yang masih belum berakhir. Korban makin banyak berjatuhan. Ribuan orang meninggal. Puluhan ribu orang terinfeksi virus Covid-19. Bahkan jumlah orang yang terinfeksi virus ini makin meningkat. Pada saat yang sama, penanganan wabah pandemi ini makin tidak jelas arahnya. Wajar jika publik makin kecewa. Sebagian bahkan frustasi. Ketidakpercayaan mereka kepada Pemerintah makin tinggi akibat Pemerintah salah urus sejak awal.
Pada level keimanan, kita tentu wajib mengimani bahwa hanya Allah SWT yang kuasa menghidupkan dan mematikan manusia. Semuanya ada dalam genggaman-Nya. Sakit maupun sembuh, baik ataupun buruk, semuanya ada dalam kuasa-Nya.
Orang beriman juga harus meyakini bahwa semua hal, termasuk musibah, datang dari Allah SWT. Oleh karena itu, hanya kepada Allahlah kita meminta segala perkara. Saat ditimpa musibah, kita pun wajib bersabar. Semua urusan harus kita serahkan kepada-Nya. Allah SWT berfirman:
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ ٱللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِٱللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُۥ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa kecuali dengan izin Allah. Siapa saja yang mengimani Allah, niscaya Dia akan memberikan petunjuk kepada hatinya. Allah Mahatahu atas segala sesuatu (QS at-Taghabun [64]: 11).
Pada saat ditimpa musibah, kaum Muslim harus bertobat, meningkatkan ibadah, banyak berdoa dan melaksanakan berbagai amalan nafilah lainnya. Intinya, mereka harus banyak ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT. Sekarang ini adalah momen untuk kembali kepada Allah SWT dengan tobat yang sesungguhnya, baik secara personal maupun kolektif. Wujud tobat adalah dengan menjalankan ketaatan total atas semua perintah dan larangan Allah SWT.
Ketaatan total kepada Allah SWT telah dicontohkan secara paripurna oleh Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. dalam sebuah peristiwa monumental, sebagaimana dikisahkan dalam al-Quran.
Pada Hari Raya Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1442 H ini, kita kembali mengenang peristiwa agung tentang dua kekasih Allah SWT ini. Betapa besar pengorbanan Nabi Ibrahim as. dalam menaati perintah Allah SWT. Beliau rela diperintah oleh Allah SWT untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail as. Bagi Nabi Ibrahim as., Ismail as. adalah buah hati, harapan dan kecintaannya yang telah lama beliau dambakan. Namun, di tengah rasa bahagia itu, turunlah perintah Allah SWT kepada beliau untuk mengorbankan putra kesayangannya itu. Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى
Tatkala anak itu telah mencapai usia sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Anakku, sungguh aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelih dirimu. Karena itu pikirkanlah apa pendapatmu.” (TQS ash-Shaffat [37]: 102).
Atas perintah Allah SWT tersebut, Nabi Ibrahim as. mengedepankan kecintaan yang tinggi, yakni kecintaan kepada Allah SWT. Sebaliknya, beliau segera menyingkirkan kecintaan yang rendah, yakni kecintaan kepada anak, harta dan dunia.
Perintah amat berat itu pun disambut oleh Ismail as. dengan penuh kesabaran. Beliau bahkan mengukuhkan keteguhan jiwa ayahandanya dengan mengatakan:
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Ayah, lakukanlah apa yang telah Allah perintahkan kepada engkau. Insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar (QS ash-Shaffat [37]: 102).
Kisah Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. tersebut seharusnya menjadi teladan bagi kita saat ini. Tidak hanya teladan dalam pelaksanaan ibadah haji dan ibadah kurban. Kedua kekasih Allah SWT ini juga merupakan teladan dalam berjuang dan berkorban. Tentu demi mewujudkan ketaatan kepada Allah SWT secara total. Ketaatan pada syariah-Nya secara kaffah.
Sungguh, saat ini syariah Allah SWT telah diabaikan dan dicampakkan. Terutama syariah-Nya yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti pemerintahan, ekonomi, sosial, hukum pidana, pendidikan, politik luar negeri dan sebagainya.
Teladan Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. sungguh sangat berarti bagi kita dalam menjalankan semua perintah Allah SWT, yakni dengan mengamalkan dan menerapkan syariah-Nya secara kaffah. Termasuk kewajiban memutuskan perkara dengan hukum-Nya. Ini sebagaimana yang telah Allah SWT tegaskan dalam firman-Nya:
وَأَنِ ٱحكُم بَينَهُم بِمَا أَنزَلَ ٱللَّهُ وَلاَ تَتَّبِع أَهوَاءَهُم وَٱحذَرهُم أَن يَفتِنُوكَ عَن بَعضِ مَا أَنزَلَ ٱللَّهُ إِلَيكَ
Hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan. Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah engkau terhadap mereka. Jangan sampai mereka memalingkan engkau dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu (TQS al-Maidah [5]: 49).
Dalam ayat ini, Allah SWT memerintahkan Rasulullah saw. agar untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum yang telah Dia turunkan kepada beliau. Perintah tersebut juga berlaku bagi kita, umat beliau. Mafhum dari ayat ini, yakni hendaknya umat Islam mewujudkan seorang hakim (penguasa) sepeninggal Rasulullah saw. untuk memutuskan perkara menurut hukum-hukum Allah SWT.
Di Indonesia, dalam kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, rakyat makin terhimpit kemiskinan. Harga-harga kebutuhan pokok terus membumbung tinggi. Ada rencana, sembako akan dipajaki. Pendidikan mahal, tetapi kualitasnya rendah. Layanan kesehatan makin tak terjangkau. Budaya Barat yang merusak semakin marak. Hukum dan UU, seperti UU Omnibus Law, yang hanya menguntungkan korporasi dilegalkan. Korupsi kian merajalela. Termasuk korupsi Bansos Covid-19. Sungguh sangat memalukan. Korupsi ini melibatkan tiga pilar demokrasi sekaligus yakni yudikatif, legislatif dan eksekutif. Ini bukti yang ke sekian kalinya bahwa sistem ini melahirkan korupsi.
Sungguh, pangkal keterpurukan ini bersumber pada satu hal, yakni penyimpangan terhadap aturan-aturan Allah SWT. Ketidaktaatan pada syariah-Nya. Secara kolektif, kita masih berpaling dari al-Quran. Keadaan itu telah diterangkan oleh Allah SWT:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).
Menurut Imam Ibnu Katsir, makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah “menyalahi perintah-Ku dan apa saja yang telah Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya.” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, V/323).
Adapun kehidupan yang sempit di dunia tidak lain adalah kehidupan yang semakin melarat, miskin, sengsara, menderita, terjajah, teraniaya, tertindas dan sebagainya, sebagaimana yang terjadi di negeri-negeri Muslim sekarang.
Kondisi buruk ini tentu tak boleh terus berlangsung. Kaum Muslim harus segera mewujudkan ketaatan penuh dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah. Demikian sebagaimana yang Allah SWT inginkan. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian (TQS al-Baqarah [2]: 208).
Penerapan syariah Islam secara kaffah adalah wujud ketaatan total kepada Allah SWT. Hal ini mengharuskan adanya kepemimpinan yang adil yang menerapkan sistem yang adil pula. Itulah kepemimpinan yang menerapkan syariah Islam secara total. Kepemimpinan seperti itu juga berfungsi sebagai penjaga (hâris) bagi kaum Muslim; baik agama, darah, harta maupun kehormatan mereka. Rasulullah saw. bersabda:
وَإِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sungguh Imam (Khalifah) itu adalah perisai, di belakangnya orang-orang berperang, dan kepada dia mereka berlindung (HR al-Bukhari dan Muslim).
Imam an-Nawawi menyatakan, hadis itu bermakna bahwa Imam (Khalifah) merupakan benteng/tameng karena ia melindungi umat dari serangan musuh terhadap kaum Muslim, memelihara hubungan kaum Muslim satu sama lain dan menjaga kekayaan mereka.
Spirit sami’nâ wa atha’nâ (kami dengar dan kami taat) sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. jelas membutuhkan pengorbanan. Dalam konteks ini, kita patut bertanya kepada diri kita sendiri: sejauh manakah pengorbanan kita dalam menjalankan ketaatan total kepada Allah SWT dengan melaksanakan kewajiban penerapan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan kita?
Jika kini kita bersegera dan dengan ringan memenuhi perintah berkurban, padahal itu menurut jumhur fuqaha hukumnya sunnah, maka semestinya kita lebih bersegera dan lebih ringan menerapkan syariah Islam sebagai wujud ketaatan kita kepada Allah SWT.
Semoga Allah SWT segera menurunkan pertolongan-Nya kepada kaum Muslim. Semoga kita pun termasuk hamba-hamba-Nya yang istiqamah dan berkorban penuh keikhlasan dalam rangka mewujudkan kehidupan Islam.
Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﻋَﻤَﻞٍ ﺃَﺯْﻛَﻰ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻭَ لاَ ﺃَﻋْﻈَﻢَ ﺃَﺟْﺮًﺍ ﻣِﻦْ ﺧَﻴْﺮٍ ﻳَﻌْﻤَﻠُﻪُ ﻓِﻲ ﻋَﺸْﺮِ ﺍْﻷﺿْﺤَﻰ
Tidak ada suatu amalan pun di sisi Allah ‘Azza wa Jalla yang lebih suci dan lebih besar pahalanya dibandingkan dengan suatu kebaikan yang dilakukan pada sepuluh hari menjelang Idul Adha (Dzulhijjah). (HR al-Baihaqi). []
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah - Edisi 201