Oleh: Titin Hanggasari
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ ۗ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ
Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memerdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. al-Maidah:49)
Sahab Nuzulnya, mereka Yahudi, orang-orang yang terhormat, dan pemimpin-pemimpin mereka. Jika kami mengikutimu, niscaya orang-orang Yahudi mengikuti kami Dan mereka tidak menyalahi kehendak kami. Antara kami dan mereka ada perselisihan dan kami mengajak mereka untuk memutuskan perkara kepada engkau, maka berilah keputusan yang menyenangkan kami atas mereka dalam perkara ini maka kami akan beriman kepadamu dan membenarkanmu. Nabi Muhammad SAW menolak permintaan mereka kemudian turunlah QS Almaidah: 49-50 ini .
Tafsir ayatnya sebagai berikut: waanihkum bainahum Bima anzalallah dan akan memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah. Tafsir Ibnu Katsir dari ayat ini merupakan(ta’kid) terhadap perintah agar terhubung dengan apa yang diturunkan Allah SWT dan larangan menyalahinya dalam ayat sebelumnya.
Sebenarnya pihak yang diperintahkan pada ayat ini adalah Rasulullah SAW, tetapi perintah ini juga berlaku untuk seluruh umatnya. Ditunjukkan oleh khithab kepada Rasul yang hakekatnya juga berlaku untuk umatnya. Selama tidak ada qarinah atau indikasi perintah tersebut khusus untuk beliau.
Pada kata Bima anzalallah bermakna yang diturunkannya kepada Rasulullah SAW adalah Al-Kitab(Alquran). Dan sebelumnya diturunkannya kitab-kitab pada nabi-nabi sebelumnya. Maka Sejak saat itu, hukum yang wajib diterapkan Rasulullah dan umatnya dalam memutuskan perkara adalah hukum yang bersumber pada Alquran.
Lebih luas lagi dari makna ayat tersebut terhadap perintah untuk kewajiban menerapkan hukum syariah tidak terbatas bagi kaum muslim saja, namun juga seluruh manusia termasuk kaum kafir. Ketegasan dalam ayat ini dilaksanakan tanpa pilihan lain kecuali untuk menerapkannya. Jika ada pertanyaan besar, maka pilihan lain ada pada Firman Allah fahkum baynahum aw a'ridh 'anhum (putuskanlah perkara itu di antara mereka, atau berpaling dari mereka).
Keterkaitan perintah tersebut sangat jelas tidak menunjukkan kemungkinan adanya nasikh-mansukh. Sebab sudah ada qarinah yang jelas yang tidak perlu dipertentangkan lagi, sehingga ini dijadikan dalil kuat untuk mengkompromikan penerapan dalil tersebut.
Yang dimaksud kafir disini adalah kafir mu'ahid (kaum kafir yang terlibat perjanjian dengan negara Islam) dan kafir dzimmi (kamu kafir yang menjadi warga negara Daulah Khilafah).
Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani yang dimaksud kaum kafir yang hidup di luar negara Islam, yaitu mereka yang terlibat pada perselisihan dan minta Negara Islam untuk memutuskan perkara di antara mereka. Maka keputusannya memilih antara memutuskan hukum atau berpaling darinya. Sabab nuzulnya adalah berkaitan dengan kaum Yahudi di Madinah yang datang kepada Nabi SAW meminta keputusan hukum, mereka adalah sebuah kabilah yang dapat dianggap sebagai negara lain. Sedangkan kafir dzimmy musta'min (Meminta perlindungan), orang kafir yang secara sukarela masuk ke wilayah negara Islam untuk menjadi mu'ahid dan musta'min. Pendapat inilah, pendapat yang rajih. Dalil yang menjadi dasar hukumnya adalah QS an-Nisa: 105.
Pada pengambilan keputusan, kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu. Misal, terkait dengan kebaikan. Padahal hawa nafsu tersebut walaupun baik, mengandung makna negatif. Hal ini dijelaskan pada Firman Allah wala tattabi'ahwa ahum.
Menurut Al Thabari, "ini merupakan larangan dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW mengikuti hawa nafsu kaum Yahudi yang meminta keputusan hukum kepada beliau dalam kasus orang-orang yang terbunuh dan fasik mereka sekaligus perintah tetap konsisten dengan kitab yang diturunkan Allah kepada beliau."
Firman Allah selanjutnya, wahdzarhum an yaftinuuka 'an ba'dhi maa anjalallahu ilaika. Yaftinuka. Menurut Ibnu Abbas adalah mengembalikanmu kepada hawa nafsu mereka sebab setiap orang yang terpaling kan dari kebenaran kepada kebatilan, berarti telah terfitnah. Pada frasa ini mengandung arti peringatan kepada kaum muslimin untuk berhati-hati terhadap upaya kaum kafir yang berkeinginan memalingkan mereka dari sebagian yang diturunkan kepadanya 'an ba'dhmaa anjalallah ilayka. Khitab ini jelas tidak boleh berpaling sedikitpun, sebagian, apalagi semua.
Peringatan keras ini terdapat dalam firman Allah sebagai berikut: "fain tawallaw fa' lam yuridullahu an yushibahum biba'dhi dzunubihim.
'Tawallaw(berpaling); tidak boleh berpaling dari hukum apa yang diturunkan kepada Rasulullah SAW menginginkan hukum yang lain. Berpaling di sini diartikan berpaling dari keimanan dan berhukum selain Alquran.( al-alusi dan al-wahidi Al naisaburi) Siapa yang mengabaikan perintah ini maka akan menjadi sebab Dia tertimpa musibah di dunia. Pernyataan menarik dari Ibnu Mas'ud ialah disebabkan oleh dosa-dosa mereka karena berpaling dari hukum Allah.
Allah menutup ayat dengan firmannya: "wa inna Kafirun minannasi lafaa siqun" bermakna apabila berpaling dengan Hukum Allah maka Dia tergolong orang yang fasiq.
Dari ayat ini dapat diambil beberapa pelajaran yaitu penerapan Syariah. Syariah harus diterapkan secara total tidak boleh diambil sebagian dan mengabaikan sebagian yang lain. Ketentuan tersebut mutlak harus dilaksanakan secara konsisten. Tanpa ada tirai yang menghalanginya. Juga untuk memandang persetujuan dari segala pihak termasuk tersebut adalah kaum kafir.
Ancaman keras bagi siapa saja yang menolak syariah, kepadanya ditimpahkan musibah sebagai hukumannya. Baik di dunia maupun di akhirat. Hukuman di dunia kini dapat kita lihat, terjadi kesalahan hidup, penderitaan, musibah dan penyakit yang sampai saat ini belum tahu kapan berakhirnya. Akankah kita semua Menutup Mata dari peringatan ini? Tidakkah terasa bahwa semua kerusakan ini, akibat tidak menerapkannya syariah? Sebagai idealnya aturan yang mengendalikan dan menghentikan segala permasalahan hidup? (Q.S. Ar-Rum: 41)
Hukum ini wajib ditegakkan karena satu-satunya hukum yang bisa membawa kebenaran. Pasti berbeda dengan hukum buatan manusia yang selalu mengikuti kondisi nafsu, tidak ada jaminan keadilan, yang fakta penerapannya bisa tumpul keatas dan tajam kebawah.
Fakta ini dapat kita lihat dengan jelas pada firman Allah SWT sebagai berikut:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan (Q.S. Al-An'am: 116)
Lalu, seluruh manusia di dunia ini mau diuji dengan apalagi? Jika keterangannya dengan jelas bahwa menolak syariah hanya akan memanjangkan musibah di dunia, penderitaan yang berlarut-larut. Dengan kerusakan terjadi di berbagai lini kehidupan. Lalu sampai kapan semua ini bisa disadari? Dan masih Beranikah menolak syariah-Nya?
Naudzubillah mari kita pergunakan khasiat akal dengan sebaik-baik khasiat yang diberikan kepada kita, yang harus dipertanggung jawaban kepada Allah kelak. Maka tolak lupa wajib menerapkan Syariah-Nya.
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”